Kemarau
Aku berdiri di lereng gunung
kemarau datang mengepung
kucari jejak tetes hujan terakhir
yang menempel di kelopak hatimu
Ketika angin kering merangkum
Dan menampar gelisah di tiap
lembah pada gurat nasib orang orang
yang menggores pinus<>
nestapa tiada henti mengisi piring
piring takdir mereka
dan gelas gelas kebahagiaan begitu
kosong sementara rumah hanyalah
tempat menyimpan ilalang keteduhan
semu sebelum terbakar sempurna dalam
api gundah
aku berdiri di lereng gunung
jurang masa lalu begitu dalam
dan jembatan dengan ruas ruas
ingatan masih tertahan pada tebing
kenangan
kemarau menghujamkan anak panah
ketika rindu serupa tetes tetes
hujan yang beku dan menggantung di
langit sementara cinta tak pernah
mengenal musim yang berlalu
Aku menitipkan mataku pada malam
Aku menitipkan mataku pada malam
Memandang keremangan hidup
Ketika perempuan-perempuan menunggang angin
Dan memakan embun
Untuk menutupi lubang nasibnya
Aku menitipkan mataku pada malam
Memandang cahaya dalam gelap
Ketika para ulama bermain benang ayat
untuk menumpuk mahkota
Dan memanggul syahwatnya
Aku menitipkan mataku pada malam
Memandang bayang batu yang menjulang
Dan Mereka berkerumun riuh rendah
Berebut peta arah ke surga
Aku menitipkan mataku pada malam
Memandang diriku melukis rindu pada kesunyian
Berharap ada angin yang membawa ke langit
Dan terapung abadi bersama bintang-bintang
Arif Gumantia, Penyair, Ketua Majlis Sastra Madiun, Jawa Timur