Opini

Toleransi Saja Belum Cukup

Kamis, 3 Februari 2022 | 07:15 WIB

Toleransi Saja Belum Cukup

Toleransi Saja Belum Cukup

Kementerian Agama RI mengklaim bahwa Nilai Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) Tahun 2021 masuk pada kategori baik. Nilainya berada pada rerata nasional 72,39 atau naik 4,93 poin dari tahun sebelumnya. Jika benar, ini merupakan kabar baik yang harus disyukuri. Meskipun, hingga kini Kemenag belum mempublikasikan secara terbuka tentang detail metodologi yang diterapkan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan seputar KUB ini.

 

Mengetahui indeks kerukunan bagi negara memang penting, bukan saja untuk mengukur kesuksesan sebuah kebijakan tetapi juga menjadi sarana mendeteksi masalah di masyarakat. Tujuan yang disebut terakhir ini lebih urgen karena dengan demikian pemerintah akan lebih fokus pada solusi atas problem yang muncul, bukan sekadar bangga-banggaan yang potensial menutup persoalan yang masih mendera di banyak daerah.

 

Kemenag mengaku Indeks KUB dibangun dari beberapa variabel yaitu toleransi, kerja sama, dan kesetaraan. Melihat judul yang diangkat, Indeks KUB cenderung berbeda dari Indeks Kota Toleran (IKT) sebagaimana dikeluarkan Setara Institute. Setara menggunakan empat variabel yang lebih konkret, yakni regulasi pemerintah kota, tindakan pemerintah, regulasi sosial, dan demografi agama. Dengan bahasa lain, bila Kemenag menitikberatkan pada aspek horizontal di tataran umat pemeluk agama maka Setara fokus pada level struktural, terutama kebijakan publik.

 

Baik Kemenag maupun Setara, keduanya membeberkan kenaikan nilai rata-rata indeks yang berarti ada perbaikan kondisi harmoni di Indonesia. Yang perlu kita refleksikan bersama adalah sejauh mana toleransi itu kokoh, mengingat konflik bernuansa SARA masih saja terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di daerah-daerah yang konon memiliki indeks kerukunan yang tinggi.

 

Bara Permusuhan

Seperti kita tahu, sejarah Indonesia mencatat sejumlah konflik mengerikan yang dipicu utamanya oleh sentimen SARA. Pertama, konflik agama di Ambon pada 1999 yang memakan korban ribuan nyawa dan meruntuhkan tatanan kehidupan masyarakat saat itu. Kedua, tragedi Sampit yang melibatkan suku Dayak versus susu Madura pada 2021. Kekerasan brutal ini disulut oleh antara lain kasus-kasus perorangan yang kemudian meluas jadi problem komunal karena membawa identitas kesukuan. Ketiga, penjarahan, pembakaran aset, hingga pelecehan seksual oleh etnis pribumi terhadap etnis Tionghoa. Tragedi kemanusiaan ini terjadi pada masa-masa krisis moneter dan kekacauan politik di penghujung rezim Soeharto pada 1988.

 

Tentu masih ada beberapa peristiwa lainnya yang sama-sama membetot urat kemanusiaan kita, seperti konflik pemerintah dengan gerakan separatis semacam Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan Operasi Papua Merdeka (OPM); serta penyerangan terhadap penganut Syiah Sampang yang berujung ke pengungsian, juga kekerasan fisik dan penutupan masjid komunitas Ahmadiyah di sejumlah daerah.

 

Yang penting dicatat di sini adalah bahwa konflik dan kerusuhan yang disebut itu sebagian terjadi di daerah yang kini masuk kategori wilayah-wilayah dengan indeks kerukunan tertinggi. Meski kasus-kasus tersebut sudah berlangsung lama, tidak menutup kemungkinan bara permusuhan lama itu muncul kembali akibat dinamika sosial-politik. Konflik brutal hampir selalu menyimpan dendam ketika masing-masing pihak tidak benar-benar bisa mengambil pelajaran darinya. Terlebih bila ada aktor-aktor penting kerusuhan yang tak tersentuh hukum sama sekali, kecemburuan dan perasaan tidak adil bisa meledak kapan saja asal “prasyarat” untuk rusuh sudah ada.

 

Para politikus umumnya adalah salah satu kontributor terbesar konflik di masyarakat. Kepentingan kekuasaan telah membutakan mata mereka untuk melakukan segala cara, termasuk memainkan politik identitas kelompok. Lihatlah ketika musim kampanye pemilukada telah tiba. Intensitas ketegangan dan semangat saling menjatuhkan meningkat drastis, seiring ambisi kekuasaan dari orang-orang yang berkepentingan juga naik signifikan. Kompetisi di kalangan elite politik berdampak pada ketegangan sosial di masyarakat. Masyarakat umumnya hanyalah korban dari permainan para politisi—biasanya juga berkongsi dengan para pemilik modal—yang haus kekuasaan.

 

Toleransi Aktif

Penulis tidak hendak menimbulkan pesimisme atas toleransi di Indonesia. Juga bukan untuk mendelegitimasi hasil-hasil survei dan riset yang telah dilakukan dengan baik. Tulisan ini justru ingin memperkuat tujuan dari semua orang, yakni terciptanya harmoni sosial, bebas dari konflik bernuansa SARA. Hanya saja, mengingat kompleksnya situasi di masyarakat, sementara karakter survei selalu melakukan generalisasi, kita perlu merenungkan konsep toleransi yang barangkali luput dari pembacaan sebuah penelitian.

 

Kita tentu tidak ingin toleransi yang kita bangga-banggakan di sebuah daerah ternyata hanya mitos belaka, atau mungkin bukan mitos tetapi melupakan bara konflik yang sedang menganga meski belum tampak dominan.

 

KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah mengungkapkan bahwa masalah pokok dalam hal hubungan antarumat beragama adalah pengembangan rasa pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang kukuh kalau umat agama-agama yang berbeda saling mengerti satu sama lain, bukan sekadar saling menghormati. Yang diperlukan adalah saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain (Kompas, 14 Desember 1992).

 

Pernyataan tersebut memberi pesan bahwa masyarakat butuh dari sekadar toleransi dalam pengertian yang pasif. Saling membiarkan dan menerima orang lain berpendapat atau memeluk keyakinannya memang itu adalah bagian dari sikap saling menghormati, tetapi apakah itu sudah masuk kategori saling mengerti dan saling memiliki? Jawabannya, belum tentu. Sebab, untuk mencapai saling pengertian, seseorang bukan cuma “membiarkan” tapi juga berusaha memahami apa yang dipahami mereka dengan rasa penuh simpatik. Untuk mencapai sense of belonging, seseorang mesti turut merasakan kesulitan-kesulitan saudaranya. Jika ini yang terbentuk, hubungan antarumat beragama meraih lebih dari sekadar hidup berdampingan secara damai tetapi juga ikatan persaudaraan yang saling membantu dan menopang satu sama lain.

 

Itulah fondasi paling kokoh dalam kehidupan berbangsa, yang tak mudah digoyahkan oleh provokasi dan kampanye permusuhan. Kita tak tahu, apakah riset-riset yang dilakukan sudah sejauh ini dalam menelisik kondisi umat beragama hari ini? 

 

Nidlomatum MR, pengurus Pimpinan Cabang Fatayat NU; ketua Korps PMII Putri 2014-2017


Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara NU Online dan UNDP


Terkait