Judul: NU dan Bangsa 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan
Penulis: Nur Khalik Ridwan
Penerbit: Ar-Ruzz Media
Cetakan: I, Juni 2010
Tebal: 628 halaman
Nahdlatul Ulama (NU) dan negara sesungguhnya dua entitas yang berbeda, walau eksistensinya kadangkala dianggap jadi satu kesatuan. NU adalah gerakan sosial keagamaan yang berbasis Islam, sementara negara merupakan institusi formal yang memayungi semua kepentingan elemen-elemen masyarakat, termasuk ormas Islam NU. <<>;br />
NU dan negara dianggap jadi kesatuan merujuk pada selain karena ekesistensinya, juga lantaran NU ikut andil dalam perjuangan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pertanyaannya, bagaimana hubungan NU dan negara di tengah pergulatan politik dan kekuasaan?
Buku ini menyajikan sejumlah jawaban yang sangat memadai dalam menjelaskan pasang-surut pola hubungan NU dan negara sejak masa-masa awal pembentukan NU 1914 oleh KH Abdul Wahab Hasbullah, hingga resmi didirikan pada 31 Januari 1926, bahkan sampai tahun 2010 sewaktu masih dinahkodai KH Hasyim Muzadi. Termasuk pula, di buku ini, Nur Khalik Ridwan, penulisnya, secara detail dan komprehensif menampilkan jejak rekam sejarah pergulatan aktivis NU yang terlibat aktif merebut kemerdekaan RI dari tangan Belanda dan membuahkan deklarasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal ini bisa ditengok dalam anggota BPUPKI dan PPKI, yang di dalamnya terdapat nama KH Masykur dan KH Wahid Hasyim sebagai delegasi NU.
Itu sebabnya, tecara internal ke-NU-an, terdapat sejumlah fakta-fakta sejarah yang menarik untuk disimak. Tahun 1914 adalah cikal-bakal kelahiran NU dengan membentuk Tashwirul Afkar, sebuah pertukaran gagasan di kalangan santri (pemuda) atas prakarsa KH Abdul Wahab Hasbullah, yang waktu itu, baru saja pulang dari Mekkah. Dari sana, kemudian di tahun 1916 membentuk Nahdlatul Wathan, yang berarti Kebangkitan Tanah Air. Berikutnya, tahun 1918, KH Abdul Wahab Hasbullah bersama KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Tujjar (kebangkitan kaum pedagang), yang difungsikan untuk menyelamatkan perekonomian-perekonomian lokal bumiputera akibat penetrasi yang dilakukan oleh Belanda dan China.
Hal yang menarik dari deklarasi Nahdlatul Tujjar tersebut adalah soal komitmen para ulama atau agamawan untuk menggedor solidaritas kaum bumiputera dan kelompok kaum miskin. Pekik doa keberhasilan terdengar lantang waktu itu: ”Ya Allah, berilah keberhasilan. Amin. Seorang penyair menyatakan, jika ahli ilmu dan hujjah tidak dapat memberikan manfaat, maka keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat sama saja seperti orang bodoh. Demikian juga, jika seseorang tidak memberikan manfaat kepada orang lain, maka keberadaannya bagaikan duri di antara bunga” (hlm. 40).
Dengan semangat berapi-api untuk ikut peduli terhadap nasib rakyat dan bangsa yang ditunjukkan oleh para ulama itulah, yang di kemudian hari, tepatnya tanggal 31 Januari 1926 melahirkan organiasi terbesar di Indonesia bernama NU. Dua tantangan besar menjadi latar belakang berdirinya NU, yaitu gerakan wahhabi dari Timur Tengah yang banyak diadopsi oleh kelompok Islam tertentu, sehingga mengakibatkan kematian ‘tradisi’ masyarakat lokal yang telah tumbuh berkembang di bumi nusantara; dan untuk menyikapi imperialisme alias penjajahan fisik yang dilakukan oleh Belanda, Inggris, dan Jepang terhadap bangsa Indonesia.
Kehadiran NU di kehidupan berbangsa memberikan corak tersendiri dalam mengisi hari-hari keindonesiaan, dari masa kemerdekaan RI hingga detik ini. Yang menarik adalah kekuatan NU tidak dalam keterlibatannya di partai politik praktis—sebagaimana masih terjadi kesalahpahaman di antara banyak kalangan. Jubah kebesaran NU justru pada penguatan civil society yang bergerak liar dalam melakukan advokasi dan pemberdayaan umat.
Keterlibatan NU di kancah dunia politik, yang pernah tergabung dalam Masyumi dan berubah menjadi partai politik pada 7 November 1945, maupun ketika melakukan fusi ke PPP tahun 1973 di masa Orde Baru, mestinya dibaca sebagai bentuk eksperimen NU yang hasilnya kita tahu, mengalami kegagalan total. NU selalu menjadi korban atau tumbal kekuasaan serta seringkali dipecundangi oleh kawan koalisinya di internal partai.
Kehidupan politik NU pada mulanya dirasakan sebagai perluasan wawasan, setidaknya sampai akhir tahun 1950-an, tetapi ternyata perkembangannya memunculkan realitas lain. Sikap dan tindakan NU selalu dikaitkan dengan orientasi untung rugi dari segi kepentingan politik semata. Politik bagi NU bukanlah aspek yang dianggap primer. Sebab, orientasi yang demikian mengakibatkan NU tidak bisa menghindari posisi yang berwatak taktis untuk mendapatkan keuntungan politik belaka. Sedang orientasi utama NU sebagai jam’iyah untuk membina umat, mengembangkan tradisi keagamaan menurut ajaran ahlussunnah waljama’ah yang lebih utuh dan meningkatkan kualitas kehidupan jamaah yang menjadi karakteristik NU, terabaikan (Haidar,1994).
Sejak saat itu, NU mengalami trauma politik, sehingga pada Muktamar 1984 di Situbondo membuat keputusan bersejarah, yaitu kembali ke khittah 1926. Dalam perjalanannya, khittah ini berjalan mulus hingga bertahan kurang lebih 12 tahun, terhitung pascamuktamar 1984. Namun di era reformasi setelah tumbangnya rezim Soeharto, teks khittah kembali “diungkit” dan diinterpretasikan ulang, melahirkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang pada 23 Juli 2010 genap berusia 12 tahun.
Karena itu, kehadiran buku ini, tentu sangat penting untuk mengingatkan kembali masyarakat kita atas prakarsa founding fathers yang telah bersusah payah menegakkan NKRI bersejajar dengan negara-negara lain di seluruh penjuru dunia. Dalam batas-batas tertentu, buku ini seperti kronik yang merekam momen-momen sejarah penting keindonesiaan. Analisis yang di kandung di dalamnya melampaui soal ke-NU-an semata, tapi juga mencakup banyak hal dan kelompok-kelompok lain yang terekam secara apik dalam bingkai keindonesia. Selamat membaca.
*Pustakawan, dan aktivis muda NU di Yogjakarta