Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Rabu, 20 November 2024 | 14:41 WIB
Sejak 18 Oktober lalu, saya bersama 20 pimpinan pondok pesantren dari seluruh Indonesia dikirim ke Amerika oleh Kementerian Agama Indonesia bekerja sama dengan LPDP. Dalam kesempatan ini kami mendapatkan manfaat yang sangat penting untuk belajar, bertukar wawasan dengan Muslim Amerika dan bertemu dengan sejumlah pemimpin dan komunitas agama lain di kota Chicago.
Chicago menyajikan pemandangan keragaman yang begitu indah. Kota yang menjadi salah satu kota terpadat di Amerika itu menjadi rumah bagi keberagaman agama, etnis, budaya dan bangsa. Di kota itu, kita bisa dengan mudah menjumpai masjid, dari yang bernuansa Turki, Pakistan, sampai Afrika atau tempat ibadah agama lain seperti kuil Bahai, Vihara dan Sinagog. Relasi antar umat beragama di sini juga dikenal baik, harmonis dan penuh toleransi.
Tidak heran kota ini melahirkan tokoh besar seperti Buya Syafi'i Maarif dan Cak Nur. Dua guru bangsa yang telah berhasil mewarnai moderasi pemikiran Islam di Indonesia.
Dalam perjalanan itu, salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah perkembangan rohaniawan Muslim di Amerika. Rohaniawan Muslim, atau yang secara lazim di Amerika disebut chaplain, adalah tempat umat Muslim belajar agama. Tidak hanya itu, mereka juga dipersiapkan untuk menangani pasien yang mengalami tekanan spiritual, sosial, psikologis, dan fisik. Tidak jarang Rohaniawan Muslim juga menangani pemeluk agama lain atau bahkan warga yang tidak beragama sekalipun.
Dukungan pemerintah
Ketika bertemu dengan beberapa rohaniawan Muslim dalam sebuah sesi di Seldon Institute yang terletak di kompleks kampus University of Chicago, saya sempat menanyakan apakah eksistensi mereka ini bisa disebut sebagai perhatian pemerintah Amerika kepada umat Islam?
Secara kompak mereka menjawab “iya”. Keberadaan mereka ini adalah bentuk kehadiran pemerintah atas kebutuhan spiritual umat Muslim.
Jika menengok sejarah, rohaniawan Muslim telah menjadi profesi yang aktif di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Pada awalnya mereka bertugas sebagai penyuluh agama di penjara dan militer dan didominasi oleh komunitas Muslim Afrika Amerika. Namun pada perkembangannya, Muslim dari Pakistan, Turki, Mesir dan imigran dari negara lain juga mulai mengisi posisi-posisi tersebut.
Pada tahun 1980-an, perhatian pemerintah Amerika terhadap kebutuhan akan program yang menyediakan pelatihan formal bagi Muslim Amerika semakin meningkat. Dalam konteks itu, pada tahun 1980an American Islamic College (AIC) membuka program rohaniawan Muslim dengan gelar Master of Divinty.
Baca Juga
Muslim Amerika Mampu Raih Simpati Publik
Program ini dilaksanakan atas kerja sama dengan Sekolah Teologi Lutheran di Chicago (LSTC). Langkah tersebut pada saat yang sama menujukan potret baik hubungan antarumat beragama di Amerika, khususnya di Chicago di mana dua lembaga pendidikan dengan latar belakang yang berbeda berusaha melahirkan “pendeta Islam”.
Langkah AIC dan LSTC, kemudian diikuti oleh Hartford International University for Religion and Peace (HIU). Pada tahun 1999, kampus ini membuka program rohaniawan Muslim. Saat ini, setidaknya ada tiga lembaga pendidikan di Amerika yang yang memiliki program tersebut. Ketiganya berada di HIU, American Islamic College, dan Bayan Claremont.
Selain itu, Boston Islamic Seminary dan The Islamic Seminary of America (TISA) termasuk di antara banyak lembaga pendidikan baru yang saat ini sedang dalam proses memformalkan program rohaniawan Muslim.
Menariknya, lulusan program ini kemudian ditempatkan sebagai penyuluh agama di Angkatan Laut Amerika pada tahun 1997 dan sebagian yang lain ditempatkan di Universitas Georgetown. Momentum ini menjadi penanda keterbukaan Amerika terhadap umat Islam dan komitmen mereka untuk mewujudkan kesejahteraannya.
Dalam perjalanannya, lulusan rohaniawan Muslim ini kemudian ditempatkan untuk bekerja di sektor publik seperti di rumah sakit, lembaga pendidikan (Universitas), angkatan bersenjata, dan, pada tingkat yang lebih rendah, kepolisian dan perusahaan swasta.
Muhammad Aslan misalnya adalah salah satu Muslim Chaplain yang saya temui. Dia adalah warga Turki yang bekerja sebagai rohaniawan di rumah sakit The University of Chicago.
Instegrasi Agama, Psikologi dan Sosial
Pelayanan rohaniawan Muslim bersifat unik dan sangat berbeda dengan bentuk konseling dan perawatan berbasis agama lain. Perbedaan itu terletak pada penggunaan prinsip dan praktik dari ilmu-ilmu Islam tradisional seperti tasawuf, kalam dan fiqih yang dibalut dengan pemahaman psikologis tentang kesejahteraan, penyembuhan, dan pertumbuhan.
Pendekatan holistik ini merupakan indikasi praktik dokter Muslim pra-modern yang teruji menginspirasi kedokteran modern dan sayangnya sudah lama ditinggalkan di dunia Islam.
Pendekatan holistik semacam ini dinilai oleh banyak pihak memiliki peran yang cukup efektif dalam proses penyembuhan dan bimbingan spiritual dan emosional yang diberikan oleh seorang rohaniawan Muslim.
Nora Zaki, ketika bercerita tentang pengalamannya, menuturkan bahwa dia dan rekan kerjanya sering diminta untuk membantu meningkatkan semangat hidup Muslim dan non-Muslim yang mengalami tekanan moral, eksistensial dan spiritual.
Dengan demikian, rohaniawan Muslim tidak hanya terlatih dalam ilmu-ilmu agama, tetapi juga pemahaman holistik tentang kehidupan manusia sebagai spiritual, biologis, psikologis, sosial, dan budaya.
Seperti halnya konseling dan psikoterapi Islam secara umum, pelayanan rohaniawan Muslim di Amerika ini juga didasarkan pada teori-teori yang koheren yang berasal dari ilmu-ilmu dan praktik-praktik Islam yang bersifat terapeutik. Layanan mereka memadukan teori-teori psikologi dan ilmu-ilmu sosial bersama dengan sumber-sumber Islam klasik seperti karya al-Ghazali, Ibnu Athaillah as-Sakandari, Jalaluddin Rumi dan sebagainya.
Pendekatan teks-teks Islam tradisional dan kehidupan Nabi Muhammad dengan demikian menjadi fondasi penting dari perawatan spiritual dan keagamaan Islam; itulah faktor pembeda layanan rohaniawan Muslim dengan lainnya.
Dalam praktiknya, rohaniawan Muslim berusaha untuk memberikan layanannya dengan cara yang konsisten dengan prinsip-prinsip tradisi Islam, seperti penekanannya pada bimbingan (irshad) dan belas kasihan (rahmah), tidak peduli siapa yang mereka layani (Muslim atau non-Muslim).
Lebih jauh, pelayanan rohaniawan Muslim berbeda dari cara-cara lain dalam menghadapi masyarakat (khidma). Hal ini karena penanganan mereka didasarkan pada prinsip-prinsip reformasi (islah) spiritual (qalb) dan pemahaman psikologis tentang kesejahteraan, penyembuhan, dan pertumbuhan.
Pendekatan semacam ini mengingatkan saya pada program studi Tasawuf dan Psikoterapi di perguruan tinggi Islam di Indonesia. Sayangnya, alumni jurusan yang di maksud belum mendapatkan tempat yang strategis dalam dunia kerja sebagaimana alumni dari fakultas psikologi.
Lebih dari Imam
Meskipun imam dan rohaniawan Muslim memiliki tanggung jawab, keterampilan, dan kompetensi yang hampir sama, kedua peran tersebut berbeda dalam spesifikasi gender, pengaturan, dan ruang lingkup praktiknya. Misalnya, posisi imam secara tradisional dipegang oleh laki-laki. Sementara profesi rohaniawan, bisa diisi baik perempuan maupun laki-laki.
Hal ini sebagian disebabkan oleh perbedaan fungsi utama peran mereka. Meskipun tugas seorang imam dapat sangat bervariasi dari satu masjid ke masjid lainnya seperti di Indonesia, tanggung jawab utamanya biasanya adalah memimpin shalat berjamaah dan memberikan khutbah Jumat; peran yang secara tradisional terbatas pada laki-laki.
Namun, tanggung jawab utama seorang rohaniawan Muslim adalah perawatan pastoral individu (Muslim dan non-Muslim) di lembaga publik yang dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Lebih jauh lagi, pelayanan rohaniawan Muslim yang efektif memerlukan pelatihan ekstensif dalam perawatan pastoral, konseling, dan etika profesional. Sementara sebagian besar imam belum menerima pelatihan formal dalam konseling atau perawatan pastoral.
Menurut Isgandarova (2014) banyak fakultas studi teologi Islam, termasuk yang melatih para imam, gagal untuk memulai sumber daya kreatif dalam menghasilkan pemimpin agama yang memenuhi kebutuhan psikososial komunitas Muslim. Kurangnya pelatihan dalam psikologi, konseling, dan perawatan pastoral ini melemahkan efektivitas seorang imam dalam hal mampu menanggapi kebutuhan emosional jamaahnya.
Sementara itu sifat lembaga publik modern, dengan perhatian mereka terhadap keamanan, kesehatan, keselamatan, dan kerahasiaan, memberikan akses yang lebih besar kepada rohaniawan Muslim untuk menawarkan perawatan spiritual dan bekerja sama dengan psikolog, psikiater, dan penyedia layanan kesehatan lainnya.
Meskipun istilah chaplain memiliki akar dalam tradisi Kristen, kaum Muslim di Amerika telah menerima model tersebut sebagai cara untuk memberikan bimbingan berbasis agama dalam konteks kelembagaan.
Rohaniawan Muslim bahkan dalam beberapa tahun terakhir, telah bertindak sebagai pemimpin intra-lembaga yang berupaya untuk mencapai pemahaman lintas agama dan keterlibatan masyarakat yang lebih besar. Mereka sering kali menjadi wajah Islam di lembaga-lembaga tersebut dan mendorong perubahan demografi populasi Muslim di Amerika.
Dalam dua dasawarsa terakhir kehadiran rohaniawan Muslim memiliki peran yang begitu penting bagi Muslim di Amerika. Perannya yang strategis memungkinkan mereka melahirkan dampak positif yang luar biasa.
Di satu sisi mereka berhasil mendekatkan komunitas Muslim dengan agamanya, yang telah mereka tinggalkan karena kesibukan kehidupan di kota-kota metropolitan. Pada waktu yang sama, kemampuan mereka untuk menghadapi pasien non-Muslim juga memberikan peluang yang begitu lebar dalam konteks menyebarkan agama Islam sehingga bisa mengakselerasi perkembangan Islam di Amerika.
Ahmad Munji, peserta program microcredential Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama-LPDP di Amerika Serikat.