Jombang, NU Online
Menjelang perayaan Lebaran Ketupat beberapa hari lalu, sejumlah warga di Kabupaten Jombang, Jawa Timur menjadi pengrajin ketupat dadakan. Para pengrajin ketupat ini didominasi oleh kalangan ibu rumah tangga yang ingin mengais rezki dari tradisi Lebaran Ketupat. Lebaran Ketupat atau Hari Raya Ketupat sendiri merupakan tradisi syukuran dengan makan ketupat bersama-sama pada hari ketujuh setelah Idul Fitri.
Dalam tayangan
Jelang Lebaran Ketupat terlihat suasana aktivitas warga di Desa Ngumpul, Kecamatan Jogoroto yang sibuk membuat kelontong ketupat dan lepet. Para ibu rumah tangga yang tengah membuat ketupat dan lepet, sehari-harinya bekerja sebagai buruh tani. Mereka biasanya mengerjakan pembuatan ketupat dan lepet usai mengerjakan rumah. Para suami atau pria di desa tersebut juga turut membantu pembuatan ketupat dan lepet jika memiliki waktu luang setelah bekerja.
Salah satu pembuat ketupat dan lepet Kusaiman mengaku adanya peningkatan jumlah produksi saat Hari Raya Ketupat. Jika pada hari biasa dia membuat sekitar dua ribu lepet dalam sehari, menjelang Hari Raya Ketupat dapat menghasilkan delapan ribu ketupat dan lepet dalam sehari. Jika pada hari biasa menghabiskan lima puluh kilogram beras ketan, pada hari Lebaran Ketupat mampu menghabiskan beras ketan 1,5 kuintal. Untuk memproduksi sebanyak itu, dia pun dibantu sejumlah pekerja.
Untuk pelanggannya, berasal dari Kota Jombang, Sidoarjo dan Krian. Setiap satu bendel berisi sepuluh lepet harganya sepuluh sampai 15 ribu tergantung besar kecilnya lepet. Sedangkan harga ketupat sepuluh sampai 12 ribu rupiah tergantung ukurannya.
Di Jombang, Hari Raya Ketupat biasa dilaksanakan tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitru atau setelah puasa Syawal selama enam hari. Pada hari Raya Ketupat, warga beramai-ramai pergi ke mushala atau masjid untuk beramai-ramai melaksanakan kenduri ketupat.
Penggunaan istilah ketupat dalam Lebaran ketupat tentu bukan tanpa filosofi yang mendasarinya. Dito Alif Pratama dalam
Lebaran Ketupat dan Tradisi Masyarakat Jawa mengungkapkan kata 'ketupat' atau 'kupat' berasal dari istilah bahasa Jawa yaitu 'ngaku lepat' (mengakui kesalahan) dan 'laku papat' atau empat tindakan.
Prosesi 'ngaku lepat' umumnya diimplementasikan dengan tradisi sungkeman, yaitu seorang anak bersimpuh dan memohon maaf di hadapan orangtuanya. Dengan begitu, kita diajak untuk memahami arti pentingnya menghormati orang tua, tidak angkuh dan tidak sombong kepada mereka serta senantiasa mengharap ridho dan bimbinganya.
"Ini merupakan sebuah bukti cinta dan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya, begitupun orang tua kepada anaknya," tulis Dito. (Kendi Setiawan)