Oleh Bramantyo
Assalamualaikum wr wb.
Perkenalkan, nama saya Bramantyo dan Alhamdulillah saya termasuk warga NU. Walaupun 'NU Abangan', wong Iqra saja belum khatam.
Tapi saya sangat bangga jadi warga NU, walaupun saya tidak tahu, apakah NU bangga punya warga seperti saya.
Dan sebagai bukti kebanggaan saya menjadi warga NU, saya tidak terpancing untuk ikut-ikutan ganti nama menjadi 'Bram Al-Khotot,' agar dilihat orang sebagai orang yang shaleh. Karena bagi saya yang orang 'NU Abangan', kadar keshalehan orang itu tidak dilihat dari nama, tapi dari cara pandang dan sikap kita dalam melihat, menyikapi dan memperlakukan semua makhluk ciptaan Allah SWT.
Dan, walaupun latar belakang saya sebagai pelukis, saya juga tidak terpancing untuk ikut-ikutan melukis lingkaran hitam di jidat saya, agar terlihat sebagai orang beriman. Karena bagi saya sebagai orang 'NU Abangan', kadar keimanan seseorang itu tidak sesederhana dilihat dari stempel atau tanda hitam di jidat,, atau terlihat dari celana kulot di atas mata kaki, dari grup pecel lele (persatuan celana lebar). Tapi dari cara kita mensyukuri dan ridho atas segala takdir dan ketetapan-Nya.
Saya hanya ingin jadi warga NU yang sederhana, yang apa adanya, bukan ada apanya. Yang percaya bahwa sebaik-baiknya orang adalah yang berguna bagi sesamanya, bermanfaat bagi lingkungannya.
Saya hanya ingin jadi warga NU yang sederhana, yang akan mengucap takbir "Allahu Akbar" karena menyaksikan kebesaran Tuhan. Bukan "Allahu Akbar" untuk memprovokasi, membakar atau mencaci-maki sesama makhluk Allah SWT.
Alhamdulillah, saya dilahirkan di lingkungan NU. Suatu lingkungan yang masih memegang erat dakwah dan budaya NU.
Masih teringat dalam ingatan saya, saat saya masih kecil—yah, SD lah—kalau ada tetangga meninggal, perasaan ini campur aduk: antara sedih dan senang. Sedih karena ditinggal tetangga untuk selamanya. Senang karena sudah membayangkan: selama tujuh hari pasti dapat berkat.
NU itu ibarat pepatah, diam-diam menghanyutkan. Dihina pasti memaafkan. Dicaci-maki, malah balas mendoakan yang baik-baik. Disenggol malah ngajak silaturrahmi. Selalu menjadi air, saat lainnya jadi api yang membakar sekitarnya. Sangat meneduhkan.
NU itu santai.
NU itu slow man.
Sampai karena sangat slow-nya, pernah saya pameran lukisan bareng teman-teman NU, pembukaan pameran jam delapan malam, undangan disebar jam enam sore. Tapi karena iman dan percaya bahwa semua sudah diatur sama Tuhan, akhirnya terlaksana juga pembukaan pamerannya, sukses dan lancar.
Slow man. Semua pasrahkan pada Tuhan, yang penting kita sudah usaha.
NU itu bagai karang yang kokoh diterjang ombak peradaban moral yang semakin kusut. NU itu berani berlapar-lapar dan berjuang (tapi takut salid), pissss.
Mengidentifikasi orang NU itu mudah: orangnya tidak spaneng, suka guyon, bisa memaklumi orang, lucu, imut, penuh rasa toleransi, (mangane akeh, salidtan), piss maneh. Tidak suka teriak-teriak "Allahu Akbar" sambil membakar. Tidak suka shalat bareng-bareng di pinggir jalan sehabis teriak-teriak memaki dan mencaci orang. Pokoke jooooooooosss….
Orang NU itu kalau melihat keajaiban alam, langsung menunduk dan ingat Tuhan. Bukan malah gumunan, lalu sibuk bilang amin dan menyuruh untuk disebarkan lewat WA.
Karena ingat….
Akan tiba suatu masa, mulut ini dikunci dan jari-jari bersaksi bahwa setiap hari, ia dipakai untuk mencaci, dan sebarkan intoleransi tiap hari.
NU adalah mata air para pencari ilahi. Samudera bagi pantai-pantai budaya.
NU adalah tiang-tiang peradaban.
NU adalah matahari, penerang bagi siang-siangku. Dan rembulan, penerang bagi malam-malamku.
Terima kasih.
Penulis adalah pekerja seni lukis, tinggal di Purworejo, Jawa Tengah. Pernah ikut pameran lukisan bertemakan ulama dan tokoh NU pada Haul Gus Dur di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2018 silam. Tulisan ini dibacakan penulis pada Peringatan Harlah NU ke-98 16 Rajab 1442 H oleh forum diskusi 'Kopi Panas' di Rumah Juang, Purworejo.