Kondisi hewan yang terpapar wabah penyakit manusia juga berbeda-beda. Secara alamiah, ada hewan-hewan yang mati karena terpapar wabah. Ada pula yang tidak.
Hewan merupakan salah satu makhluk Allah swt yang hidup dekat dengan manusia. Manusia mendapatkan banyak manfaat melalui interaksinya dengan hewan dan sebaliknya. Seringkali suasana yang sedang dialami oleh manusia ikut dirasakan dampaknya oleh hewan di sekitarnya. Bagaimana dampak dari wabah/pandemi pada manusia yang menulari hewan dan hikmahnya? Bisakah manusia mengambil pelajaran penting dari kejadian tersebut?
Di berbagai belahan dunia, pandemi Covid-19 membuat berbagai hewan ikut terjangkit penyakit ini. Hewan peliharaan di rumah, kebun binatang, maupun hewan liar dapat ikut terkena penyakit yang sama dengan yang mengenai manusia. Anjing, kucing, singa, harimau, dan hewan lain sudah banyak yang terjangkit Covid-19.
Uniknya, penularan terjadi dari manusia ke hewan-hewan itu dan bukan sebaliknya. Bahkan, untuk hewan peliharaan seperti kucing, hanya dengan tidur di tempat tidur manusia/pemiliknya yang sakit sudah dapat membuat kucing terjangkit Covid-19. Apabila sudah terjangkit, suatu hewan dapat menyebarkan penyakit akibat pandemi ke hewan lainnya. Dokter hewan menyatakan bahwa terjangkitnya hewan ketika situasi pandemi lazim terjadi sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Ulama Islam telah mencatat pandemi yang melanda manusia dengan hebat dan berdampak pada kematian hewan. Imam Suyuthi dalam kitabnya menyebutkan sebuah kisah tentang serangan penyakit pada hewan saat thaun black death/maut hitam. Pandemi ini dikenal dengan wabah plague/sampar/pes yang melanda dunia pada tahun 749 H atau abad ke-14 M sebagai berikut:
“Thaun pernah terjadi secara global pada tahun 749 H. Sebelumnya, belum pernah ada thaun yang seperti ini. Thaun ini melanda belahan bumi bagian timur dan barat, sampai memasuki Makkah al-Mukarramah. Thaun ini juga menyerang binatang.” (Imam Suyuthi, Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Tha’un, Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: 192).
Apabila respons hewan terhadap wabah penyakit diteliti lebih lanjut, ada banyak informasi penting bagi manusia. Beberapa penelitian terhadap pola penularan wabah dan pengobatannya ternyata dihasilkan dari uji coba terhadap hewan. Lebih lanjut, respons terhadap uji coba obat juga sering diterapkan pada hewan uji.
Selain itu, strategi pencegahan penularan penyakit juga dapat diambil dari pemodelan penyakit menular pada hewan. Namun, yang jarang diperhatikan adalah aspek menjaga jarak fisik selama pandemi sebenarnya telah diteliti pada hewan uji. Kondisi tersebut menggambarkan sunnatullah suatu penularan penyakit dan pencegahannya.
Badan kesehatan dunia (WHO) telah mempublikasikan monograf yang berisi berbagai hasil penelitian tentang plague/sampar/pes sejak abad ke-19 hingga abad ke-20. Pes disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis yang disebarkan oleh kutu tikus. Melalui pemodelan pada tikus percobaan, diperoleh hasil sebagai berikut:
“Eksperimen yang dilakukan oleh Komisi Penelitian Wabah menunjukkan bahwa tikus percobaan yang dibiarkan berkeliaran di lantai kandang yang dipenuhi kutu, atau yang digantung di kandang dengan jarak 2 inci (5 cm) di atas lantai, semuanya terjangkit wabah. Kelompok lain dari hewan ini, yang digantung di kandang dengan jarak 2 kaki (61 cm) dari lantai, tetap sehat karena tidak dihinggapi kutu.”
“Pengamatan lebih lanjut telah menunjukkan bahwa, secara umum, kutu mampu membuat lompatan vertikal sekitar 4 inci (10 cm) saat kelaparan, dan sekitar 3 inci (7,5 cm) saat kenyang. Mereka dapat berjalan di atas lembaran kaca vertikal sekitar 20 cm. Jarak yang dapat mereka tempuh dengan lompatan horizontal biasanya kurang dari 6 inci (15 cm). Namun, kutu yang jenisnya P.irritans dapat melompat jauh lebih tinggi dan lebih jauh. Menurut Mitzmain, yaitu salah seorang peneliti, jangkauannya mencapai 7 3/4 inci (19,5 cm) secara vertikal dan 13 inci (33 cm) secara horizontal.” (Pollitzer, Plague, World Health Organization, Geneva: 385).
Berdasarkan percobaan tersebut, secara alamiah terbukti bahwa hewan tidak mampu mengatur dirinya. Mereka tidak mampu untuk menjaga jarak fisik dari sumber penyakit ketika disebarkan. Namun, ketika jaraknya diatur oleh manusia, maka kondisi penularan penyakit dapat tercegah di antara hewan tersebut. Penelitian itu dilakukan pada kurun waktu abad ke-19 sampai 20 M. Artinya, cara penularan penyakit itu terungkap 5-6 abad kemudian sejak terjadinya wabah plague, yaitu pada abad ke-14. Hal ini bisa dimaklumi karena terbatasnya perkembangan ilmu tentang penularan penyakit pada saat itu.
Kondisi hewan yang terpapar wabah penyakit manusia juga berbeda-beda. Secara alamiah, ada hewan-hewan yang mati karena terpapar wabah. Namun, ada juga yang tidak menunjukkan gejala apa pun meskipun ketika dites dengan pemeriksaan laboratorium standar menunjukkan hasil positif terinfeksi. Kondisi yang serupa juga dialami dalam eksperimen. Hal ini mirip dengan kejadian Covid-19 pada manusia yang dapat menimbulkan gejala berat, sedang, ringan hingga tanpa gejala sama sekali.
Untuk kaum Muslimin, hasil penelitian ini memberikan banyak hikmah. Sebagian kaum Muslimin menolak menjaga jarak saat ibadah berjamaah. Mereka beralasan bahwa ketika wabah thaun terjadi pada zaman dahulu, tidak ada riwayat menjaga jarak pada shaf shalat berjamaah di masjid. Padahal, thaun lebih mematikan daripada Covid-19. Tentu saja penolakan itu akan berisiko karena tidak sesuai dengan protokol kesehatan yang saat ini diterapkan dalam menghadapi pandemi.
Menjaga jarak fisik diperlukan untuk kaum Muslimin yang menjalankan ibadah berjamaah di suatu tempat yang pesertanya tidak dapat dijamin terbebas dari paparan virus. Apabila jamaah masjid berasal dari berbagai tempat yang tidak terkarantina, maka menjaga jarak fisik tetap diperlukan.
Masjid yang berada di lingkungan pondok pesantren yang terkarantina dengan ketat dan menerapkan protokol kesehatan secara konsisten tentu akan berbeda. Jamaah di masjid kategori ini relatif homogen dan terjamin dari paparan virus karena tidak berinteraksi dengan lingkungan luar. Oleh karena itu, pelaksanaan ibadah berjamaah tetap dapat menjaga kerapatan shaf tanpa adanya jarak fisik. Namun, untuk menjaga keselamatan para kiai maupun santri, idealnya semua pondok pesantren tetap menerapkan jaga jarak dan menghindari kerumunan. Apalagi sudah banyak kejadian yang menggambarkan sulitnya menjalankan karantina secara ketat.
Dengan konteks pandemi saat ini, menjaga jarak fisik sangat penting untuk mencegah tersebarnya wabah. Selain adanya fenomena penyakit menular tanpa gejala, orang yang menerapkan protokol kesehatan berarti menghormati sunnatullah. Adanya pemodelan melalui uji coba pada hewan uji menunjukkan sunnatullah bahwa penyakit menular itu bisa mengenai hewan maupun manusia melalui cara-cara yang sesuai dengan hukum sebab-akibat. Kurang bijak mempertentangkan sunnatullah ini dengan sunnah rasul seperti dalam kasus merapatkan shaf saat shalat berjamaah di masa pandemi yang dibenturkan dengan protokol kesehatan menjaga jarak.
Penelitian tentang model penularan Covid-19 dengan hewan percobaan telah dilaksanakan. Publikasinya juga sudah ada, tidak lama setelah pandemi muncul. Penularan Covid-19 itu terbukti terjadi secara kontak langsung maupun melalui droplet yang tersebar di udara. Risiko penularan tersebut akan menjadi lebih besar jika tidak menjaga jarak fisik. Semua hasil penelitian itu telah terungkap dengan jasa hewan percobaan.
Upaya menjauhi kerumunan merupakan bagian dari protokol kesehatan saat ini. Apabila ada kegiatan ibadah yang melibatkan banyak orang di suatu tempat, maka menjaga jarak fisik masih sangat relevan untuk mencegah penyebaran wabah. Jarak fisik untuk mencegah penularan Covid-19 tentu berbeda dengan penelitian model penularan pes yang telah dijelaskan di atas karena penyebabnya juga berbeda. Secara rinci, jarak fisik untuk menghindari penularan Covid-19 telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang dalam bidang kesehatan. Pesan penting ini masih sesuai untuk diterapkan hingga saat ini agar pandemi Covid-19 tidak menjadi lebih parah di masa yang akan datang.
Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan peneliti di bidang farmasi