Di sebuah daerah di pelosok Ponorogo bernama Tegalsari, pada 1700-an, berdiri sebuah pesantren oleh sosok ilmuwan (Arab: ‘alim) pengembara dari Caruban bernama Kiai Ageng Muhammad Besari. Sejarah mencatat, Pangeran Diponegoro adalah alumnus pesantren ini. Ronggowarsito, pujangga besar Jawa itu, juga merupakan santri pesantren ini.
Dari Kiai Ageng Besari ini, kelak lahir pula seorang keturunannya bernama HOS Cokroaminoto. Pada era kebangkitan nasional, ia menjadi pentolan Central Sarikat Islam. HOS Cokroaminoto yang tinggal di Surabaya mempunyai pemondokan. Beberapa yang mondok di pemondokannya antara lain: Semaun, Kartosuwiryo, dan Soekarno.
Ya, Soekarno sang proklamator kita itu.
Semua anak-anak asuh HOS Cokroaminoto itu sebagian besar menjadi tokoh negeri. Pahlawan-pahlawan kemerdekaan dan revolusi. Dari didikan Cokroaminoto yang keturunan kiai ini, keluarlah Semaun dengan ideologi komunismenya. Lahir pula Kartosuwiryo dengan keislamannya. Juga muncul Soekarno dengan nasionalismenya. Jangan lupakan konteks sejarahnya; saat itu, bangsa Indonesia sedang belajar dan mencari-cari format ideologi terbaik untuk negeri.
***
Penjajah Belanda mencatat pesantren sebagai lembaga yang patut diwaspadai. Gerak-geriknya selalu diawasi. Pada 1800-an muncul narasi-narasi yang patut dicurigai sengaja diembuskan penjajah, yang menyudutkan peran pesantren dan menggambarkan pesantren sebagai penyebar ajaran asing, perusak tradisi asli penduduk, sebagai penghancur kebudayaan, dan narasi negatif yang lain.
Tapi pesantren-pesantren yang tumbuh di pelosok-pelosok negeri tetap istiqamah menjaga tata sosial dan mengayomi warga. Pesantren terus mengembangkan jejaring nasional dan internasionalnya dalam pertukaran informasi dan ilmu pengetahuan. Mereka mandiri. Tak pernah disubsidi pemerintahan penjajah.
Tidak mempan diserang dengan narasi penyebar ajaran asing dan perusak tradisi asli, pada 1900-an awal pesantren-pesantren digambarkan penjajah sebagai lembaga tempat kumpulnya pemberontak-pemberontak, pelaku kriminal, dan pengganggu ketenteraman umum.
Pondok Pesantren Tebuireng seringkali didatangi aparat penjajah untuk dimata-matai atau sekadar diawas-awasi. Puncaknya, tercatat pada 1913 bangunan pesantren Tebuireng diluluhlantakkan penjajah Belanda dengan alasan bahwa pesantren yang didirikan dan diasuh Kiai Hasyim Asyari itu merupakan pusat pemberontak dan sarang ekstremis Islam.
Sejarah juga mencatat bagaimana Pesantren Tebuireng menjadi sentra perjuangan semasa pendudukan Jepang. Kiai Hasyim Asyari sangat gigih dan aktif dalam upaya melepaskan negeri dari cengkeraman si Jepang Fasis itu. Alhasil, beliau dipenjara Jepang pada 1943.
***
Usai proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, pesantren Lirboyo yang berdiri sejak 1910 itu mengambil inisiasi untuk melawan dan melucuti senjata tentara Nipon di markas mereka. Ratusan santri dikerahkan.
Selang beberapa bulan, merespons mendaratnya tentara Belanda yang gabung dengan Sekutu di Surabaya, Kiai Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad, menyeru rakyat Indonesia, khususnya santri, untuk berjuang melawan pendudukan. Pesantren-pesantren merespons resolusi yang dikeluarkan Rais Akbar Nahdlatul Ulama ini dengan mengerahkan santri-santri yang cukup umur untuk terjun ke medan laga. Pertempuran besar yang terjadi di Surabaya pada 10 November 1945 itu kini kita kenang sebagai Hari Pahlawan.
***
Meski perannya dalam turut membangun negeri begitu nyata dan lengkap, sepanjang sejarahnya, dunia pesantren yang merupakan subkultur endemik Nusantara ini, tak luput dari fitnah-fitnah zaman.
Serat Gatoloco dan Darmogandul menggambarkan pesantren sebagai agen-agen asing yang ingin mengubah kepercayaan leluhur Nusantara. Pemerintah Hindia Belanda menarasikan pesantren sebagai entitas warga jajahan yang tak mau tunduk dimasukkan dalam sistem penjajahannya. Sementara Pemerintah Jepang menilai pesantren sebagai tempat berkumpulnya para pemberontak dan pelaku kriminal.
Pemerintah Indonesia merdeka? Sejak proklamasi hingga hari ini masih sebelah mata menilai pendidikan ala pesantren, menganggapnya sebagai tradisional dan ketinggalan jaman, tak layak dipertahankan, tak perlu diurus serius dan tak dimasukkan dalam Undang-Undang Pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan yang harus dianggarkan pemenuhan kepenyelenggaraannya.
Kalaupun toh ada perhatian, selalu bersifat parsial. Ini bukan soal pesantren lalu mengharap anggaran pemerintah. Ini soal prinsip keberpihakan pemerintah pada model pendidikan. Yang asli Indonesia diabaikan, yang adopsi Belanda diurus sedetail-detailnya. Tidak sedang membenturkan, tapi mengingatkan. Alangkah baiknya bila semua model pendidikan diperhatikan.
***
Kini, era media sosial membawa fitnah zamannya sendiri. Kehadiran media di mana siapa saja bisa bicara, mau tak mau, suka tak suka, mengakibatkan matinya kepakaran. Posisi kebenaran digeser ke pinggiran oleh paska-kebenaran.
Berlindung di balik hak berpendapat, pemilik media bisa bicara semau-maunya. Menggiring opini seenaknya. Tanpa filter etika dan kontrol kualitas yang selayaknya.
Pesantren tetap istiqamah. Jauh dari bising. Terus melakukan peran-peran pendidikan dan pengayomannya. Di kota-kota maupun di pelosok desa.
Nadhief Shidqi, Ketua GP Ansor Rembang, Jawa Tengah