Pesantren

Kearifan Kiai Umar Kempek

Selasa, 19 Juni 2012 | 08:45 WIB

KHATAMAN AL-QUR'AN di Pesantren Kempek-Cirebon, adalah pesta rakyat. Sebab, selain melibatkan para santri, pesantren yang didirikan Mbah Harun --begitu panggilan KH Harun bin KH Abd. Jalil-- pada tahun 1908 ini, juga melibatkan warga masyarakat di sekitar pesantren, bahkan dari luar desa.

<>Ketika ada warga masyarakat tidak diajak masuk panitia khataman, itu artinya mereka disuruh berdagang apa saja, agar mendapat keuntungan. Khataman Al-Qur’an di Kempek dihadiri ribuan: wali santri, alumni, masyarakat umum, hingga para pejabat. Maka, hajatan khataman membutuh pedagang tiban, berapapun jumlahnya dan apapun jualannya, akan ditampung, selagi halal menurut fiqih.

Pada sebuah khataman di tahun 1990, ketika Kempek dipimpin KH Umar Sholeh (W 1999), generasi setelah KH Harun (W 1935), Panitia Khataman bermaksud memungut semacam retribusi dari pada pedagang. Lantas datanglah panitia kepada Kiai Umar, mengutarakan maksudnya.

“Saya paham mengapa Sampean mengusulkan retribusi. Karena panitia akan dapat uang tambahan. Kalau nantinya kurang, panitia akan menambal kekurang dari sana. Kalau tidak ada kekurangan, uang dari retribusi bisa untuk syukuran, bahkan bisa memperbaiki kamar mandi,” jelas Ki Umar.

“Injih Walid,” begitu panitia merespon menjelasan sang pengasuh. Walid adalah panggilan akrab Ki Umar, artinya orang tua. 

“Tapi saya lebih paham, Kang, bahwa masyarakat tidak boleh diberatkan oleh kegiatan kita. Sebaliknya, kita justru membuat mereka senang dan mudah urusannya. Khataman Al-Qur’an bukan saja milik para khotimin, tapi harus menjadi kebahagiaan semua orang, termasuk pedang bakso, pedagang balon, pedagang minyak wangi, tasbeh, peci, tukang parkir. Sudah sana, jangan pikirkan lagi retribusi-retribusi, kaya kompeni saja.” (Hamzah Sahal)


Terkait