Di lingkungan NU, perkara sandal jangan dianggap remeh. Dia bisa menunjukkan karakter utama santri dan pesantren sebagai subkultur Indonesia. Cara memperlakukan sandal, adalah cara santri menghadapi kehidupan.
Oleh Masykurudin Hafidz
“Bagi Romo Kiai yang sandalnya tertukar mohon ke depan” Kalimat ini viral. Kalimat yang diumumkan oleh panitia sesaat setelah peserta Muktamar mengambil wudhu dan melaksanakan solat subuh berjamah. Saat rekapitulasi perolehan suara bakal calon ketua umum PBNU.
Yang tidak banyak diketahui adalah kejadian setelah pengumuman itu disampaikan. Beberapa peserta Muktamar maju mendekati suara. Ada salah satu pesertadatang tergopoh-gopoh ke meja depan. Beliau menyodorkan sandalnya yang tertukar sambil berujar ke panitia.
“Mohon maaf kiai, maaf beribu maaf, saya tidak tahu apakah saya duluan atau beliau duluan yang salah memakai.”
Di lingkungan NU, perkara sandal jangan dianggap remeh. Dia bisa menunjukkan karakter utama santri dan pesantren sebagai subkultur Indonesia. Cara memperlakukan sandal, adalah cara santri menghadapi kehidupan.
Nggak percaya? Bagi kita yang sering mengikuti forum-forum NU di pesantren pasti ingat betul. Ruangan pertemuan di pesantren itu dijaga kebersihannya. Salah satu menjaganya adalah dengan mencopot alas kaki.
Begitu kita masuk ke ruangan di forum-forum NU di Pesantren, silakan perhatikan. Sebelum pintu masuk terdapat para santri yang sudah standby. Mereka menunggu sandal kita untuk dilepas dan masuk ke dalam. Begitu sandal kita dilepas, maka para santri tersebut mengambil sandal kita dan menatanya dengan rapi.
Selain menatanya dengan rapi, sandal kita juga dihadapkan ke depan ruangan, sehingga begitu nanti kita keluar ruangan maka tidak berlu menghadap ke belakang. Langsung memakai sandal tersebut yang sudah ditata rapi dan maju keluar ruangan.
Tindakan ini tidak hanya satu dua kali saja, perhatikan para santri ketika kiainya keluar dari ndalem (baca; rumah) menuju masjid atau tempat mengajar. Beberapa para santri berjaga-jaga dan mengintai kiainya di belakang dengan menunduk-nunduk. Begitu sandalnya dicopot maka rebutan siapa yang paling cepat menatakan sandal kiainya.
Tidak cuma sandal. Sikap ini merambat ke yang lainnya juga. Perhatikan setelah kegiatan para kiai dan ulama selesai. Para santri membersihkan ruangan.Tidak hanya membersihkan tetapi juga memiliki misi khusus dalam pembersihan itu. Misalnya para santri rebutan untuk menghabiskan sisa minuman kiai. Ini bukan soal kesehatan, ini soal mencari keberkahan.
Apa makna dari semua ini? Pertama; agama itu tindakan. Agama bukan hanya seperangkat keyakinan tetapi yang lebih penting adalah praktik dari keyakinan itu. Sekuat-kuatnya keyakinan dia hanya bisa dibuktikan dengan tindakan. Tindakannya pun tidak hanya satu dua kali tetapi terus menerus alias istiqamah.
Beragama tidak cukup dengan pidato. Semakin keras pidato semakin jauh dari sabda Rasulullah bahwa kesempurnaan keyakinan seseorang itu ditunjukkan dengan semakin baiknya tindakan. Bukan dengan semakin kerasnya ucapan.
Apa yang ditunjukkan oleh peserta muktamar dan Santri pesantren menunjukkan bahwa beragama adalah bertindak baik. Menjalankan keyakinan keagamaan tidak hanya dengan belajar dan menambah ilmu sebanyak-banyaknya tetapi menerapkan akhlaqul karimah. Tindakan yang baik, tindakan sehari-hari yang terpuji.
Kedua; hidup itu sederhana. Pengumuman tertukarnya sandal adalah cerminan pelaksanaan Muktamar sesungguhnya. Setegang apapun suasananya, pada akhirnya adem juga. Istilahnya sebelum muktamar gegeran, selanjutnya yang terjadi adalah ger-geran.
Kesederhanan diutamakan betul dalam muktamar. Lokasi pembukaan ada di pesantren, membangun tenda untuk kehadiran Presiden dan Wakil Presiden. Dalam radius 10 kilo meter dari lokasi-lokasi muktamar disediakan rumah-rumah, posko-posko dan warung-warung untuk menjadi saksi kesederhanaan muktamar.
Antara yang muktamar-in (peserta resmi di [dalam] ruangan) dengan muktamir-out (peserta yang di [luar] ruangan) sama-sama hebohnya. Bahkan ketika sesi istirahat maka yang in dan out berbaur sedemikian rupa. Tidak jarang diskusi di waktu istirahat ini lebih gayeng, tertawa lepas dengan khas.
Makanan ringan dan kopi tidak pernah lepasdibagikan oleh panitia lokal. Dipastikan setiap sudut ruangan dan titik lokasi muktamar kita bisa ngopi. Dan kopi adalah alat utama komunikasi. Sambil dua tiga batang tentunya. Bercakap-cakap ke sana kemari, ajang silaturrahmi apalagi setelah bertahun-tahun dilanda pandemi.
Tidak ada jarak antarpeserta muktamar, baik yang resmi baik romli (simpatisan muktamar). Baik yang kiai maupun santri. Baik yang meliput media maupun yang berebut suara. Semuanya menjadi satu, dalam kesederhanaan. Semuanya ngalap barokah.
Informasi soal sandal yang tertukar adalah wujud kesederhanaan dalam muktamar. Sekuat-kuatnya persaingan dukungan, tidak mengalahkan kemanusiaan. Kemanusiaan kaum sarungan, yang sederhana dan apa adanya.
Pada akhirnya, sandal adalah simbol kesederhanaan. Yang kadang-kadang tertukar bahkan hilang, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Masykurudin Hafidz, Panitia Muktamar Ke-34 NU di Lampung.