Puisi

Puisi-puisi Mathori A Elwa

Sabtu, 30 Juni 2012 | 00:36 WIB

Mimpi Telaga

pada sebuah arus rahasia
tak jauh dari tempat berbaring
antara makam dan sebuah musium
kulepas perahu purba
nuh, luth, musa

<>dan negeri-negeri terkutuk
berseliweran dalam tidur jaga
membentang di antara tahajud
dan tangis yang membusuk, rabbana
seorang tamu ditakdirkan (akan?) datang
pagi-pagi sekali
menagih hutang (kematian?)
mengajak pergi

—engkau mungkin nyinyir
tertawa getir
kapankah para pengungsi abadi
pernah punya tempat yang dapat disinggahi
hingga ada yang sempat berpikir
ingin menjumpaimu lagi?

hutang demi hutang menumpuk
dalam dada, tas plastik dan sibuk
pegunungan putus asa tumbuh sebagai bisul-bisul
doa apakah yang terkandung dalam derita ayyub
zabur, taurat, injil, al-quran berdengung dalam telingaku yang tuli
puluhan nama nabi dan rasul menziarahi mayat hidupku
samiri, fir’aun, abrahah, abu lahab
jengis khan, hitler, orde baru tumbuh subur sebagai pohon kalap
gigiku menyeringai di antara jutawan wisatawan dan penganut agama
dada, paha dan selangkangan kalian
adalah dajjal yang menyedot habis nuthfah para pengritik
jutaan ular weling menjelma bursa effek
bajak laut dan udara kenakan surban para nabi dan rabbi
meledakkan bom dan gunung-gunung rahasia
dalam amarah, dengki dan dendam kesumat

kucoba membaca takdir
dan di pagi buta itu
sebelum penagih hutang dan kematian lainnya menjemputku
kuukir terlebih dahulu huruf demi huruf
pada dinding perahu
aku bermimpi nuh bermimpi ibrahim bermimpi musa
bermimpi sulaiman bermimpi musthafâ habîbinâ
bermimpi tuhan
bermimpi telaga
mata air dari barat atau timurkah itu
menghanyutkan perahu doa dan dukacintaku?
permohonan telah mendidih dalam magma ubun-ubun jiwa
shalawat dan salam padamu, ya musthafa habibina
mengalir dalam hatiku yang busuk
menggumpal dalam dahak dan ludah hilafku yang sempurna
nafasku tersengal sebagai sejarah yang terpenggal
menggendong derita dan bahagia
memanggul pelarian
melolong sebagai qithmir
menembus kegelapan makrifat
tersingkir dari jalan tembus khidhir



Jadzab

: K.U.

berhentilah memandangku begitu, sayang
agar aku tak gelisah. Agar aku tak susah tidur
ingin rasanya kauludahi saja wajahku
yang gosong oleh waktu
kini aku pilih jadi anak-anak kembali
agar engkau jengkel, “Nakalnya anak ini!”

berhentilah nancapkan paku asmara, sayang
agar aku tak jatuh cinta. Agar aku tak terkapar
ingin rasanya kaubunuh saja pohon cintaku
yang roboh oleh seteru
kini aku menjelma maling dan kecu
agar engkau menghukumku

berhentilah menggodaku, sayang
agar aku tak gede rasa. Agar aku tak pingsan
ingin rasanya kaucakar saja tubuh ini
yang mati rasa oleh amarah
kini aku mengubah diri jadi musuhmu
agar engkau makin galak kepadaku
berhentilah marah kepadaku, sayang
agar aku tak malah penasaran. Agar aku tak makin gila padamu
ingin rasanya kausir saja hidupku
yang moksa oleh kebohongan
kini kuperankan seorang pengkhianat
agar engkau makin cemburu

berhentilah menangis, sayang
agar aku tak mengucurkan airmata. Agar aku tak membaca rahasia
ingin rasanya kauhapus saja namaku
yang neraka oleh dendam membara
kini aku menjelma doa
agar engkau amin!


Kepada Umbu Landu Paranggi

pertapa sembahyang di pucuk daun alang
rerumput berjemur di tengah sawah
para petani kalimat menanam gelisah
di ladang yang pongah

pejalan semadi di puncak hilang
rerumputan menjemput maut di padang-padang
pera penari menunggang kuda sembrani
di ufuk matahari kintamani

pesolek sembahyang dalam bara api
tulang daging ruh menyelam di kuta
brahmana ksatria bertempur melawan sudra
di nganga ngaben pariwisata
penyair samsara
di pulau dewata


Sidi Gede-Leteh

Kado bagi Penganten

di sidi gede hingga leteh
para pendaki bukit itu
tak lelahnya menulis puisi
memang, harus ada yang tak terpahami
agar engkau bersaksi
bahwa, tiada tuhan selain allah
: tabir pelan-pelan terbuka
cinta pun terungkapkan
genderang rindu ditabuh
hingga subuh bertalu-talu
di sini hari selalu mulai
bagai tak mengenal ajal
berasa pengantin baru
tersenyum abadi dan kekal
ada warna yang selalu hijau
putih dan surga
tersembunyi di balik wajah pucat dunia
masuklah. Salamun qaulam mir-rabbir-raham
salamun qaulam mir-rabbir-raham
salamun qaulam mir-rabbir-raham
allahumma inna nas’aluka malaikata jibra’ila, waisriafila wa ‘izra’ila
innaka ‘ala kulli syai’in-qadir
al-hamdulillahi rabbil-‘alaman...

al-fatihah!

MATHORI A ELWA, dilahirkan di Magelang, 6 September 1966. Menu¬lis sajak sejak SMA. Alumnus Pondok Pesantren Jamsaren Sura¬karta, MA-SMA I Al-Islam Sura¬karta, dan Fa¬kultas Ushuluddin Program Teologi & Filsafat IAIN Sunan Kalijaga ini pernah mem¬ba¬ca¬kan sajak-sajaknya—antara lain—di Gedung Kesenian (GK) Purna Budaya Yog¬yakarta, Hall IAIN Sunan Kalijaga, GK Rumen¬tang Siang Bandung, Galeri Popo Iskandar Bandung, GK Tasikmalaya, GK Nyi Rara Santang Cirebon, Teater Arena Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Fakultas Sastra UGM, Kedai Kebun, Teater Arena Surakarta, Galeri Nasional Jakarta, dan Festival Puisi Internasional Indonesia 2002 (Solo).

Selama di Yogya (1986-2003), Mathori pernah bekerja pada Sanggar Teater Eska IAIN Yogyakarta, Sanggar Salahuddin, Yayasan Annisa Swasti, Penerbit Titian Ilahi Press, Penerbit Zaituna, Tabloid Padhang mBulan, Yayasan Riyadhah Indonesia (YRI), dan Tabloid Kampung Halaman Brebes Pos, LKPSM-NU Yogyakarta, dan bertapa di Jasa Penyucian “Sokka Loundry”. Sejak April 2003 Mathori hengkang ke Bandung dan bergabung dengan Penerbit Buku Nuansa Cendekia.

Buku sajaknya yang sudah terbit antara lain Yang Maha Syahwat (Yogyakarta: LKiS, 1997) dan Rajah Negeri Istighfar (Yogyakarta: Aksara Indonesia, 2001), serta Aku Pernah Singgah di Kotamu (Bandung: Kiblat Buku Utama).


Terkait