Virus Corona, Ikhtiar China, dan Kepulangan WNI dari Wuhan
Selasa, 4 Februari 2020 | 09:00 WIB
Ada 238 orang WNI di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Jumlah ini hanya sebagian kecil dari warga Indonesia di seluruh negara China.
Tahun 2020 agaknya menjadi malam tahun baru Imlek paling kelabu bagi warga Tiongkok. Pasalnya, pada momen ini warga China biasanya merayakan minggu-minggu istimewa dengan perayaan yang sangat meriah selayaknya lebaran bagi umat Islam. Mereka berbondong-bondong pulang kampung berpesta dengan keluarga. Namun, pada tahun tikus 2020 ini, dunia dihebohkan dengan pandemi novel coronavirus yang berawal dari kota Wuhan, Provinsi Hubei, China lalu menyebar hingga ke seluruh provinsi China.
Semua perayaan pun dibatalkan, yang tersisa hanya pembagian hangbao (red pocket) berisi sejumlah makanan, cokelat dan beberapa kampus memberikan uang untuk mahasiswa internasional yang tidak pulang kampung ke negaranya. Sebagai mahasiswa PhD di Central South University, Changsa, Hunan, China, saya merasa beruntung karena memutuskan untuk menghabiskan liburan semester di Indonesia—sejak 10 Januari sudah sampai di Tanah Air.
Provinsi Hunan, tempat saya kuliah, berada di bawah Wuhan, Provinsi Hubei, tempat awal mula virus terdeteksi, sekitar satu jam perjalanan jika ditempuh dengan kereta cepat. Betapa kaget saat saya mendengar berita ini, setiap saya melihat real time data surveilans pemerintah China, angkanya terus naik, meskipun saat itu belum masuk provinsi Hunan. Namun kini, saat berita ini ditulis, menurut media pusat data pemerintah China, penderita corona virus mencapai 20.626 orang; 13,522 di provinsi Hubei, dan Hunan menjadi provinsi terbanyak kelima di China sebanyak 593 orang terinfeksi, namun 649 sembuh setelah mendapat perawatan, dan 426 meninggal.
Case fatality rate atau angka kematian novel coronavirus (2019-nCov) hanya 2% atau 2 meninggal dari 100 kasus. Sebagai perbandingan, case fatality rate untuk SARS lebih tinggi, yaitu 10%, MERS 34%. Lebih menakutkan lagi, pandemi virus ini telah menyebar ke 27 negara. WHO pada tanggal 30 Januari 2020 telah menetapkan 2019-nCoV sebagai public health emergency of international concern. Menurut Clinical Virology Washington 2016, novel coronavirus 冠状病毒 (guān zhuàng bìng dú) adalah virus RNA yang termasuk dalam famili coronaviridae dan ordo nidovirales, didistribusikan secara luas pada manusia dan mamalia lainnya. Virus ini dapat menyebabkan infeksi pernapasan.
Alhamdulillah, saya bersyukur Indonesia memenuhi hak warga negaranya dengan menjemput WNI yang sedang berjuang membawa nama baik Indonesia di mata internasional dengan menempuh studi di Wuhan, Tiongkok. Kini mereka bisa menghela napas menghirup udara segar di negaranya sendiri. Meskipun ironisnya, mereka harus mendapati fakta bahwa kedatangannya memicu demo protes warga Natuna menolak isolasi di Kepulauan Natuna.
Sedih, melihat fakta yang bertolak belakang. Bukan karena saya kuliah di China, saya menulis ini. Tapi karena jiwa empati humanis saya tergerak. Bagaimana tidak, siapa yang menginginkan virus ini merebak di China? Meski demikian, pemerintah China sangat bertanggung jawab penuh atas penyelesaian pandemi virus ini. Mereka sigap menurunkan tim dokter, militer, isolasi kota terluas, membangun rumah sakit dalam sekejap, para pengusaha kaya China berbondong-bondong membantu, warga Muslim aktivis masjid China berbondong-bondong berdonasi. Mereka sangat melindungi warga dan mahasiswa asing yang masih tinggal di asrama dengan membagikan masker, termometer, beberapa obat di setiap asrama. Bahkan sebelum WNI dievakuasi, China pastikan telah melakukan screening kesehatan WNI sesuai standar pemerintah China dan WHO.
Herannya, ketika diisolasi, semua warga China patuh dan percaya penuh pada pemerintah. Bedanya dengan Indonesia, ini ada anak Indonesia kebanggaan kita yang tiap hari ditangisi orang tuanya karena tidak bisa pulang kini diselamatkan oleh pemerintah Indonesia malah didemo. Seharusnya kita bersyukur dan percaya bahwa pemerintah akan memastikan kesehatan mereka dan tidak akan membiarkan virus ini menyebar dengan serangkaian tindakan pencegahan dan isolasi, tapi malah diprotes dengan tindakan demo seperti ini. Padahal, wilayah isolasi dipilih karena jauh dari komunitas warga sekitar 6-7 kilometer dan memiliki fasilitas medis yang baik karena pangkalan TNI.
Ada 238 orang WNI di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Jumlah ini hanya sebagian kecil dari warga Indonesia di seluruh negara China yang memiliki 31 provinsi mainland China + 2 (Special Administrative Region Hongkong dan Macau) + 1 (Disputed/Sengketa Taiwan). Di tempat saya saja, satu kota Changsa provinsi Hunan, setidaknya ada 151 orang WNI yang sedang studi atau bekerja di China. Bayangkan di kota selain Changsha di provinsi saya, coba dikalikan di 34 provinsi/daerah istimewa China lainnya. Kalau satu provinsi saja sekitar 500 orang, sudah 17.000 an orang WNI yang ada di China. Belum lagi jumlah teman-teman internasional saya, mahasiswa Indonesia jumlahnya paling sedikit mungkin dibanding negara lain di tempat saya.
Berikut ini beberapa hal yang perlu diapresiasi sebagai respons kesehatan masyarakat yang baik dari pemerintah China:
Pertama, solasi dan contact tracing (penelusuran kontak) dan disinfektasi kota terluas untuk menghindari penyebaran wabah. Untuk menghindari penyebaran wabah mematikan, isolasi, contact tracing dan disinfektasi menjadi pilihan efektif dalam perspektif kesehatan masyarakat. Dalam Islam, Nabi sebenarnya telah mengajarkan teori isolasi berabad-abad silam seperti dikutip dalam hadist berikut Usamah bin Zaid berkata, Rasulullah bersabda, “Wabah adalah kotoran (siksa) yang Allah kirimkan kepada golongan dari Bani Israil atau kepada umat sebelum kalian. Maka, jika kalian mendengar ada wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah tersebut. Dan apabila kalian berada di wilayah yang terkena wabah, janganlah kalian keluar dan lari darinya” (HR Bukhari dan Muslim).
Sebagai konsekuensi dari isolasi pemerintah China bertanggungjawab penuh terhadap keamanan warga didalamnya, bahkan China juga mengatur kebijakan maskapai China dengan memberikan refund secara free of charge bagi mahasiswa yang terlanjur membeli tiket kembali ke China. Ministry of education bahkan menerbitkan pengumuman untuk memperpanjang libur sampai pada tanggal 24 februari atau belum menentu sampai wabah selesai, dan ini dipatuhi oleh semua elemen pendidikan di China. Betapa China menggunakan systematic thinking sesuai teori berpikir sistem yang saya pelajari di perkuliahan kesehatan masyarakat.
Kedua, untuk mengatasi kekurangan ruang pelayanan kesehatan, China membangun rumah sakit darurat yaitu Wuhan Huoshenshan Hospital yang dibangun dengan luas konstruksi 33.900 meter persegi (Chinatopix via AP). Pembangunan RS khusus pasien virus Corona di Wuhan dimulai ketika muncul laporan kekurangan tempat tidur di rumah sakit yang ditunjuk untuk menangani virus yang telah menginfeksi ratusan orang di seluruh China dan menewaskan puluhan orang. Dalam pembangunannya rumah sakit ini diisi dengan 1000 kamar tidur (Chinatopix via AP). China memanfaatkan material pre-fabrikasi atau beton pracetak dan ribuan pekerja dalam proses pembangunan rumah sakit ini. Rumah sakit yang dimulai peletakan batu pertamanya sejak 24 Januari 2020 itu ditargetkan dapat selesai pada 3 Februari 2020 dan bisa menerima pasien saat itu. Rumah sakit di Wuhan dibuat berdasarkan blue print dari RS Xiaotangshan yang dibuat dalam waktu seminggu dengan 1.000 tempat tidur ketika wabah SARS tahun 2003 (Chinatopix via AP).
Ketiga, China terjunkan seluruh tim dokter, ahli virus, akademisi, bahkan dokter militer serta keamanan militer yang full of charge, siap bekerja 24 jam. Seluruh sudut kota sepi, yang terlihat hanya petugas keamanan yang lalu lalang menjaga warganya. Para dokter, perawat, paramedis rela berjuang jauh dari keluarganya istri dan anaknya untuk menyelamatkan pasien. Di berita-berita harian China dan WeChat Moment saya beredar foto video yang sangat mengharukan, mulai dari isi pesan singkat istri pada suami yang sedang berjaga, video ayah kepada anaknya di rumah, para dokter cantik yang rela muka dan tangannya mengkerut karena harus berhari-hari menggunakan masker seluruh tubuh, bahkan mereka harus menuliskan nama punggung karena hampir tidak bisa mengenali wajah masing-masing dan beberapa kata motivasi di punggung yang menandakan Wuhan bangkit, kita bisa, jiayo! (spirit).
Keempat, pengorganisasian masyarakat. Di WeChat Moment saya, Ketua masjid Changsa Hunan menyebarkan pengumuman donasi masyarakat Muslim Changsa untuk pasien corona virus Wuhan. Ini menunjukkan betapa tingginya toleransi dan empati masyarakat Muslim dan non-Muslim di China. Orang-orang terkaya China membuka dompetnya untuk membantu pemerintah melawan virus corona. Di antaranya Jack Ma hingga Ma Huateng. Dikutip dari Forbes, Kamis (30/1/2020), Jack Ma yang merupakan orang terkaya kedua China merogoh 100 juta yuan (sekitar Rp200 miliar). Bantuan yang diberikan lewat yayasannya itu digunakan untuk membantu pengembangan vaksin virus korona.
Selain sumbangan individu, Alibaba yang didirikan Jack Ma juga mengeluarkan 1 miliar yuan (sekitar Rp2 triliun). Dana itu digunakan untuk membantu rumah sakit-rumah sakit di Wuhan membeli peralatan medis. Sementara perusahaan raksasa teknologi Baidu, Tencent, dan ByteDance yang dimiliki oleh miliarder Robin Li, Ma Huateng, Ren Zhengfei, dan Zhang Yiming juga mengumpulkan amal 800 juta yuan (sekitar Rp1,6 triliun). Uang tersebut digunakan untuk riset vaksin sekaligus membantu otoritas di wilayah-wilayah yang paling terdampak virus korona. Adapun Huawei berkontribusi dalam pembangunan rumah sakit Huoshenshen, fasilitas darurat baru yang dibangun di Wuhan, Hubei. Rumah sakit ini sedang dibangun secara kilat dan ditargetkan beroperasi pada 3 Februari 2020.
Semua fakta ini sangat ironis sekali jika dibandingkan dengan beberapa berita hoaks yang berseliweran di media-media tanah air. Tentang makanan ekstrem China seperti sop kelelawar, betapa kagetnya saat saya mendengar berita ini. Saya konfirmasi langsung pada teman asli China saya dan teman-teman di Wuhan, mereka terkaget-kaget mendengar berita ini. Menurut teman asal China, mereka tidak mengkonsumsi makanan liar seperti kelelawar dan ular. Ternyata setelah saya telusuri video memakan sop kelelawar yang beredar itu diambil pada tahun 2016, dan bukan di Wuhan atau di China. Video itu merupakan bagian acara televisi tentang penulis blog populer dan pembawa acara perjalanan, Mengyun Wang selama perjalanan ke Palau, sebuah kepulauan di Samudra Pasifik Barat (BBC.com).
Tentang senjata biologi, bagaimana mungkin China membunuh warganya sendiri? Sebuah logika yang terbalik. Berita tentang virus yang hanya menyerang gen Chinese bukan foreign, faktanya sampai saat ini menurut media lokal China news.ctgn.com, sebanyak 16 mahasiswa asing yang telah terinfeksi virus corona di seluruh China. Terlepas soal kehebohan virus ini, mari kita berdoa untuk warna Indonesia dan teman saya yang masih berada disana. Mereka mungkin saat ini tidak memiliki biaya untuk pulang, mengingat harga tiket yang melambung tinggi karena epidemi ini.
Kalaupun bisa beli tiket, mereka takut untuk keluar karena menurut Dr. Tchomte Romeo Martial dari Afrika virus ini memiliki daya inkubasi hingga 14 hari, dapat bertahan hingga 2 jam di udara, bahkan selain menular melalui droplet percikan udara, berjabat tangan kontak dengan penderita, indo terbaru virus ini dapat menembus kelenjar mata. Tapi yang saya tahu, Pemerintah China telah bekerja sangat maksimal, bahkan mulai mengembangkan vaksin pencegahan dan obat baru. Terakhir, semoga virus ini tidak berlarut larut dan kami bisa segera kembali untuk menyelesaikan studi, kembali membawa nama Indonesia dengan prestasi.
Surotul Ilmiyah adalah Pengurus Pusat Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama, alumni FKM Universitas Indonesia, mahasiswa PhD of Public Health and Preventive Medicine, Xiangya School of Public Health, Central South University, Changsa, China.