Opini

Sertifikasi BHNU: Proteksi dan Branding Ekonomi

Senin, 25 Februari 2013 | 07:02 WIB

Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU) sebagai institusi sertifikasi pangan NU, telah resmi dicanangkan operasionalisasinya oleh Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, 6 Februari 2013. Kebutuhan Nahdliyin yang sangat khas atas diselenggarakannya pelayanan publik dalam penilaian internal kehalalan pangan dengan demikian harus segera dijawab, terutama dalam kaitannya dengan upaya proteksi terhadap Nahdliyin dan masyarakat luas, dalam posisinya sebagai konsumen maupun produsen pangan.
<>
Tidak pernah bisa dipungkiri bahwa populasi warga Nahdliyin, kecuali menduduki rangking mayoritas sebagai warga NKRI, distribusi warganya memiliki spektrum yang paling beragam dibandingkan dengan kelompok sosial politik apapun di Indonesia, dan bahkan di jagad raya. Kekayaan spektrum keanggotaan yang teramat lebar sebagai the moderate ini memiliki konsekensi tersendiri dalam urusan bermasyarakat dan berbangsa. Nyaris mustahil bagi lembaga manapun di Negeri ini bisa melakukan monopoli pelayanan sepadan bagi semua.

Hari Gini, Monopoli?

Nalar kelebaran spektrum kemasyarakatan pada tingkat jama’ah NU maupun masyarakat luas Bangsa Indonesia, baik atas dasar etnisitas, kultural, lokalita, keberagamaan, dan segala segmentasi sosial-politik yang teramat multidimensi telah melahirkan tuntutan bagi tegaknya format politik kebangsaan yang semakin demokratis menuju tata-kenegaraan dan tata-pelayanan publik yang people-based, semakin didasarkan atas keragaman yang memang niscaya tetapi senantiasa terbingkai dalam kesatuan kebangsaan NKRI. NU amat meyakini ini.

Konsekuensinya, semangat demokratisasi itupun semakin mengedepankan otonomi, desentralisasi dan partisipasi, yang tidak sekedar berujud penyerahan kekuasaan, devolution of power, dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, akan tetapi sekaligus membuka kesempatan seluas-luasnya partisipasi publik nyaris dalam urusan apapun, termasuk di dalamnya adalah urusan pelayanan publik seperti urusan pendidikan, kesehatan, keagamaan, perekonomian, sampai urusan pangan nasional. Nalar pergeseran kekuasaan itu pula yang mengharuskan akomodasi Negara terhadap partisipasi Orsos dalam pelayanan publik.

Ketika urusan pelayanan publik sekaligus juga bersinggungan dengan kepentingan spiritualitas dan syariat, tuntutan akomodasi partisipasi Orsos Keagamaan jelas tidak mungkin dipungkiri, sepanjang senantiasa terbingkai dalam semangat kerukunan NKRI. Dalam relasi inilah akomodasi Sistem Negara terhadap partisipasi PBNU dalam mengawal sistem pangan warganya, sekaligus masyarakat Indonesia pada umumnya, menjadi sebuah keharusan. Dengan demikian, inisiatif pelembagaan BHNU memiliki rasionalitas yang tidak bisa ditawar ketika dalam keseharian sistem politik kebangsaan semakin anti otoritarian dan anti monopoli dalam urusan apapun, terlebih ketika diperlukan pelayanan sepadan atas kekhasan kebutuhan.   

Kekhasan Kebutuhan

Tidak berlebihan bagi PBNU untuk meletakkan kekhasan kebutuhan warga urusan pangan nasional, karena kebesaran populasi warga Nahdliyyin yang didominasi oleh jutaan produsen dan jutaan konsumen, dengan spektrum politik-ekonomi-sosial yang sangat luas. Adalah konsekuensi dari mayoritas manakala tuntutan terhadap berdirinya BHNU datang dari segenap lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat basis di pedesaan, pelaku usaha ekonomi lemah, sampai dengan masyarakat elit, kaum terpelajar, birokrasi dan pelaku industri di perkotaan.

Tidak terhitung tuntutan industrial terlontar dari para pelaku industri dan manufaktur pangan, khususnya dari kalangan HPN, Himpunan Pengusaha Nahdliyin beserta jaringan kerjanya atas partisipasi BHNU dalam sertifikasi produk industrial manakala disadari bahwa konsumen mayoritasnya adalah Nahdliyin dan komunitas pesantren. Kebutuhan elit pada tingkat pemilik modal ini juga bersambut dengan iktikad elite Pemerintahan ketika diperlukan sertifikasi yang lebih spesifik terkait dengan adopsi terhadap program pengembangan pangan dan kesehatan. Persoalan pangan transgenik, vaksinasi, dan sejenisnya memerlukan kekhasan sertifikasi.

Kelas menengah NU di perkotaan, baik dalam posisinya sebagai produsen maupun konsumen sudah barang tentu memerlukan intensitas pelayanan sistem informasi pangan yang semakin meyakinkan dan paripurna. Sistem informasi ini sampai dengan hari ini, hanya sebagian tersaji dalam informasi kemasan produk pangan dan obat-obatan dalam kategori formal. Sementara realitasnya, kelas menengah sekalipun, kehidupan kesehariannya sangat akrab dengan urusan pelayanan pangan yang acapkali diselenggarakan oleh makin berjubelnya sektor informal.  Bagaimana pula dengan masyarakat basis, baik konsumen maupun produsen usaha mikro?
 
Proteksi dan Branding Mikro

Skema pelayanan publik dalam urusan apapun sudah waktunya semakin menyeluruh, tidak eksklusif dan tidak monopolistik. Al-Adalah dan at-Ta’awwun sebagai bagian dari nilai Mabadi’ Khaira Ummah memandatkan pelayanan informasi pangan yang non-diskriminatif dan aksesibel bagi semuanya, baik produsen maupun konsumen. Dalam pemikiran PBNU, tidak pernah ada masalah non-certifiable, tidak bisa disertifikasi kecuali memang tidak halal. Tugas BHNU adalah tahlil al-muhallalaat, bukan tahlil al-muharramat. Dalam kredo unilah BHNU sangat inclusive, harus bisa diakses siapapun, termasuk produsen mikro tanpa uang.

Dalam kaitannya dengan Usaha Mikro, bakul bakso, warteg, dan sejenisnya, bagi BHNU sertifikasi adalah proteksi ekonomi melalui branding kehalalan. Economic protection dan economic branding ini dewasa ini tidak terlayani oleh siapapun karena populasi yang terlibat bukan main melimpah, produsen dan konsumen. Kejadian mutakhir kaitannya dengan tiadanya proteksi kehalalan, sejumlah penjual bakso Nahdliyin berikut konsumennya menjadi korban pasar dan semuanya tidak laku ketika merebak isu bakso sapi campur babi. Bukankah itu kewajiban bagi PBNU untuk melakukan proteksi ekonomis kadernya dari kenakalan pasar?

Ketika merebak isu mie ayam campur tikus beberapa waktu lalu, para santri di puluhan blok pemukiman Pesantren Krapyak Yogyakarta berhenti makan mie ayam beberapa lama. Why? Karena tidak ada sistem informasi terpercaya tentang kehalalan itu. Akibatnya, santri harus makan pangan lain yang lebih mahal, sementara penjual mie ayam harus puasa, gulung tikar. Bakso sudut kota juga gulung tikar karena kalah murah dibanding bakso campur babi...  

Walhasil, adalah sebuah keniscayaan, bahwa sertifikasi pangan bukanlah sekedar secarik kertas dan sebutir stempel. Dia bukan pula monopoli industri manufaktur berskala besar. Bukan pula monopoli otoritas tertentu. Sertifikasi berurusan dengan sistem informasi, proteksi ekonomi, sekaligus proteksi konsumsi jutaan masyarakat. Perspektif menyeluruh inilah nalar dasar bahwa PBNU, dalam hal ini BHNU, harus bertanggungjawab melindungi warganya.  

 

*Penulis adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Terkait