Penulis: Anam Khoirul Anam, Penerbit: Diva Press Yogyakarta, Cetakan: 2007, Tebal : 392 hal, Peresensi : Fathor Rasyid lt*
Salah kapra dalam memaknai cinta akhir-akhir ini sering kali terjadi pada kalangan remaja. Hamil di luar nikah, aborsi, dan sebagainya, selalu saja mengatas namakan cinta. Padahal jika cinta tidak dipahami sepotong-sepotong, maka seperti yang dikatakan Gibran bahwa, cinta akan menjadi mahkota yang akan membawa sang pencinta naik pada hakekat cinta itu sendiri (1997).
De<>ngan cinta akan tercipta kedamaian, keharmunisan dan kesantunan. Namun cinta bukan kata-kata, juga bukan pertautan raga dengan jejalan birahi. Memasuki dunia cinta, berati kita akan tenggalam dalam lautan rasa, bukan raga.
Namun para remaja saat ini telah membawa "cinta" jauh dari hakikatnya. Hingga orang-orang yang telah mengukir sejarah cinta selalu dibelokkan. Semisal yang saat ini jelas di depan mata adalah kisah cinta santo Valentinus yang diabadikan lewat hari Valentin. Di mana hari itu dijadikan momentum untuk mengungkapkan cinta kepada siapa yang dicintai, kemudia berlanjut pada hubungan yang lebih intim.
Padahal Dalam sebuah kisah dari koleksi pernaskahan British Library di London yang diciptakan pada abad pertengahan, dapat disimpulkan bahwa cinta santo Valentinus merupakan gambaran cinta yang tak sampai secara fisik, cinta yang hanya ditorehkan pada secarik kertas "dari Valentinusmu" kepada sipir penjaranya sebelum ia gugur sebagai martir.
Sebagai penulis muda, Anam Khoirul Anam, merasa bertanggung jawab untuk meluruskan makna cinta yang kini disalah artikan, lewat novelnya "Dzikir-dzikir Cinta". Seperti yang penulis ungkapkan bahwa, cinta adalah cahaya yang terselip di antara gelap dan terang kehidupan; maka carilah cinta sucimu yang agung dan tersenyumlah untuknya (hal. 382).
Rusli adalah tokoh utama dalam novel ini. Ia seorang santri sekaligus ustadz di pesantren yang terdiri dari dua pengasuh, diantaranya Gus Mu’ali pengelola santri putri dan Gus Mahfudz pengelola santri putra.
Di sisi lain penulis juga menceritakan perempuan Kristiani, Sukma. Ia memiliki ketertarikan pada ajaran Islam. Ketertarikan itu bermula saat dalam setiap mimpinya didatangi seorang laki-laki berjubah putih mengajaknya melakukan sholat. Singkatnya Sukma pun masuk islam lewat perantara sahabat karibnya sendiri, Nikmah. Karena pengetahuan Sukma tentang Islam belum sempurna, maka ia mengikuti jejak Nikmah yang kebetulan menjadi santri senior di pondok Gus Mu’ali, satu pondok dengan Rusli.
Dalam kesempatan lain, Gus Mu’ali menugas Rusli untuk mengajarkan qori’ (seni membaca al-Qur’an) pada santri putri, salah satu diantaranya Sukma. Dari situlah pertemuan pertama antara Rusli dengan Sukma terjadi.
Sebagai manusia biasa, keduanya ( Rusli dan Sukma) mulai ada kesamaan rasa, hingga kemudian keduanya menjalin hubungan dengan sembunyi-sembunyi. Lewat Nikmah, keduanya saling mengirim surat , namun tak pernah melakukan pertemuan. terkecuali saat orang tua perempuan Sukma meninggal dan ketika Gus Mahfud mempertemukan keduanya (pada cerita terakhir).
Pada saat hubungan keduanya mencapai puncak kenikmatan batin, ada pihak ketiga yang ternyata sangat mencintai Rusli. Dia adalah Fatimah, anaknya Gus Mahfudz sendiri. Awal mula terungkapnya cinta Fatimah, bermula dari pinangan Kiai Latif yang ditolak keras oleh Fatimah. Kemudian dengan jujur Fatimah mengatakan pada ayahnya bahwa, cintanya hanya untuk Rusli semata.
Kenyataan itulah yang membuat hati Rusli dan Sukma hancur, sedang keduanya hanyalah seorang santri yang harus taat terhadap guru dalam hal apa pun, termasuk masalah jodoh. Walau bagai tertusuk sembilu, Sukma harus menerima kenyataan putusnya hubungan dengan Rusli. Dan sebaliknya Ruli juga sadar diri, betapa ia telah resmi menjadi seorang suami dari orang yang tidak ia cintai, namun ia hormati dan ia junjung tinggi. Tetapi cinta Rusli terhadap Sukma tak terhapuskan, hanya saja ia berhenti saling mengirim surat . Sedang Sukma menenggelamkan diri dalam kesufiannya.
Ternyata takdir berbicara lain, setelah memiliki satu anak, Fatimah memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa. Namun dengan kearifan sikap Gus Mahfudz, Sukma diminta kerelaannya untuk menjadi ganti Fatimah setelah hubungannya dengan Rusli (sebelum hadirnya Fatimah sebagai istri Rusli) terbongkar. Namun, lagi-lagi Rusli harus menerima kenyataan pahit, sebab Sukma juga ikut menyusul kepergian Fatimah.
Penulis menempatkan Rusli sebagai tokoh yang legowo (menerima). Di mana Rusli digambarkan sebagai manusia yang tidak berdaya mewujud sebuah cinta dalam bentuk persetubuhan, ciuman dan lain-lain. Dalam ketikdak berdayaan itulah yang sebenarnya akan membawa Rusli pada keabadian dan kesucian cinta yang sesungguhnya. Sehingga timbul sebuah pertanyaan klasik yang sering diungkapkan banyak orang, adakah cinta yang murni di dunia ini? Ataukah cinta yang ada di dunia hanya sebatas medium menuju pada sejatinya sebuah cinta? Mungkin novel ini inspiratif dalam memberi jawaban dari berbagai pertanyaan klasik tersebut, hingga "cinta" akan mendapatkan tempat yang agung dan tidak disalah artikan.
*Peresensi adalah Alumnus PP Lapang Ambunten, Sumenep, Madura