Purworejo, NU Online
Pesantren merupakan miniatur kebinekaan. Pasalnya, di dalam pesantren terdapat santri yang berasal dari Sabang sampai Merauke juga berasal dari berbagai latar suku dan budaya yang ada di Indonesia.
"Penghuni pesantren cukup beragam dari berbagai suku, golongan, budaya hingga bahasa yang berbeda-beda, namun di pesantren masih bisa hidup rukun dan guyub," ujar Pengasuh Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur KH Reza Ahmad Zahid saat memberikan taushiyah pada Haflah Akhirussanah Ke-41 Pesantren An-Nawawi Berjan Purworejo, Sabtu (6/7) malam.
"Kalau mau belajar Bhinneka Tunggal Ika datanglah ke pondok-pondok pesantren. Seperti kita dengar tadi di An-Nawawi ini ada yang berasal dari Lampung, Suku Batak, Suku Bugis, Jawa, Sunda, Dayak hingga dari berbagai wilayah di Indonesia Timur," terang Kiai yang akrab disapa Gus Reza tersebut.
Itu artinya, kata Gus Reza, santri sudah terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya dari berbagai latar belakang suku dan budaya setiap hari. Sehingga jaminannya adalah ketika santri ini menjadi alumni dan sudah terjun di tengah-tengah masyarakat mereka sudah terbiasa dengan menghadapi perbedaan.
"Maka, kalau ada pejabat ingin studi banding soal kebinekaan tidak usah jauh-jauh keliling Indonesia karena hanya menghabiskan anggaran negara. Cukup datang ke pesantren, panjenengan akan melihat secara langsung bagaimana praktik kebinekaan itu telah berjalan dengan sangat baik," katanya.
Pengasuh Pesantren An-Nawawi, KH Achmad Chalwani Nawawi dalam sambutannya mengungkapkan pendapat tokoh-tokoh nasional tentang sistem pendidikan pesantren. Di antaranya, mengutip Douwes Dekker yang mengatakan bahwa kalau tidak ada kiai dan pesantren, patriotisme Indonesia sudah hancur berantakan.
"Ini yang bicara orang yang tak mengenyam pendidikan pesantren. Kalau saya yang bicara atau para kiai pimpinan pesantren, tentu dituduh hanya promosi pesantren," tegasnya.
Tokoh pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara atau Suwardi Suryaningrat, lanjut Kiai Chalwani, juga mengomentari pesantren. "Pendidikan yang paling berhasil adalah pendidikan dengan sistem pesantren, karena di pesantren semua lingkungannya mendukung," katanya, menirukan Bapak Pendidikan Nasional.
Kiai Chalwani mengutip pendapat tokoh pendidikan Internasional Sudjatmoko yang juga mantan Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa, Tokyo, Jepang. "Pada zaman akhir ini, pendidikan yang paling baik adalah pondok pesantren, dengan catatan memakai manajemen modern," ungkap Mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah Berjan Purworejo, mengutip pendapat Soedjatmoko. (Naufa/Muiz)