Tugas guru adalah mendidik. Mendidik tidak berarti mengambil seluruh waktu yang tersedia di kelas untuk guru berbicara, sedangkan siswa diam sembari menyimak dengan khusyuk. Guru tidak harus sepenuhnya menghabiskan waktu yang disediakan untuk berbicara sendirian saja. Murid atau siswa tidak perlu untuk hanya membawa telinga ke dalam kelas dan ‘meninggalkan’ serta ‘menanggalkan’ anggota tubuh lainnya di rumah. Tentulah pendidikan yang baik tidak demikian.
Siswa justru harus menjadi pusat perhatian dalam suatu pembelajaran, pendidikan. Mereka diarahkan bukan dihakimi. Mereka perlu diberikan bimbingan, bukan hukuman. Mereka perlu juga berbicara, tidak hanya mendengarkan suara. Sering kali siswa dibungkam untuk diam dan menyimak. Seolah siswa yang baik adalah yang mengangguk tanda (seolah-olah) paham.
Untuk dapat berbicara, tentu dibutuhkan pemikiran dengan bahan pengetahuan yang didapat. Untuk dapat berpikir, butuh dorongan dan pemberian ruang. Sementara ketiadaan ruang berbicara, kerap kali membuat siswa itu hanya mengangguk tanpa mengerti apa arti dari anggukan itu sendiri.
Pemberian ruang bicara memberikan dampak besar bagi masa depan siswa. Paling tidak, mereka dapat berani dan mampu mengungkapkan apa yang ada di benak pikirannya. Kemudian, siswa juga bisa memiliki sikap demokratis dengan adanya pembukaan ruang dialog. Inklusivitas bisa terbangun dalam dirinya karena orang lain juga bisa dan berhak berbicara menyampaikan pandangannya meskipun berbeda.
Oleh karena itu jembatan awal dalam membangun kesadaran berpendapat di forum adalah komunikasi guru. Guru harus pintar-pintar mengelola kelas dan siswa di dalamnya agar mau angkat bicara, mengemukakan pandangannya atas permasalahan atau materi yang dibicarakan.
Pemberian ruang berbicara dapat dilakukan melalui kesempatan yang dibuka selebar-lebarnya untuk siapa saja atau melalui penunjukan. Namun penunjukan ini perlu dilakukan dengan penuh ketepatan dalam mengambil momen. Penunjukan secara langsung dapat berubah menjadi sebuah tekanan. Alih-alih bersuara dengan pikiran jernih, siswa justru merasa tertekan karena ketidaksiapannya.
Dalam hal ini, guru perlu membuat instrumen agar penunjukan siswa untuk bersuara itu justru menjadi kesempatan penting yang tidak boleh disia-siakan begitu saja. Misalnya, guru membuat satu permainan tertentu untuk mereka. Permainan ini dibuat agar siswa dalam berbicara tidak seperti sedang mendapatkan beban yang berat karena permainan ini menjadi momen yang harus dilakukan dengan riang.
Melalui grup
Selain melalui permainan dan penunjukan individu dalam forum kelas, pemberian ruang bicara juga bisa dilakukan melalui pembentukan grup. Pembentukan grup juga bisa dilakukan melalui permainan agar didapatkan rekan segrup secara acak.
Setelah itu, masing-masing grup dapat menentukan pengurusnya, sebagai moderator, notulen, dan sebagainya. Tentunya, peran masing-masing tidak menafikan kesempatan mereka untuk berbicara. Semua tetap harus mengemukakan pendapatnya. Setelah diskusi, perwakilan masing-masing grup dapat menyampaikan hasil diskusi mereka ke depan kelas.
Melalui grup ini, siswa dapat manfaat lebih banyak. Terry Doyle dalam Helping Students Lear in A Learner-Centered Environment menjelaskan bahwa manfaat diskusi melalui grup ini dapat meningkatkan kemampuan intelektual siswa, menstimulasi ketertarikan untuk belajar, meningkatkan kepercayaan diri dalam intelektual dan sosial, meningkatkan pengertian atas dinamisasi grup, dan membantu siswa untuk dapat belajar dalam mengungkapkan perasaannya.
Selain itu, dengan grup ini, siswa juga dapat terbantu untuk membangun keterampilan ketegasan daam bersikap, meningkatkan kesadaran atas perbedaan pandangan dan gagasan, mengekspos siswa untuk berpikir secara berbeda, hingga memvalidasi atas kesiapan menyiapkan gagasan dan keyakinan.
Dalam hal ini, guru berperan sebagai fasilitator. Ia bisa berkeliling dari satu grup ke grup yang lain untuk membantu menstimulasi mereka agar merangsang para siswanya dapat mengemukakan pendapatnya, menyampaikan ide dan gagasannya.
Suara yang tak didengar
Penyampaian pendapat tidak hanya dilakukan dengan memanfaatkan lisan, tetapi bisa juga dengan media tulis. Hal ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi situsweb. Mentimeter.com, misalnya, yaitu sebuah platform yang bisa digunakan sebagai sarana agar siswa dapat menyampaikan pandangannya secara tertutup tanpa diketahui siapa yang menyampaikan pandangan tersebut.
Terkadang ada siswa yang memang lebih bisa mengeksplorasi pemikirannya dan menyampaikannya melalui media tulis. Aplikasi ini hanya butuh ponsel dari masing-masing siswa melalui menti.com sebagai platform yang bertaut dengan mentimeter.com. Siswa dapat memasukkan angka ruang panggil yang ditampilkan oleh guru sebagai admin. Nanti di sana, siswa tersebut bisa menemukan apa perintah dari gurunya.
Siswa dapat menyampaikan apa yang diminta oleh gurunya yaitu pendapat atau memilih di antara pilihan ganda misalnya atau menuliskan kata tertentu saja. Semua bergantung kepada perintah yang diberikan oleh guru melalui ruang tersebut atau di dalam ruang tersebut.
Tentu saja hal ini akan menjadi kendala ketika para siswa tidak diperbolehkan membawa ponsel. Hal ini seperti yang terdapat di pesantren para siswa yang juga santri tidak diperkenankan untuk membawa ponsel ke ruang kelas. Karenanya, guru dapat memanfaatkan instrumen yang lain guna mendapatkan suara dari siswanya. Misalnya melalui stiker note dan kertas plano. Guru membagikan stiker note kepada seluruh siswa.
Kemudian guru memberikan satu pertanyaan yang memancing siswa untuk mengemukakan pendapatnya dan menuliskannya pada stiker note tersebut. Kemudian siswa yang sudah selesai menuangkan gagasannya idenya pikirannya pada stiker note tersebut agar dapat menempelkan stiker note-nya pada kertas Plano yang telah disiapkan dan ditempel dipajang atau pun diletakkan di tempatnya baik di depan ataupun di samping misalnya. Guru akan membacakan pendapat yang ada pada stiker note tersebut.
Pujian dan kritik konstruktif
Hal yang tak boleh dilupakan dalam pembelajaran dengan menerapkan student center atau learner center adalah memberikan umpan balik yang positif terhadap pengembangan kemampuan mereka ke depannya. Pujian menjadi satu umpan balik yang positif terhadap apapun yang dihasilkan oleh siswa.
Pandangan seburuk apapun dari siswa, guru perlu mengapresiasinya sebagai bentuk dorongan agar motivasi siswa tersebut dapat terus tumbuh sehingga dia tidak kapok untuk berbicara, mengemukakan pendapatnya atau menuangkan gagasannya melalui tulisan. Sebab, ketiadaan apresiasi dapat mengubur keinginan untuk terus berpendapat berbicara atau menyampaikan gagasannya. Hal ini mengingat ada beban psikologis dalam diri siswa karena tidak ada untungnya bagi mereka.
Tentu, pujian itu tidak boleh sendirian. Guru juga perlu memberikan kritik konstruktif. Maryellen Weimer dalam Learner-Centered Teaching menjelaskan bahwa pujian dan kritik konstruktif yang memotivasi siswa untuk belajar lebih baik lagi memberikan peran yang sangat berbeda untuk guru. Sebab, guru telah berusaha untuk meningkatkan pengajaran mereka dengan budidaya keterampilan presentasi yang efektif.
Syakir NF, pelayan di Perpustakaan Cipujangga, Padabeunghar, Pasawahan, Kuningan, Jawa Barat
================================
Artikel ini diterbitkan dalam rangka peringatan Hari Guru bertema "Berinovasi Mendidik Generasi" oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI