Dalam Kitab Sutasoma, Empu Tantular menyatakan bahwa persatuan adalah faktor mendasar untuk membangkitkan kembali keterpurukan masyarakat di Majapahit. Ia mencetuskan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu). Bhinneka Tunggal Ika merupakan sebuah frasa yang terdapat dalam Kakawin Sutasoma. Kakawin sendiri berarti syair dengan bahasa Jawa kuno. Kakawin Sutasoma merupakan karangan Empu Tantular yang ditulis menggunakan bahasa Jawa kuno dengan aksara Bali.
Bisa dibayangkan, pada tahun 1300-an atau abad ke-14 tersebut, seorang Empu Tantular sudah menyadari keberagaman masyarakat Nusantara zaman Majapahit dulu. Pandangan ini bukan semata khayalan seorang penyair dan sastrawan, tetapi hasil perenungan mendalam Empu Tantular terkait realitas sosial-masyarakat kala itu. Utamanya untuk menyatukan masyarakat guna mengatasi krisis yang terjadi.
Saat ini, krisis identitas sebuah bangsa salah satunya disebabkan oleh generasi mudanya yang tidak mau atau bisa jadi tidak paham sejarah bangsanya. Sejarah bangsa dari Republik ini telah dilalui banyak peristiwa pada era dan masanya. Di mana pada masa-masa itu menghasilkan banyak peradaban, tradisi, budaya, dan nilai-nilai sosial-masyarakat yang adiluhung.
Penguatan pemahaman sejarah bangsanya sendiri ditekankan cendekiawan Muslim KH Said Aqil Siroj (2015). Ia mengatakan, Man laisa lahu ardl, laisa lahu tarikh. Wa man laisa lahu tarikh, laisa lahu dzakiroh (barangsiapa tidak punya tanah air, maka tidak punya sejarah. Barangsiapa tidak punya sejarah, maka akan terlupakan). Sejarah bangsa Indonesia yang dikenal eklektik ini harus menjadi pijakan para generasi muda sebagai modal merawat kebinekaan. Apalagi di tengah deraan perkembangan teknologi digital yang terus menggerus identitas bangsa.
Setiap peradaban yang diciptakan oleh bangsa Nusantara di beberapa tahapan masa tidak lepas dari nilai-nilai adiluhung yang harus mampu dipahami oleh generasi bangsa masa kini (milenial). Maka, gerakan merawat kebinekaan tidak hanya merawat memori kolektif akan identitas orisinal bangsa Indonesia, tetapi juga sebagai upaya peneguhan negara lewat pengamalan nilai-nilai Pancasila; tidak hanya semangat beragama, tetapi juga harus dibarengi dengan kemampuan memahami agama; juga menegakkan perdamaian yang selama ini terjaga dengan baik antar-anak bangsa di Indonesia.
Empu Tantular memang mengkritik Gadjah Mada, tetapi Gadjah Mada telah meletakkan fondasi pentingnya persatuan seluruh bangsa di tanah Nusantara. Politik Majapahit kala itu ingin ‘memeluk’ Nusantara secara keseluruhan dalam kerajaan agungnya. Salah satu langkahnya, Gadjah Mada terobsesi menyatukan Nusantara dengan Sumpah Palapanya.
Sumpah Palapa lahir sebagai bentuk pengabdian, pernyataan, pengharapan, dan pembuktian. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Gadjah Mada dalam Kitab Negarakertagama anggitan Empu Prapanca yang dikutip Slamet Muljana dalam Menuju Kemegahan (2015):
Gadjah Mada berujar: “Jika telah berhasil menundukkan Nusantara, saya baru akan istirahat. Jika Gurun (Lombok), Seran (Seram), Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Sriwijaya (Palembang), Tumasik (Singapura) telah tunduk, saya baru akan istirahat.”
Sumpah ini diucapkan sebagai janji oleh Gadjah Mada pada 1256 Saka atau 1334 Masehi. Terlepas dari tujuan politik Kerajaan Majapahit, gagasan penyatuan Nusantara bukan hanya ambisi semata, tetapi juga renungan mendalam bahwa bangsa Nusantara merupakan kumpulan masyarakat yang meskipun berbeda-beda, tetapi mempunyai karakteristik sama sebagai sebuah bangsa.
Di titik ini, alangkah tepatnya pernyataan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi renungan bersama dalam menyikapi perbedaan, “Semakin berbeda kita, semakin kita mengetahui titik-titik persatuan kita.” (Wisdom Gus Dur, 2014).
Salah satu karakteristik bangsa Nusantara ialah berpikiran terbuka (eklektik). Sebab itu, meskipun Hindu dan Budha adalah agama yang ada terlebih dahulu sebelum Islam, tetapi ketika para Sufi masuk ke Nusantara membawa misi dakwah, masyarakat Nusantara tidak begitu saja menolak. Bahkan, dengan dakwah yang ramah dan substantif, para sufi yang juga dikenal sebagai Wali Songo itu berhasil menyebarluaskan ajaran Islam dengan damai.
Merunut dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo itu, mereka juga tetap menjaga kebinekaan yang telah berlangsung di tengah masyarakat. Tradisi dan budaya yang secara substansi syariat (maqashidus syariah) tidak bertentangan dengan ajaran Islam, tidak mereka tolak dan tidak mereka berangus.
Justru Wali Songo menggunakan tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat sebagai instrumen dakwahnya. Logika sederhananya, untuk mengganti air kotor yang ada di dalam gelas, tidak harus menghancurkan gelasnya.
Sebab itu, keberagaman tradisi, budaya, suku, bangsa, etnis, ras, maupun keyakinan agama yang telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia harus tetap terjaga. Meminjam kata Gus Dur, ‘Indonesia lahir karena perbedaan, tanpa ada perbedaan tak ada Indonesia.’
Penulis adalah Pengajar Sejarah di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta