Ide cemerlang dan kontekstual justru ada pada Nahdlatul Ulama yang mampu mengontemporerkan pandangan politik Islam sesuai zaman. (Ilustrasi: IG @nubackpacker)
Dalam usia yang hampir satu abad, Nahdlatul Ulama tetap survive baik secara jam’iah (organisasi) maupun jemaah dan eksis dalam percaturan sosial-politik Indonesia. Kenyataan ini tentu bukan hal kecil tapi besar. Organisasi dengan badan besar dan struktur dari pusat sampai kecamatan mampu bertahan sedemikian lama. Sementara di sana banyak organisasi masyarakat yang sudah kecil, mati pula. Jika menggunakan teori Darwin, bisa dikatakan Nahdlatul Ulama adalah spesies ormas yang telah lolos seleksi alam. Ia bertahan lantaran mampu memenuhi kebutuhan dasar dari mengelola ketergantungan antarsesama manusia baik individu maupun lembaga. Dalam bahasa Charles Darwin: "Dependence of one being on another".
Berbeda dengan hewan yang ketergantungannya banyak pada alam, sehingga dinosaurus punah karena ketaktersediaan bahan makanan, maka ketergantungan manusia pada sesama manusia amatlah tinggi. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Dia adalah makhluk sosial yang saling berhubungan satu sama lain baik positif maupun negatif. Manusia kerap bertikai satu sama lain demi 3G: glory (kekuasaan), gold (harta) dan gospel. Atau dalam terminologi Arab: sulthah (kekuasaan), fikrah (paham/ideologi), dan mal (harta). Mereka saling menjatuhkan dan bahkan saling bunuh tatkala gagal mencapai win-win solution dalam perebutan tiga item itu atau salah satunya.
Dalam pertarungan yang nyaris abadi ini (tanazu’ al-baqa)), i.e. ideologi, daya tahan Nahdlatul Ulama tidak lepas dari kemampuannya dari awal berdiri, 1926, hingga kini, dalam merespons dinamika sosial-politik yang terus menggeliat. Banyak ideologi bartarung dan berebut kekuasaan dari sebelum kemerdekaan hingga kini. Ideologi primordial bertarung melawan ideologi modern; ideologi Islam kultural yang dianut NU bertarung melawan ideologi Islam ideologis Masyumi, Nasionalisme PNI, dan komunisme PKI. Berkat khazanah fiqih yang kuat, Nahdlatul Ulama mampu menyikapi dinamika itu dengan berlandaskan pada kemaslahatan bangsa, negara, dan umat. Seperti dalam pemberian gelar Waliyul amri ad-dharuri bisy syaukah (1954) bagi Ir. Soekarno yang jika tidak, bisa menimbulkan krisis legitimasi kepemimpinan nasional.
Sebagai ormas Islam yang bertumpu pada ketaatan pada teka suci (nash), Nahdlatul Ulama mampu memadukan antara nash dan ide modern kebangsaan. Di ranah inilah, fiqih siyasah, keandalan ulama NU terbukti. Melalui pesan Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman, Nahdlatul Ulama memberikan landasan teologis bagi paham kebangsaan yang dianut oleh para founding fathers negeri ini. Bandingkan dengan pandangan ormas Islam di Mesir Ikhwanul Muslimin yang lahir dua tahun setelah Nahdlatul Ulama, 1926, ormas tersebut mengajak untuk kembali ke sistem khilafah dan menolak negara bangsa. Ia juga mengusung Islamisme dan memposisikan diri berhadapan dengan ideologi negara, Nasserisme (sosialisme versi Gamal Abdel Nasser). Ideologi Ikhwan yang dibangun oleh Hassan al-Banna dan Muhammad Sayyid Qutb tidak henti-hentinya berbenturan dan bertabrakan dengan ideologi negara. Jikalau al-Banna, pendiri Ikhwan, mengusung ide perubahan sosial-politik secara bertahap, tidak demikian halnya dengan Qutub. Dia memilih jalan radikal karena menganggap tatanan yang ada adalah jahiliyyah dan harus dikembalikan ke bentuk semula yang islami. Meski ide al-Banna yang moderat tetap dianut oleh Ikhwan secara struktural hingga kini, namun ide Sayyid Qutub yang tertuang dalam bukunya Ma’alim fi al-Tariq banyak diikuti kalangan anggota ikhwan dan yang memilih jalan jihad (angkat senjata) untuk mewujudkan negara Islam.
Ide khilafah secara khusus diperjuangkan oleh Taqiyuddin an-Nabhani. Dia yang semula anggota Ikhwan, keluar dan mendirikan Hizbut Tahrir pada 1953. Dia meski saat itu adalah anggota parlemen Yordania, namun selalu memperjuangkan ide khilafah dan tidak setuju dengan pemilu yang baginya tidak sejalan dengan sistem khilafah. Selain Hizbut Tahrir, seluruh gerakan jihadis memperjuangkan khilafah yang berbenturan dengan pemerintah negara di mana pun. (Lihat Muhammad Nawwaf al-Awdat, Aljazeera.net).
Ratusan ribu pendukung khilafah selama hampir satu abad berkonflik dengan negara dari wacana hingga nyawa. Dan menghambat pembangunan negara di segala bidang. Muhammad Nawwaf al-Awdat asal Jordania di Aljazeera.net menyoal ide khilafah, apakah ia ideal atau utopis? Dia mengatakan bahwa ide tersebut tidaklah relevan. Dunia sekarang tidaklah sama dengan dunia dulu saat sistem khilafah berlaku. Dahulu sistem kekuasaan berekspansi menjadi imperium atau yang identik dengan khilafah. Sementara saat ini manusia hidup dalam klaster-klaster negara dan fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar warga yang bersifat materiil dan bukan pada misi agama. Ekspansi wilayah yang didorong oleh ekspansi politik dan agama dengan jalan perang militer tidak terjadi saat ini. Khilafah yang memberikan bayangan kejayaan lewat tentara Islam yang gagah berani menaklukkan musuh-musuh Islam, tidak relevan saat ini. Sebab negara mana pun tidak lagi mempertentangkan agama. Kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihaklah yang menjadi dasar hubungan antar negara. Amerika yang kapitalis dan Cina yang komunis menjadi mitra bisnis tertinggi bagi Saudi yang menerapkan syariat Islam. Baik Amerika maupun Cina dengan senang hati berbisnis tanpa sama sekali terganggu oleh Islamisme Arab Saudi. Beginilah paradigma politik global saat ini yang tidak lagi didasarkan pada hubungan antar agama tapi antar kepentingan ekonomi.
Pandangan anti kebangsaan yang diusung oleh gerakan revivalis Islam (kelompok pembaharuan) dengan demikian bukanlah ide cemerlang yang kontekstual tapi justru tumpul dan tidak kekinian.
Ide Kebangsaan NU
Ide cemerlang dan kontekstual justru ada pada Nahdlatul Ulama yang mampu mengontemporerkan pandangan politik Islam sesuai zaman. Berbeda dengan pengusung khilafah yang mengusung romantisme masa lalu (islamic era par excellence), tanpa sikap kritis, ulama NU justru kekinian dan tidak asal tolak terhadap apa yang datang dari luar seperti Demokrasi dan Kebangsaan. Nahdlatul Ulama mengontemporerkan al-Ahkam al-Sulthaniyah-nya al-Mawardi. Jika pengusung khilafah mengangkat isu tersebut ke tingkat aqidah sehingga bergeser ke paradigma Syi’ah (tidak konsisten), maka Nahdlatul ulama meletakkannnya pada porsinya sebagai perkara ijtihadiyah yang mungkin berubah tergantung situasi dan kondisi.
Mun’im DZ menulis hasil Muktamar NU ke-24, 1967 di Bandung yang menunjukkan bagaimana kontribusi NU dalam kemelut demokrasi Indonesia saat pergeseran dari Demokrasi Terpimpin era Soekarno ke Demokrasi Pancasila era Soeharto. NU berpandangan bahwa setelah Pancasila disepakati sebagai dasar negara, maka segala sistem yang dibangun di atasnya haruslah bersendikan pada apa yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini demokrasi juga harus mengikuti dasar Pancasila meski dalam penerapannya bergeser dari satu corak ke corak yang lain. Dari Demokrasi Liberal ke Demokrasi bercorak Marxis ke Terpimpin dan kini Pancasila. KH. Syaifuddin Zuhri dan KH. A Syaichu menerangkan bahwa penerimaan demokrasi terpimpin saat itu oleh NU adalah dengan ketentuan agar penekanannya tetap pada demokrasinya bukan pada terpimpinnya. Sebab tanpa kepemimpinan demokrasi menjadi anarki. Sebaliknya, tanpa demokrasi kepemimpinan menjadi represi. NU menginginkan adanya demokrasi yang terarah bukan demokrasi liberal yang tanpa arah, yang ada hanya suara bersama, yang mengabaikan prinsip dan moral. Hadirnya Demokrasi Terpimpin penting untuk mengatasi anarki politik yang ditimbulkan oleh demokrasi liberal zaman itu. Namun, ternyata pelaksanaan Demokrasi Terpimpin banyak mengalami penyimpangan, penekanan tidak pada demokrasinya, tetapi pada pemimpinannya. Karena itu NU mengadakan tinjauan ulang terhadap Demokrasi Terpimpin itu. Bukan pada substansinya tetapi pada istilah serta bentuk penerapannya dan mengusulkan istilah baru Demokrasi Pancasila. Yaitu demokrasi atau kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan dan permusyawaratan serta perwakilan. Demikianlah NU berkontribusi dalam pembangunan demokrasi dan menerapkan fiqih siyasah pada tataran praktis dan nyata.
Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya