Opini

Palestina dan Masyarakat Dunia sebagai Penonton yang Bersalah 

Rabu, 22 Oktober 2025 | 15:19 WIB

Palestina dan Masyarakat Dunia sebagai Penonton yang Bersalah 

Ilustrasi anak-anak Gaza Palestina berjalan di tengah reruntuhan bangunan imbas genosida Israel. (Foto: WAFA)

Dua tahun berlalu setelah serangan 7 Oktober 2023, konflik antara Israel dan Palestina kini memasuki babak baru, dengan disepakatinya gencatan senjata permanen sejak 10 Oktober 2025. Namun, sejumlah pelanggaran masih terus dilakukan pihak Israel. Terakhir, 45 orang warga tewas setelah Israel menyerang Gaza pada Minggu (19/10/2025). Kondisi demikian menandakan ketidakseriusan Israel dalam memenuhi perjanjian gencatan senjata. 


Sementara itu, negara-negara besar yang menyerukan “de-eskalasi” justru masih terus menyalurkan senjata. Meski Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan resolusi, begitu juga munculnya seruan damai seperti dalam KTT Peace in the Middle East pada 13 Oktober 2025 lalu di Mesir. Tetap tidak ada sanksi yang nyata bagi Israel. Negara-negara lain justru terkesan diam, bahkan cenderung mendukung meski tanpa tindakan pembantuan. 


Dalam kekacauan ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah ketika dunia diam di tengah penderitaan rakyat Palestina bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional dan juga pelanggaran moral keagamaan, khususnya bagi umat islam?   


Diam sebagai Bentuk Keterlibatan 
Dalam hukum internasional, pelanggaran tidak hanya dilakukan oleh pihak yang melakukan kejahatan (genosida). Negara yang mengetahui adanya pelanggaran berat namun tidak melakukan tindakan pencegahan juga bisa dianggap ikut bertanggung jawab. Prinsip ini ditegaskan di dalam Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001 yang dibentuk oleh Komisi Hukum Internasional PBB. 


Pasal 16 menyebutkan bahwa negara dapat dimintakan tanggung jawab jika memberikan “bantuan atau dukungan” terhadap pelanggaran internasional oleh negara lain. Bantuan tersebut tidak selalu berupa dukungan secara langsung, diam dan pembiaran juga bisa dianggap sebagai bentuk keterlibatan pasif. 


Dalam konteks genosida yang dilakukan Israel terhadap warga Gaza Palestina, prinsip tanggung jawab negara dalam hukum internasional tersebut menjadi sangat relevan. Negara-negara yang memiliki kapasitas politik, militer, atau ekonomi untuk mencegah kejahatan tersebut namun memilih diam dapat dikualifikasikan sebagai turut berkontribusi terhadap keberlanjutan genosida. Ketika negara-negara besar tetap memasok senjata, memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata, atau menutup mata terhadap bukti pelanggaran berat, negara-negara tersebut sejatinya melanggar kewajiban untuk mencegah kejahatan internasional yang paling serius. 


Dalam konteks ini, prinsip tanggung jawab bersama dan pencegahan yang diatur dalam Pasal 16 Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001 (ARSIWA) menegaskan bahwa pembiaran atas genosida bukanlah posisi netral, melainkan keterlibatan pasif yang memiliki implikasi hukum internasional serius.


Kewajiban Erga Omnes 
Selain Pasal 16 Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts yang menegaskan bahwa negara ikut bertanggung jawab ketika mengetahui keadaan genosida, namun memilih membantu atau mendukung pelanggaran internasional negara lain dengan cara diam atau bahkan tindakan, ada juga prinsip erga omnes yang menempatkan kewajiban pencegahan dan penindakan atas kejahatan internasional paling serius sebagai urusan seluruh komunitas negara, bukan sekadar perkara bilateral. 


Contoh kewajiban erga omnes adalah memperjuangkan pertanggungjawaban terhadap kejahatan internasional yang sangat berat. Tanggung jawab tersebut mencakup kewajiban untuk mengadili tersangka pelaku kejahatan, tidak adanya masa kadaluarsa, dan tidak ada kekebalan hukum bagi siapapun. 


Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam Barcelona traction light case 1970, menegaskan bahwa pelanggaran terhadap hak dasar manusia bersifat universal dan menjadi kepedulian seluruh umat manusia. Dengan demikian, penderitaan rakyat Palestina bukan hanya sekadar isu politik atau agama saja, namun isu hukum universal yang menjadi urusan seluruh umat manusia. 


Dalam konteks konflik Israel dan Palestina, terutama Gaza, kerangka ini bermakna konkret. Ketika Mahkamah Internasional pada 26 Januari 2024 memerintahkan langkah sementara agar Israel memastikan perbuatan yang dilarang oleh Konvensi Genosida tidak terjadi dan mengharuskan tindakan pencegahan yang efektif, kewajiban tersebut tidak hanya beralamat pada para pihak perkara, tetapi juga menegaskan sifat erga omnes dari kewajiban mencegah genosida, sehingga negara lain tidak boleh memberi bantuan atau dukungan yang, dengan pengetahuan atas risikonya, dapat memperpanjang atau memperburuk pelanggaran. 


Negara ketiga yang memiliki kapasitas mempengaruhi, antara lain melalui kebijakan memasok senjata, memberikan dukungan diplomatik, atau pemanfaatan pengaruh di forum internasional, wajib melakukan due diligence untuk mencegah terjadinya tindakan yang dilarang oleh Konvensi, konsisten dengan Pasal 16 ARSIWA dan yurisprudensi Mahkamah Internasional. Pengabaian kewajiban pencegahan, pembiaran, atau bantuan yang diketahui dapat memicu atau mempertahankan pelanggaran berat berpotensi menimbulkan tanggung jawab internasional negara yang bersangkutan.


Keterkaitan dengan Kewajiban Umat Islam 
Selain hukum positif internasional, terdapat dimensi spiritual dan moral yang tidak bisa dikesampingkan dalam hal diamnya negara-negara lain terhadap kasus genosida Israel di Gaza, yaitu kewajiban umat Islam terhadap kezaliman. Islam tidak mengenal konsep netralitas terhadap segala bentuk perbuatan zalim. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya; dan itu selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).


Al-Quran juga menegaskan tanggung jawab kolektif dalam menegakkan keadilan, Allah SWT berfirman: “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah dari (kalangan) laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berdoa, “Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.”” (QS. An-Nisa: 75).


Kaidah amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya seruan moral individu, tetapi juga prinsip sosial-politik yang mewajibkan umat islam untuk menolak kezaliman dan membela yang tertindas. Dalam konteks hukum internasional tanggung jawab ini dapat dimaknai sebagai dukungan terhadap penegakan hukum internasional dan HAM secara universal. 


Umat Islam tentunya tidak boleh memaknai solidaritas hanya berbentuk dukungan emosional, namun juga harus diwujudkan dalam tindakan nyata dengan mendorong kebijakan luar negeri yang adil, mendukung lembaga internasional yang menegakkan hukum, dan menolak bentuk-bentuk kemitraan yang memperkuat penindasan. Dengan demikian, nilai dalam Islam sejatinya selaras dengan kaidah hukum internasional seperti keadilan, penghormatan terhadap kehidupan, dan tanggung jawab kolektif untuk mencegah kemungkaran global.


Dunia Sebagai Penonton yang Bersalah
Memilih bungkam terhadap terjadinya suatu pelanggaran hukum adalah bentuk kompilicitas keterlibatan tidak langsung dalam pelanggaran hukum itu sendiri. Negara yang masih menjual senjata, mendukung dengan mengirimkan pasukan khusus, atau melindungi pelaku kejahatan perang melalui veto diplomatik juga dapat dianggap berkontribusi terhadap pelanggaran tersebut.


Bila umat Islam menerapkan prinsip ukhwah islamiyah, maka diam atas penderitaan sesama saudara juga menjadi bentuk pengkhianatan terhadap kaidah islam itu sendiri. Solidaritas bukan pilihan moral, melainkan perintah iman. 


Hukum yang Tak Lagi Netral 
Dalam dinamika demikian, hukum internasional seharusnya mampu menjadi pelindung HAM dan menegakkan keadilan universal. Realitas yang terjadi justru menunjukkan tunduknya hukum pada politik kekuasaan. Negara kuat dengan mudahnya melanggar tanpa takut dikenakan hukuman dan negara lemah dengan mudah dijatuhi hukuman. 


Padahal, Islam telah mengajarkan bahwa keadilan tidak boleh tunduk pada sekadar kekuatan. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ma’idah: 8)


Mengembalikan Kemanusiaan dan Keimanan ke dalam Hukum
Krisis yang terjadi di Palestina bukan hanya menjadi tantangan politik global, namun juga tantangan umat Islam dan legitimasi hukum internasional. Apabila hukum hanya ditegakkan ketika tidak mengganggu kepentingan negara kuat, maka hukum itu kehilangan maknanya. Dan apabila umat Islam hanya bungkam, maka nilai keislaman sudah hilang jiwanya.


Dunia harus berhenti berpura-pura netral, karena dalam kemanusiaan, netralitas adalah bentuk keberpihakan kepada penindas. Dan bagi umat Islam, diam terhadap ketidakadilan bukan hanya lalai terhadap hukum, namun juga pengingkaran terhadap iman. 


Silva Hasanah Agustin, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta