Pustaka

Interpretasi Santri atas Kehidupan

Senin, 11 Desember 2006 | 06:47 WIB

Penulis : KH. A. Mustofa Bisri, Ahmadun Y. Herfanda, dkk
Pengantar :  Ahmad Tohari 
Cetakan I : 2006 Tebal : 198 halaman

Peresensi : Rijal Mumazziq Z *

Pada awal 80-an para santri tampil mempresentasikan dunia pesantren kepada khalayak. Gus Dur, Gus Mus, Cak Nur, dan Cak Nun adalah para santri yang mengikis pandangan luar bahwa pesantren identik dengan pemikiran stagnan, penampilan kolot, serta berpandangan picik.
 Ledakan arus para santri (yang diawali dengan gerakan empat kampiun santri di atas) kemudian merambah ke dunia seni, lebih khusus lagi sastra. Jika nama santri senior seperti Gus Mus, Cak Nun maupun Kang Tohari sudah kondang di panggung sastra Indonesia. Maka generasi santri yang muncul belakangan setidaknya membuktikan betapa regenerasi santri di bidang sastra masih terjaga dengan baik.

Ahmadun Yosi Herfanda, Abidah el-Khalieqy, Habiburrahman el-Shirazy, Prie GS, adalah sekelumit nama santri yang mengusung warna baru dalam jagat sastra Indonesia. Mereka lahir, tumbuh, mengalami proses di pesantren, serta terpengaruh eksotisme religius ala pesantren. Hal itu terbukti, jika melihat gagasan, alur, serta nilai-nilai religius yang mereka usung dalam karyanya masing-masing.

Nyanyian Cinta; Antologi Cerpen Santri Pilihan, adalah bukti bahwa para santri me<>mang memiliki daya pikat tersendiri dalam karya masing-masing. Dua belas santri—dan seorang mahasantri—masing-masing menawarkan citarasa bertutur dan daya bercerita yang khas. Gus Mus, sang mahasantri, tampil dengan "Muhasabah Sang Primadona" yang tampak menukik dan membalik imajinasi pembaca. Dalam cerpennya tersebut, Gus Mus menceritakan seorang perempuan muda yang sedang menghadapi masalah pelik. Masalah datang justru setelah ia menjadi artis tenar, kaya, bahkan sang primadona sudah berjilbab, dan menjadi penceramah agama. Sebuah impian banyak orang. Namun, disinilah letak ke-suhuan Gus Mus. Kiai asal Rembang ini memulai alur problematik cerita di saat bagi mayoritas masyarakat merupakan sebuah penyelesaian. Gus Mus terlihat berpegang pada pakem substansi sebuah cerpen. Ketenaran, kakayaan, dan gelar Ustadzah haruslah diberi makna yang akan memberi bobot nilai dalam realitas kehidupan. 

Adapun Habiburrahman el-Shirazy, penulis novel Best seller “Ayat-ayat Cinta”, dengan jempolan mendeskripsikan tempat kuliahnya dulu, kampus al-Azhar Mesir melalui cerpen Nyanyian Cinta. Kang Abik (panggilan akrabnya) dengan gaya bahasa lugas nan memikat menceritakan hubungan Hafshah dan Mahmud yang berlandaskan ruh cinta serta bermuara pada makna kasih sayang yang luas. Dalam Nyanyian Cinta, Kang Abik kembali mengkampanyekan ruh cinta universal. 

Lain lagi dengan "Mas Umar"-nya Arif Budi Santoso yang dengan telak mengkritik gaya hidup "zuhud total" yang menafikan unsur duniawi melalui lakon Kang Umar. Di sini Arif tampak berkutat dengan makna yang dengan semangat ia tuturkan melalui benturan dan putaran logika (meski sesaat). Membenturkan logika dengan realitas juga muncul dalam "Wali Tiban”nya Ahmadun Y. Herfanda, atau "Perantara"nya Prie GS.

Interpretasi substantif kembali kentara pada "Hidup El maut"-nya Abidah El Khalieqy, maupun "sayap-sayap Cinta"-nya Muhammad Kasmijan yang samar dengan gaya penulisan prosa-puitis bertabur makna. Berbeda dengan “Peri Kecil di Hari Pernikahanku”-nya Ukhti Mulia yang terlihat ada warna romantisme tragis namun tetap indah, serta “Maaaaak!!!”-nya Titik Indriyana yang mengusung protes sosial. Sedangkan polesan filosofis terlihat dalam “Langkah-langkah Tua”-nya Tazkiyyatul Muthmainnah maupun cerpen Mita el-Rahma (“Bacaan al-Quran buat Simbah”).
Tak heran jika Ahmad Tohari dalam “Kata Pengantar"nya menilai bahwa andaikata dua belas santri ini dipandang sebagai musafir yang sedang melintas padang kehidupan nyata, maka tampak paling depan adalah sang suhu, yaitu Gus Mus (KH. Mustofa Bisri). Mengiring di belakangnya adalah para pendekar; Ahmadun Yosi Herfanda, Prie GS, Abidah El Khalieqy, serta Habiburrahman El Shirazy  Tujuh lainnya adalah cantrik-cantrik yang sedang mengikuti jalan sastra kesantrian yang telah dirintis oleh sang suhu.

Para santri, dalam antologi cerpen ini, sekilas begitu simple namun kukuh mengusung makna saat menggoreskan tafsir atas kehidupan, meski terkadang masih terlihat sedikit sumir. Meminjam bahasa Ahmad Tohari, “proses”lah yang akan membuat para santri yang terbiasa menghafal beralih ke santri yang membaca, menghayati, lalu berbuat sesuatu untuk kehidupan nyata.

Disinilah para santri sebagai kreator bakal ter(di)uji sebagai penafsir kehidupan. (mencomot bahasa Satmoko Budi Santoso), benarkah seorang pengarang selalu berperan sebagai pengisah yang handal atau sekedar melanjutkan klise bahwa kerja mengarang telanjur terjebak pada beberapa teknik penceritaan tertentu yang seolah menjadi pakem. 

*(Jebolan PP. Mabdaul Maarif Jombang-Jember, Kontributor Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI))

 

 


Terkait