Pustaka

Jihad Santri Merawat Bumi: Mengolah Sampah Jadi Berkah 

Selasa, 28 Oktober 2025 | 09:55 WIB

Jihad Santri Merawat Bumi: Mengolah Sampah Jadi Berkah 

Jilid buku 0 Kisah Inspiratif Pengelolaan Sampah Pesantren (tangkapan layar)

Di tengah melangitnya diskursus pemikiran keagamaan dan ekologi, buku Jihad Santri Merawat Bumi: 10 Kisah Inspiratif Pengelolaan Sampah Pesantren hadir dengan tawaran membumi. Buku ini coba menyajikan semacam paradoks, bahwa pesantren, sebagai benteng kesucian spiritual dan moral, juga harus bersedia bergulat dengan masalah sampah yang sangat dekat dengan perkara duniawi dan sering kali terabaikan. 


Buku ini menyajikan kisah sukses sekaligus narasi sosiologis penting yang merekam dari dekat sebuah gerakan dari bawah, sebuah gerakan yang lahir dari tempat yang tidak terduga. Relevansi buku ini diperkuat oleh konteks krisis sampah nasional yang mendesak. Sebagaimana disorot dalam kata pengantar Menteri Lingkungan Hidup, Indonesia menghasilkan sekitar 55 juta ton sampah setiap tahunnya, di mana lebih dari 43 juta ton di antaranya masih berakhir di alam terbuka tanpa pengelolaan yang layak. 


Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK dan sumber lainnya melukiskan gambaran yang lebih suram, menggarisbawahi skala persoalan yang dihadapi bangsa. Dalam lanskap inilah, pesantren, dengan populasi sekitar 5 juta santri yang menghasilkan sekitar 3.000 ton sampah per hari hadir bagaikan mikrokosmos dari tantangan lingkungan masa depan bumi.


Tesis utama buku ini bersifat provokatif sekaligus transformatif. Dengan upaya merekonseptualisasi makna “jihad” alih-alih dimaknai sebagai konflik bersenjata, istilah ini dikembalikan pada akar spiritual dan yurisprudensinya sebagai perjuangan sungguh-sungguh merawat bumi. Landasan ini, sebagaimana disampaikan Direktur P3M KH. Sarmidi Husna, adalah kaidah fikih ad-dlarar yuzaalu, yang berarti setiap kemudaratan atau bahaya harus dihilangkan. 


Dengan mendefinisikan sampah yang tidak terkelola sebagai mudarat (bahaya), penyebab penyakit, pencemaran, dan kerusakan sosial, buku ini mengangkat pengelolaan sampah dari tugas menjaga kebersihan menjadi kewajiban agama. Mengembalikan makna semantik ini adalah jantung dari gerakan yang didokumentasikan. Buku ini mampu merebut kembali istilah “jihad” dari narasi ekstremis dan menempatkannya dalam kerangka yang konstruktif, pro-sosial, dan ekologis. Langkah ini bukan klaim akademis, ia mengubah tugas duniawi menjadi misi spiritual, membuka sumber motivasi dan otoritas moral yang luar biasa di dalam komunitas pesantren.


Dengan demikian, buku Jihad Santri Merawat Bumi lebih dari kumpulan cerita inspiratif. Buku ini bisa dilihat sebagai catatan kebangkitan gerakan lingkungan akar rumput yang otentik secara spiritual dan sangat praktis, menyajikan model aksi iklim berbasis komunitas yang dapat direplikasi. Namun, dari narasi pencapaian yang kuat sekaligus mengangkat pertanyaan-pertanyaan kritis tentang keberlanjutan jangka panjang, penguatan, dan dinamika internal dari kerjasama antara korporasi dan institusi agama dalam aktivisme lingkungan.


Dari Kitab Kuning ke Ekonomi Sirkular
Kisah-kisah dalam buku ini berdasarkan kerjasama program terstruktur bernama GELAR BUMI (Gerakan Santri Merawat Bumi). Program ini merupakan kolaborasi antara Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dengan Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia, yang pada tahap awal menjangkau 10 pesantren percontohan di Jawa.


Dalam tahapan kerja, langkah pertama adalah keberanian komunitas pesantren untuk jujur dan mengakui adanya kekeliruan dalam melihat persoalan lingkungan. Melalui baseline survey, tim program memetakan kondisi riil pengelolaan sampah di setiap pesantren. Temuan ini sering kali tidak mengenakkan, yakni pemilahan belum berjalan, pembakaran terbuka menjadi kebiasaan, dan pola pikir yang dominan adalah “Sing penting resik ndelok’e, soal dibuang neng endi urusan mburi” (Yang penting terlihat bersih, soal dibuang ke mana itu urusan nanti). Tahap ini krusial karena ia meletakkan cermin di hadapan pesantren, memaksa adanya pengakuan atas masalah yang selama ini diabaikan.


Kedua melakukan pemberdayaan (pelatihan dan penguatan kapasitas). Dengan pelatihan, mengakui ada persoalan yang harus diselesaikan sehingga program bergerak ke tahap pemberdayaan. Ini dilakukan melalui dua jalur yang saling menguatkan. Pertama, penguatan spiritual melalui kajian fiqh al-bi’ah (fikih lingkungan), yang memberikan landasan teologis “mengapa” gerakan ini penting. Kedua, pemberdayaan teknis melalui Training of Trainers (ToT), yang memperkuat keterampilan praktis “bagaimana” cara mengelola sampah, mulai dari budidaya maggot, pembuatan kompos, hingga manajemen bank sampah.


Terakhir adalah implementasi (dukungan sarana dan prasarana). Tahap ini memastikan penyediaan alat-alat bantu seperti motor roda tiga pengangkut sampah, mesin pencacah, timbangan digital, dan biopond. Bantuan ini bukan semata hibah, melainkan tanda komitmen dan katalisator yang mengubah pengetahuan menjadi tindakan berkelanjutan.


Pencapaian program ini tidak hanya terletak pada kerangka teknisnya, tetapi pada kemampuannya mengintegrasikan gagasan teologis dengan teknologi yang membawa secara ekonomi. Di banyak pesantren, masalah awalnya bukan ketiadaan keinginan untuk bersih, melainkan ketiadaan pengetahuan dan sistem, seperti pengakuan salah satu pengurus, “kami tidak tahu harus mulai dari mana”. Upaya sebelumnya yang hanya berfokus pada teknologi sering kali gagal, seperti mesin pengolah sampah yang akhirnya menjadi “besi tua” di Pesantren Al Anwar 2.


Program GELAR BUMI menghindari jebakan ini dengan terlebih dahulu membangun landasan “mengapa” (amanah sebagai khalifah fil ardh) sebelum memperkenalkan “bagaimana” (teknik budidaya maggot). Pembingkaian spiritual ini memastikan dukungan dari kepemimpinan tertinggi (Kiai), yang sangat vital dalam struktur hierarkis pesantren. Setelah landasan spiritual ini kokoh, solusi teknis seperti budidaya maggot tidak lagi dilihat sebagai proyek asing, melainkan sebagai manifestasi iman. Manfaat ekonominya, pakan ternak gratis, sumber pendapatan baru dan melahirkan siklus keberlanjutan positif.


Gaya penulisan buku ini pun patut diapresiasi. Ia menghindari jargon teknis yang kaku dan memilih bahasa yang berakar kuat dalam tradisi pesantren. Istilah-istilah seperti “mujahid lingkungan” (API Tegalrejo), “taubat nasuha untuk bumi” (Al-Ittihad), dan “penyucian diri” (Lirboyo) bukanlah semata jargon. Gerakan di pesantren ini adalah bukti bagaimana transformasi ini telah diinternalisasi secara mendalam ke dalam budaya dan spiritualitas komunitas, menjadikannya otentik dan berdaya.


Potret Keberhasilan dari 10 Pesantren
Kekuatan utama buku Jihad Santri Merawat Bumi terletak pada 10 studi kasusnya yang kaya dan beragam. Setiap kisah menunjukkan bagaimana kerangka umum program GELAR BUMI diadaptasi secara unik guna menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang di konteks lokal yang berbeda. 


Pesantren, dengan karakteristiknya sebagai komunitas terpadu, terbukti menjadi “laboratorium” ideal untuk model ekonomi sirkular. Kehidupan komunal, produksi pangan terpusat dari dapur umum, dan struktur otoritas yang jelas menciptakan ekosistem sangat efisien untuk menguji, menyempurnakan, dan menerapkan sistem siklus tertutup seperti rantai nilai sampah-maggot-protein.


Berikut merangkum inovasi dan dampak dari 10 pesantren mitra dengan gambaran komparatif sesuai pencapaian.
 

Ringkasan Inovasi dan Dampak di 10 Pesantren

Nama Pesantren

Lokasi

Tantangan Utama

Inovasi

Dampak (Ekonomi/ Lingkungan/ Sosial)

Pesantren Nur El Falah

Serang, Banten

Biaya pembuangan sampah tinggi, bau dari sisa makanan.

Bank Sampah Umat (BSU) berskala besar, rumah oven modern, program “Dari Limbah Dapur ke Singapura”.

Omzet Rp 88 juta/bulan, biaya sampah turun 75%, menjadi pusat rujukan regional.

Pesantren Al Fattah

Lamongan, Jatim

Pembakaran terbuka 4 ton sampah/bulan, pencemaran sungai.

Rumah Sampah terintegrasi, budidaya maggot BSF, lele bioflok.

Rantai ekonomi sirkular (dapur - maggot - lele - dapur), menjadi basis riset universitas.

Pesantren Al Anwar 2

Sarang, Jateng

Sampah menumpuk hingga menutupi jalan, biaya pembuangan Rp 5 juta/bulan.

Transisi dari Fikih klasik ke Fiqh al-Bi’ah, Bank Sampah Berkah, sistem maggot-lele-ayam.

Penghematan & pendapatan total Rp 9 juta/bulan, menjadi model bagi 4 pesantren cabang.

Pesantren Nur Iman Mlangi

Sleman, DIY

Tumpukan sampah di tanah keramat, pembakaran terbuka.

Insinerator modern minim asap, budidaya maggot & lele bioflok, bank sampah.

Biaya angkut turun 30%, menjadi hub pengumpul sampah untuk 11 pesantren sekitar.

Pesantren Al Ittihad

Semarang, Jateng

Kondisi kumuh, tidak ada layanan angkut sampah, mentalitas abai.

“Taubat Nasuha” ekologis, Rumah Sampah, “ambulans sampah” (Viar).

>90% sampah termanfaatkan, penggunaan plastik turun 40%, perubahan budaya dari abai menjadi peduli.

Pesantren API Tegalrejo

Magelang, Jateng

Bau busuk dari 10 ton sampah/hari, stigma negatif pada petugas kebersihan.

189 biopond maggot, sistem terintegrasi (maggot - lele - ayam), asrama khusus untuk tim kebersihan.

Mengangkat martabat “mujahid kebersihan”, menjadi pusat pembelajaran masyarakat.

Pesantren Al Muhajirin

Purwakarta, Jabar

18 ton sampah/bulan, sampah organik dianggap “menjijikkan”.

Pusat pengelolaan terintegrasi di Kampus 2, sistem maggot & 6 kolam lele bioflok.

Memenuhi sebagian program Makan Bergizi Gratis (MBG) santri, dukungan penuh dari Kiai sepuh.

Pesantren Al Muhajirin 3

Jombang, Jatim

Keterbatasan SDM, kegagalan awal budidaya lele.

Pivot ke ternak ayam Elba yang diberi pakan maggot, “Mengubah Sampah Menjadi Telur”.

Pendapatan Rp 5,4 juta/bulan dari penjualan telur, model ekonomi sirkular yang tangguh.

Pesantren Lirboyo

Kediri, Jatim

Skala masif: 35 ton sampah/hari (“gunung sampah”).

Inovasi teknologi oleh santri (mesin pres, pencacah, pengupas label), BUMP profesional.

Omzet Rp 25-30 juta/bulan, kapasitas olah 1 ton plastik/hari, menjadi offtaker bagi pesantren lain.

Pesantren Buntet

Cirebon, Jabar

Skala besar (10.000 santri), tumpukan sampah dekat makam kiai, struktur otonom 76 asrama.

Pelatihan kader (ToT), awal implementasi bank sampah & maggot.

Awalnya sukses (biaya turun 70%), namun program “jeda” karena transisi kepemimpinan & tantangan koordinasi.

 

Pesantren Nur El Falah di Serang merepresentasikan puncak keberhasilan ekonomi. Bank Sampah Umat (BSU) mereka tidak hanya melayani kebutuhan internal, tetapi telah bertransformasi menjadi entitas bisnis sosial yang melayani sembilan mitra eksternal, menghasilkan omzet hingga Rp 88 juta per bulan. Ini adalah bukti potensi ekonomi sirkular jika dikelola secara profesional.


Di sisi lain, Pesantren Lirboyo di Kediri, yang menghadapi “gunung sampah” sebanyak 35 ton per hari, menunjukkan kekuatan inovasi dari bawah. Kisah Nabil Najwa, seorang santri dengan keahlian otodidaknya merancang dan membangun mesin pres, pencacah, dan pengupas label botol plastik, adalah contoh cemerlang dari kapasitas inovasi internal pesantren. Pengetahuan yang membumi ini memungkinkan Lirboyo mengolah satu ton plastik per hari dan sebagai offtaker bagi pesantren lain di sekitarnya.


Sementara itu, Pesantren API Tegalrejo di Magelang menyoroti dimensi transformasi spiritual dan sosial. Di bawah arahan Gus Yusuf Chudlori, martabat para petugas kebersihan diangkat secara radikal. Mereka tidak lagi dianggap pekerja rendahan, melainkan “mujahid kebersihan”, dan bahkan dibangunkan asrama khusus yang layak. Intervensi struktural dan spiritual ini berhasil mengubah stigma sosial yang telah lama melekat.


Refleksi Kritis: Antara Inspirasi dan Institusionalisasi
Sebuah tinjauan yang tajam harus bergerak melampaui apresiasi untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis. Kredibilitas buku ini justru diperkuat oleh kejujurannya dalam mendokumentasikan tidak hanya keberhasilan, tetapi juga tantangan, yang paling jelas tergambar dalam kisah “jeda” di Pesantren Buntet, Cirebon. Kasus Buntet menjadi titik pijak untuk refleksi lebih mendalam.


Pertama, tantangan keberlanjutan dan ketergantungan. Apa yang terjadi ketika pendampingan intensif dan dukungan finansial dari P3M dan CCEP berakhir? Kisah Buntet menunjukkan kerentanan program terhadap dinamika politik internal dan pergantian kepemimpinan di tingkat yayasan. Program yang sebelumnya berjalan baik mengalami perlambatan signifikan karena garis komando dan komunikasi terputus saat transisi. Ini bukanlah sebuah kegagalan, melainkan pelajaran berharga tentang pentingnya melembagakan gerakan. Tanpa integrasi yang kuat ke dalam kurikulum, anggaran, dan struktur permanen yayasan, sebuah inisiatif berisiko menjadi “proyek” yang terikat pada individu atau momentum tertentu. 


Kedua, tantangan skalabilitas. Model yang terbukti berhasil di 10 pesantren percontohan, yang umumnya berskala besar dan memiliki sumber daya, dapatkah direplikasi di ribuan pesantren lain yang lebih kecil dan terbatas secara finansial di seluruh Indonesia? Buku ini berfokus pada kisah-kisah unggulan, namun pertanyaan tentang strategi adaptasi untuk konteks yang berbeda tetap relevan untuk dampak jangka panjang gerakan “eco-pesantren” secara nasional.


Ketiga, paradoks kemitraan korporat. Peran Coca-Cola Europacific Partners (CCEP), salah satu produsen kemasan plastik terbesar di dunia. Dalam kerjasama program pengelolaan sampah plastik dibutuhkan analisis kritis yang adil. Di satu sisi, kemitraan ini adalah contoh dari Extended Stakeholder Responsibility (ESR), di mana produsen mengambil tanggung jawab atas limbah pasca-konsumen, namun skala program ini tidak akan mungkin tercapai tanpa sumber daya dan keahlian yang dibawa oleh CCEP dan keahlian pendampingan P3M. 


Namun di sisi lain, ada risiko “greenwashing”, di mana keberhasilan upaya daur ulang dapat mengalihkan perhatian dari isu yang lebih fundamental, yaitu kebutuhan mengurangi produksi plastik sekali pakai sejak awal. Tinjauan ini tidak menawarkan jawaban singkat dan sederhana, tetapi menyajikan pemikiran penting untuk refleksi kritis bagi para pembaca dan pegiat lingkungan.


Peradaban Hijau Berdasarkan Iman
Terlepas dari tantangan-tantangan yang ada, Jihad Santri Merawat Bumi adalah sebuah karya yang penting dan inspiratif. Ia berhasil melampaui kerja-kerja dokumentasi berbasis proyek dan menawarkan kontribusi lebih mendalam.


Pertama, buku ini berfungsi sebagai cetak biru praktis bagi komunitas berbasis agama lainnya, baik di Indonesia maupun di luar negeri, yang ingin memulai inisiatif serupa. Ia menunjukkan bahwa kerangka teologis dapat menjadi fondasi kokoh untuk aksi lingkungan yang efektif.


Kedua, di tengah narasi perubahan iklim yang sering kali dipenuhi pesimisme dan kelumpuhan, buku ini menyajikan narasi harapan yang kuat. Ia menampilkan kisah-kisah nyata tentang agensi, pemberdayaan, dan solusi yang dapat dicapai di tingkat komunitas.


Ketiga, buku ini memberikan intervensi teologis yang signifikan dalam wacana eko-teologi global. Ia menunjukkan secara gamblang bagaimana tradisi Islam, melalui penafsiran yang progresif dan kontekstual, dapat dimobilisasi untuk aksi lingkungan yang berdaya. Kisah-kisah ini bukanlah anomali, tapi representasi dari garda depan gerakan “eco-pesantren” yang lebih luas dan terus berkembang di Indonesia.


Pada akhirnya, Jihad Santri Merawat Bumi mampu menyajikan kumpulan cerita lapangan sekaligus menciptakan panggilan untuk mengambil tindakan. Ia adalah bukti bahwa iman, ketika diterjemahkan menjadi aksi kolektif yang sabar dan sungguh-sungguh, memiliki kekuatan, bukan cuma mengelola tumpukan sampah, tetapi juga membangun kembali hubungan yang rusak antara manusia dan bumi. Buku ini melayangkan sebuah visi tentang lahirnya “peradaban sadar lingkungan” yang berakar pada keyakinan spiritualitas pesantren yang paling dalam, mampu mengolah sampah jadi berkah. 

 

Data Buku 
Judul buku: 10 Kisah Inspiratif Pengelolaan Sampah Pesantren 
Penulis : Suraji dan Anang Zakaria (editor)
Penerbit: P3M
Kota Terbit: Jakarta
Tahun terbit: 2025 
Tebal: xxvii + 114


Abi S Nugroho, Anggota Pengurus Lakpesdam PBNU