Pustaka

Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psikoanalisis dan Kritik Ideologi

Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

1

“Membingungkan dan menggoda untuk dieksplorasi”, cetus salah seorang pembaca. Buku yang berjudul Hukum Konstitusi Masa Transisi tulisan Anom Surya Putra ini cenderung abstrak dan tidak akrab dalam bahasa hukum. Di awal tulisannya, terdapat suatu kritik pula dari Dr Kusnanto Anggoro (CSIS) bahwa “....sebagai kritik, buku semacam ini memang terlalu sedikit untuk memahami berbagai soal yang sering muncul dalam transisi demokrasi di Indonesia. Kalau harus dirumuskan dalam satu kalimat, bab-bab dalam buku ini bermuara pada simpul tunggal: Agenda reformasi lebih banyak merupakan kristalisasi kepentingan elit politik jangka pendek daripada kegairahan untuk mengangkat kepentingan publik....”.

Hal ini merupakan pernyataan akademis Dr Kusnanto Anggoro yang melihat posisi hukum, U<>ndang-undang dan Masa Transisi. Hukum dan perundang-undangan seringkali harus hadir bersama-sama dengan kapasitas negara untuk melakukan kekerasan (koersi). Bisa jadi, derajat demokrasi dapat dilihat dari kemampuan hukum dan perundangan memberi tempat aturan demokratik. Baik dari segi keterlibatan semua unsur politik dalam penyusunan aturan-aturan itu dan/atau dari segi konsistensi pelaksanaannya. Kesemua faktor tersebut mungkin harus dilihat sebagai sesuatu yang akumulatif dan komprehensif.

2

Kritik dari pengantar buku ini sedikit banyak memang menjadi materi penulisan, khususnya tentang semiotik-konstitusi atas “tanda” formalisasi agama (hlm. 32). Semiotika yang dalam buku ini dipahami sebagai tindakan penguraian atas pengetahuan yang sudah terlanjur jadi kenyataan, amatlah dibedakan ruangnya dengan hermeneutika sebagai studi pemahaman, penafsiran dan hasil konstruksi penafsirannya. Isu formalisasi syari’ah yang terjadi di beberapa kota lebih merupakan publisitas tanpa operasionalisasi yang melibatkan identitas kebangsaan dan keindonesiaan. Sehingga, terjadilah “strategi dua kamar”, yaitu di satu sisi isu syari’at Islam berkibar di media namun pada tataran isi lebih diperkuat oleh elit politik yang bersemayam di balik Surat Edaran atau Surat Keputusan.

Isu-isu “semiotis” semacam ini tidak seimbang dengan pengembangan ilmu hukum tata negara sendiri. Menurut penulisnya, terdapat suatu gejala bahwa ilmu hukum tata negara tengah mengalami defisit berkepanjangan disebabkan kurangnya pengembangan aspek teoritis, akademis dan praksis yang komunikatif. Secara singkat, tersimaklah perlunya suatu upaya pengembangan multi-disipliner dan inter-disipliner yang berbasis ilmu linguistik-struktural Perancis dalam buku ini. Meskipun, kemampuan telaahnya tidak diperoleh langsung dari perguruan tinggi di Perancis dan berlatarbelakang cara membaca “filsafat” yang otodidak. Tindakan semacam ini memang terhitung berani di tengah Ilmu Hukum Konstitusi yang senantiasa dipahami dogmatik.

Padahal, Ilmu Hukum memanglah normatif sebagaimana khazanah keilmuan Islam mengenal adanya ushul fiqh. Namun, Ilmu Hukum yang normatif tersebut tidak identik dengan dogmatis karena dogma hukum hanya merupakan “bagian” dari pengembangan keilmuan normatif. Normatifitas bermakna sebagai pengembangan ilmu berdasarkan fakta, kenyataan parsial, praksis komunikasi berikut refleksi epistemologisnya (lihat cover bagian belakang).

Sebagai fakta, peresensi melihat studi perbandingan konstitusionalisme Indonesia dan Malaysia dalam hal pola konflik kelembagaan dan ideologisnya. Penulis buku mengingatkan bahwa “mitologisasi” penerapan syari’at Islam selalu menghantui sidang-sidang parlemen Indonesia. Isu yang paling ramai adalah perubahan pasal 29 UUD ’45 namun pasal 33 UUD’45 tidak dibahas serius menyangkut efek-efek neoliberalisme dalam wilayah ekonomi dan sosial-religi.

Hal ini menyiratkan suatu kekhawatiran bahwa agama apapun yang dibahas di ruang politik senantiasa “meleset” dari tujuan semula yaitu semakin diserap oleh opini publisitas. Sedangkan di Malaysia, isu paling menonjol adalah kesukuan dan aturan hukum keamanan (subversi politik). Bila kita lihat pada pasal 3 Konstitusi Malaysia yang menempatkan Islam sebagai agama Federasi, selintas Malaysia identik dengan “Islam” dan “Melayu”. Namun pada praktiknya justru yang terjadi Malaysia berani menantang arus neoliberalisme Amerika dengan kapasitas “Islam” yang dimasukkan ke dalam naskah konstitusi (hlm. 71-72). Berkebalikan dengan Indonesia bukan?

3

Penyelidikan metodis atas praktik wacana hukum konstitusi tidak cukup menggunakan semiotika melainkan pula studi psikoanalisis Freud (psikoanalis Jerman) dan Lacan (psikoanalis Perancis). Dengan cara yang agak “posmo dan membingungkan”, penulis buku ini mempresentasikan tentang “alam bawah sadar” politisi parlemen sebagai “struktur bahasa”. Hal ini memberi cukup pengetahuan bagi peminat hukum dan psikologi-politik bah


Terkait