Pustaka

Anekdot Kaum Sarungan

Senin, 10 September 2007 | 02:32 WIB

Judul Buku: Humor Ngaji Kaum Santri
Penulis    : Hamzah Sahal
Penerbit: Pustaka Pesantren
Cetakan: II, 2007
Tebal: xviii + 110 halaman
Peresensi: Ach Syaiful Khalil*

Seperti diakui banyak orang, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang ketat dan sarat dengan aneka ragam peraturan. Peraturan yang ada tetap dilanggar dan tidak membuat disiplin para santri. Mungkin hal itu sudah menjadi watak dari manusia. Sehingga tidak berlebihan apabila orang mengatakan bahwa pesantren adalah “penjara suci”.<>

Pernyataan tersebut pernah dibantah oleh Abdul A’la dalam bukunya “Pembaharuan Pesantren”. Bahwa pesantren adalah sebuah laboratorium, bukanlah “penjara suci” seperti banyak anggapan orang. Layaknya sebuah laboratorium, maka semuanya bisa diuji di dalamnya untuk diaplikasikan dalam realitas.

Lembaga pendidikan berupa pesantren hampir sama dengan sistem militer. Bedanya terletak pada cara berpakaian. Kalau militer harus seragam lengkap, tapi kalau santri di pesantren boleh memilih apa saja yang penting menutup aurat. Satu lagi bedanya, kalau pesantren tidak diajari bagaimana caranya membunuh, ngentip musuh, membuat benteng pertahanan, perlawanan, dan lain-lain. Kalau militer, dipelajari caranya membunuh yang sistematis, efektif, dan efisien.

Salah satu budaya pesantren yang terkenal adalah rasa kebersamaannya, mulai dari tidur, bangun sampai tidur kembali bersama di ruangan besar, bancaan (makan dalam satu tempat besar), ngaji bersama, mencuci, sampai mandi bersama dalam satu kolam.

Walaupun terkadang kebersamaan dalam banyak hal merugikan. Misalnya, kolam besar yang biasa digunakan untuk mandi, wudlu, cuci pakaian bisa berubah menjadi “stasiun” menularnya penyakit dengan cepat dan efektif. Misalnya, gatal-gatal, panu, sakit mata dan semacamnya. Halaman 51.

Ada banyak kisah dalam kehidupan pesantren. Kisah-kisah itu lebih banyak beradar lewat lisan. Cerita mulai bangun tidur, rutinitas khas para santri pada waktu ngaji, salat berjamaah, antri, roan (kerja bakti), sowan (menghadap kiai), tetek (duduk santai), keamanan, Kang (panggilan antar-santri), Gus (panggilan terhadap putra kiai), nggosob (memakai barang orang tanpa izin), jual-beli, atau pulang kampung. Inilah yang membuat kisah-kisah pesantren menjadi kompleks yang jelas berbeda dengan pola-pola kehidupan di masyarakat.

Karakter-karakter pesantren yang demikian itu oleh Hamzah Sahal ditulis menjadi sebuah buku “humor ”. Yang menarik dari buku ini, walaupun ditulis gaya humor yang menokohkan “Ngalim” (nama santri yang dibuat penulis). Ceritanya terkesan lucu tak bermakna pada tiap bagian sub judul, tapi mempunyai kekuatan pemakaian serangkai kaidah fikih yang menjadi materi pengajian di berbagai pesantren.

Diceritakan, pada suatu hari Ngalim pindah mondok. Di pesantrennya yang lama nggosop sandal sudah menjadi hal biasa. Ketika di pondoknya yang baru, tak terasa melakukan yang sama. Sehingga Ngalim disidang oleh keamanan (dikenai sanksi). Ngalim membantah dengan kaidah fikih. Karena itu, sudah menjadi hal biasa di pesantren: al-‘adah mukhakkamah (adat istiadat dapat ditetapkan menjadi hukum). Halaman 21-23.

Akan tetapi humor dimaksud, jangan dibayangkan bahwa peristiwa-peristiwa adalah sebuah peristiwa yang membutuhkan putusan hukum secara serius. Tetapi kejadian ringan ala pesantren yang seringkali menampakkan lucu, konyol, nakal, sok, diceritakan lewat Ngalim tadi. Bagitulah genre para santri yang berkembang di pesantren kemudian memunculkan humor untuk menyalurkan perasaan mereka, baik suka, duka, jenuh, jengkel, tidak puas, protes, bahkan birahi.

Kenapa harus humor? Mengapa tidak ditulis secara ilmiah saja, sehingga buku ini bisa dijadikan rujukan hukum. Karena humor bisa membuat orang tertawa, kalau tidak ada humor, orang tidak tertawa. Orang boleh melucu karena kalau tidak melucu bukan orang. Humor itu sehat karena kalau tidak sehat bukan humor. Budayakan humor yang sehat karena dunia ini diciptakan sudah serius, buktinya hampir tidak ada yang cacat dari setiap ciptaan-Nya, selalu berpasangan, selalu sempurna, paling-paling manusianya saja yang tidak sempurna. Nah, tugas humorlah yang melengkapi manusia supaya tidak sempurna, biar ada bahan untuk kelemahan manusia.

Dan sah-sah saja menyampaikan kebaikan diselingi dengan humor, karena Nabi Muhammad SAW pun pernah berjenaka. Al-kisah, seorang nenek yang rajin salat, sedekah, puasa, tahajud dan semacamnya pernah bertanya kepada Nabi, “Apakah nenek-nenek bisa masuk surga, ya Rasul?”. Dijawab oleh Nabi “Nenek tidak masuk surga”. Nenek tadi menangis menyesali perbuatan baiknya. Kemudian Nabi melanjutkan candanya, “Di Surga tidak ada nenek. Nanti Tuhan merubah rupa Anda menjadi muda (gadis) kembali baru dimasukkan surga”.

Buku ini berisi 50 judul kaidah, terdiri dari 5 kaidah pokok, 40 kaidah umum yang muttafaq ‘alaih, 5 kaidah merupakan turunan dari kaidah al-yaqinu la yuzalu bi asy-syakki, at-tabi’u tabi’un, dan yang semakna dengan al maisaru la yasquthu bi al-ma’sur. Selanjutnya. Selamat membaca.

*Peresensi adalah Pengurus Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya, Jawa Timur. Aktif di Komunitas Baca Surabaya (Kombas).


Terkait