Opini

Tantangan Transformasi NU: Dari Budaya Kegiatan ke Program Berkelanjutan

Selasa, 4 November 2025 | 12:02 WIB

Tantangan Transformasi NU: Dari Budaya Kegiatan ke Program Berkelanjutan

Warga NU yang beramai-ramai menghadiri sebuah acara (Foto: tangkapan layar jilid buku Reorientasi Politik NU pada Masa Orde Baru)

Publik Indonesia kerap disuguhi dua pemandangan kontras dari dua organisasi Islam terbesarnya. Di satu sisi, Muhammadiyah, dengan disiplin yang nyaris menyerupai korporasi, secara rutin mengumumkan capaian institusionalnya. Kita familier dengan berita peresmian universitas ke-171, rumah sakit ke-122, atau ribuan sekolah yang terstandar dan terkelola rapi sebagai aset persyarikatan.


Di sisi lain, Nahdlatul Ulama (NU)—dengan basis jamaah yang diklaim jauh lebih masif—mempertontonkan kekuatan utamanya: mobilisasi kultural yang dahsyat. Jutaan warga tumpah ruah dalam peringatan harlah, Hari Santri, atau pengajian akbar. Sebuah kekuatan berbasis loyalitas yang tak tertandingi.


Namun, di balik kekuatan kultural itu, amal usaha formal NU seperti Rumah Sakit Nahdlatul Ulama (RSNU) atau Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) terkesan tumbuh secara berbeda. Pertumbuhannya terasa sporadis, sangat otonom di tingkat lokal, dan belum terkonsolidasi sebagai sebuah kekuatan institusional nasional yang sepadan dengan besarnya massa.


Mengapa paradoks ini terjadi? Jawabannya tidak terletak pada mana yang lebih unggul, melainkan pada DNA organisasi yang berbeda secara diametral. Muhammadiyah dirancang sebagai "korporasi institusional", sementara NU tumbuh sebagai "ekosistem kultural".


Kini, tantangan terbesar yang dihadapi NU dalam visinya menyongsong abad kedua adalah mentransformasi kekuatan kulturalnya yang luar biasa itu—yang selama ini termanifestasi dalam "budaya kegiatan"—menjadi "program berkelanjutan" yang sistemik, terukur, dan berdampak jangka panjang.


Model Muhammadiyah: Rapi Seperti Perusahaan
Keberhasilan Muhammadiyah membangun ribuan Amal Usaha (AUM) bukanlah kebetulan, melainkan buah dari desain organisasi yang brilian sejak awal. DNA-nya adalah "korporasi institusional" yang sejak didirikan memang dirancang untuk menjadi program-driven, digerakkan oleh program jangka panjang yang terstruktur. Kekuatan utama Muhammadiyah tidak bertumpu pada loyalitas kultural massa, melainkan pada aset institusional yang terkelola secara profesional.


Model ini bersifat top-down (dari atas ke bawah), terpusat, dan akuntabel. Pimpinan Pusat, melalui Majelis-Majelis teknis (seperti Majelis Dikdasmen untuk sekolah, Majelis Diktilitbang untuk kampus, dan Majelis PKU untuk kesehatan), memiliki wewenang untuk menetapkan standar, melakukan audit, dan mengarahkan strategi. AUM tidak dimiliki oleh perorangan, melainkan secara kolektif oleh Persyarikatan.


"Mesin" utama yang membuat model ini sangat efektif adalah mekanisme subsidi silang. Ini adalah kebijakan terstruktur di mana AUM yang "kaya" dan sangat profitabel—misalnya universitas besar atau rumah sakit di kota—secara wajib menyisihkan sebagian profitnya. Dana terkonsolidasi inilah yang kemudian direalokasikan oleh Persyarikatan untuk membiayai AUM yang masih merugi di daerah terpencil, atau untuk mendanai ekspansi pembangunan AUM baru dari nol.


Hasilnya adalah sebuah model pertumbuhan yang efektif, terukur, dan mudah direplikasi (scalable). Sukses dalam cetak biru Muhammadiyah diukur secara kuantitatif: berapa banyak AUM baru berdiri, berapa banyak layanan yang terstandar, dan seberapa sehat neraca keuangan organisasi.


Model NU: Tumbuh dari Akar Rumput
Berbeda 180 derajat dengan Muhammadiyah, NU tumbuh sebagai "ekosistem kultural". Modelnya tidak top-down (dari atas ke bawah), melainkan bottom-up (dari bawah ke atas), terdesentralisasi, dan otonom.


Kekuatan inti NU tidak terletak pada aset institusional yang dimiliki jam’iyah (organisasi), melainkan pada aset kultural yang hidup di tengah jamaah (komunitas): yakni karisma kiai dan kemandirian pondok pesantren. Puluhan ribu pesantren yang menjadi tulang punggung NU, secara historis, adalah milik keluarga kiai (dzuriyah) yang otonom. Mereka berafiliasi dengan NU, tetapi tidak dimiliki atau dikelola secara finansial oleh NU.


Dalam ekosistem yang berpusat pada figur kiai dan pesantren inilah, denyut nadi kehidupan jamaah secara alamiah termanifestasi dalam berbagai kegiatan tradisi—seperti haul, maulidan, manaqib, atau istighotsah. Kegiatan-kegiatan ini hidup subur, didanai secara mandiri dan sukarela langsung oleh jamaah sebagai ekspresi khidmah (pengabdian) dan mahabbah (cinta).


Di sinilah letak miskonsepsi umum. Karena masifnya kegiatan tradisi ini, sering diasumsikan bahwa besarnya sumber daya yang terserap ke sanalah yang menjadi penyebab "lambatnya" NU membangun institusi modern.


Pandangan ini perlu diluruskan. Dana untuk tradisi tersebut umumnya berasal dari "kantong jamaah" yang bersifat otonom, bukan "kantong organisasi" yang dirancang untuk program. Lebih penting lagi, kegiatan tradisi ini bukanlah cost center (pusat biaya) yang menggerus anggaran. Sebaliknya, ia adalah investment center (pusat investasi).


Tradisi adalah infrastruktur sosial yang merawat aset kultural terbesar NU: loyalitas jamaah kepada kiai dan ajarannya. Tanpa "investasi" pada kegiatan ini, loyalitas itu luntur. Padahal, loyalitas inilah yang membuat NU menjadi kekuatan sosial-politik yang tangguh dan menjadi modal utama bagi gerakan filantropi modern NU seperti KOIN (Kotak Infak) dari LAZISNU (Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Nahdlatul Ulama).


Tantangan Internal: Saat 'Acara' Mengalahkan 'Program'
Problem sesungguhnya bukanlah pada suburnya tradisi di tingkat jamaah. Tantangan terbesar NU, yang kini sedang coba diurai oleh PBNU, muncul ketika DNA kultural ini meresap kuat ke dalam tubuh jam'iyah.


Budaya yang dominan di jamaah—yang berfokus pada kemeriahan acara dan berbasis loyalitas figur—akhirnya menjadi budaya dominan di organisasi. Akibatnya, internal organisasi NU di berbagai tingkatan cenderung menjadi event-driven, atau digerakkan oleh momentum kegiatan seremonial, alih-alih program-driven.


"Kesuksesan" seorang pengurus cabang atau wilayah, dalam praktiknya, lebih sering diukur dari seberapa meriah ia menggelar pelantikan akbar, seberapa banyak tokoh yang hadir di acara Hari Santri, atau seberapa ramai peringatan harlah yang diselenggarakan.


Budaya ini membuat "kegiatan" jauh lebih menarik untuk dieksekusi ketimbang "program".


"Kegiatan" (seperti seminar, workshop, atau pelantikan) bersifat jangka pendek, seremonial, dan sangat terlihat (visible). Ia memberikan panggung, mengkonsolidasi massa secara instan, dan—yang tak kalah penting—jauh lebih mudah untuk diajukan proposal pendanaannya.


Sebaliknya, "program berkelanjutan" justru bersifat backend (di belakang layar) dan administratif. Program seperti digitalisasi data anggota (big data), standarisasi kurikulum sekolah Ma'arif, atau pembangunan sistem audit keuangan LAZISNU adalah pekerjaan jangka panjang, "membosankan", dan tidak menghasilkan tepuk tangan instan.


Inilah dikotomi krusialnya. Energi dan sumber daya organisasi (baik finansial, waktu, maupun tenaga pengurus) menjadi lebih mudah terserap untuk memproduksi "kegiatan" yang gemerlap, sementara "program berkelanjutan" yang sistemik dan fundamental seringkali terpinggirkan.


Mengubah Loyalitas Menjadi Aksi Nyata
Tantangan terbesar NU dalam menyongsong abad keduanya, dengan demikian, bukanlah memilih antara tradisi atau modernitas. Tantangannya adalah mengkonversi aset kultural terbesar—yakni loyalitas jamaah yang terbangun dari budaya kegiatan—menjadi energi untuk program berkelanjutan.


Tugas NU bukanlah meniru Muhammadiyah secara utuh. Ketangguhan yang berbasis ekosistem kultural adalah kekuatan unik yang tidak tergantikan. Namun, kekuatan kultural ini perlu ditopang oleh kekuatan institusional.


Langkah PBNU saat ini yang gencar mendorong profesionalisasi manajemen, sentralisasi aset, dan standarisasi tata kelola adalah langkah historis yang krusial ke arah ini. Gerakan KOIN (Kotak Infak) LAZISNU yang fenomenal, jika dikelola dengan akuntabel, adalah bukti nyata pertama bahwa "loyalitas tradisi" sangat mungkin ditransformasi menjadi "program filantropi" yang terukur dan berkelanjutan.


Masa depan NU sejatinya bergantung pada keberhasilan mengarahkan energi kultural yang melimpah itu. Loyalitas yang selama ini terwujud dalam "kegiatan" seremonial harus ditransformasikan menjadi bahan bakar utama untuk menjalankan "program berkelanjutan" yang profesional, terukur, dan berdampak sistemik.


Sofian Junaidi Anom, pengurus LTN PBNU dan Penggerak Komunitas Terong Gosong. Pernah menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah.