Judul Buku: Haqîqah Al-Firqah Al-Nâjiyah: Kullu Ummaty fî Al-Jannah Illâ Man Abâ
Penulis : Segaf Ibn Ali Al-Kâf
Penerbit: Dâr al-Qalam, Damaskus
Cetakan: Pertama, 1412 H / 1992 M
Tebal Buku: 110 halaman
Peresensi: Pandi Yusron*<>
Perselisihan yang terus bergejolak di internal umat Islam sering membuahkan beragam kesenjangan dalam pergaulan keberagamaan mereka. Perbedaan yang dahulu disabdakan oleh Nabi sebagai cahaya rahmat, seakan beralih kepada kegelapan azab yang tak kunjung sirna lantaran ketidakdewasaan keberagamaan berbagai pihak dalam menghadapi permasalahan yang ada. Tak jarang ada yang saling membodohkan, saling menyalahkan, saling membid'ahkan, bahkan saling mengafirkan yang pada akhirnya menyulut api "perang". Sungguh ironis jika semua golongan yang terjebak sengketa itu mengihlaskan batinnya atas nama Islam, karena: benarkah begitu Islam mengajarkan?!
Makna persatuan dan persaudaraan yang diajarkan al-Qur'an dan al-Hadits seakan telah menyempal dari akal kewarasan publik. Entah kepentingan ataupun ketidakpahaman yang semakin memendungi nuansa kelesuan Muslimin era ini. Masing-masing mereka menyetir Hadits Nabi untuk tunggangan pribadi masing-masing saja, dengan sangat abai terhadap sendi-sendi kesantunan ihsani, yang pada akhirnya berimbas melumpuhkan kearifan sabda persatuan islami.
Rasulullah bersabda yang bermakna, "Sungguh akan terjadi pada umatku seperti yang telah terjadi pada Bani Israil; terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, seluruhnya masuk neraka kecuali satu golongan". Sahabat bertanya, "Siapakah (satu golongan itu) wahai Rasulullah?". Beliau menjawab, "Golongan yang mengikutiku dan Sahabatku" (HR. Al-Tirmidzy).
Satu golongan itulah yang selama ini terus diperebutkan oleh setiap golongan. Pasalnya, setiap golongan saling mengaku dirinya sebagai golongan yang selamat dan menuduh golongan di luarnya sesat. Mirisnya, tak jarang sebagian kelompok menyamaratakan persoalan parsial (furû'iyyah) dengan persoalan fundamental (ushûliyah) dalam menghukumi kesesatan. Persoalan akut inilah yang oleh Sayed Segaf ibn Ali al-Kâf diupayakan jalan tengahnya sebagai solusi cerdas persatuan umat Islam. Dengan menyegarkan kembali pemahaman hadits friksi (iftirâq) tersebut di atas dalam bukunya "Haqîqah al-Firqah al-Nâjiyah".
Dalam buku setebal seratus sepuluh halaman itu, Sayed Segaf mengawalinya dengan mukadimah: pentingnya kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits serta mengritik para pendahulu yang telah menulis buku-buku sekte rian (al-firaq wa al-milal), mejelaskan motivasi menulis karya tersebut, kemudian menerangkan maksud hadits friksi itu secara detil. Buah karyanya itu sangat kaya dengan data-data berbentuk riwayat. Barangkali inilah salah satu kelebihan buku ini, di samping ide cemerlangnya dalam mereinterpretasi hadits friksi itu sendiri. Sehingga buku ini sangat penting dibaca oleh setiap Muslim.
Mengritisi Buku-Buku Sekterian
Sebelum mengritik buku-buku sekterian (al-firaq wa al-milal), penulis terlebih dahulu mengajak agar segala persoalan yang diperselisihkan untuk dirujukkan kepada al-Qur'an dan al-Hadits. Penulis banyak menampilkan ayat dan riwayat terkait dengan hal ini. Di antaranya ayat 59, 65, dan 83 dari surat al-Nisâ', dan riwayat dari Ibn Abbas bahwa ia berkata, "Hampir-hampir kalian dihujani bebatuan dari langit; saya berkata dengan 'perkataan Rasulullah', kalian membantahnya dengan 'menurut Abu Bakr dan Umar'".
Kritik utama penulis (Sayed Segaf) terhadap para penulis buku-buku sekterian adalah kecerobohan mereka dalam megklasifikasikan sekte-sekte menjadi tujuh puluh tiga sekte tanpa adanya dalil yang jelas dan menjadikan sekte-sekte tersebut dalam wilayah umat ijabah (umat yang mengikuti dakwah Nabi). Argumen mereka hanya karena redaksi hadits menggunakan kata "ummaty: umatku", yakni menyandarkan kata "ku" kepada "umat" yang berarti menunjukkan umat pengikut Nabi. Padahal umat Nabi, hemat penulis, adalah seluruh manusia yang hidup pada masa risalah sampai hari kiamat. Mereka semua tidak ada yang selamat kecuali umat ijabah. Jadi yang terpecah belah adalah umat dakwah (umat yang belum mengikuti dakwah Nabi; sehingga harus diajak) yang keseluruhannya akan masuk neraka (hlm. 6).
Dalam pada itu, pendapat para pendahulu yang menjadikan perpecahan yang disuratkan hadits friksi itu terjadi pada umat ijabah akan mengantarkan kepada konklusi bahwa akhirnya tidak ada umat yang masuk surga. Karena setiap sekte-sekte Islam mengklaim dirinya sebagai golongan yang selamat (al-firqah al-nâjiyah) dan golongan di luarnya sesat dan masuk neraka. Jadi akhirnya tidak ada satu pun yang selamat. Dan ini bertentangan dengan al-Qur'an dan al-Hadits.
Menyegarkan Kembali Tafsir Hadits Friksi (Iftirâq)
Penulis menampilkan semua riwayat terkait hadits friksi, yaitu riwayat al-Tirmidzy, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Najar, dan Abu Ya'la. Dari riwayat-riwayat ini secara garis besar ada dua redaksi (matan) yang berbeda, yaitu yang maknanya:
"Sungguh akan terjadi pada umatku seperti yang telah terjadi pada Bani Israil; terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, seluruhnya masuk neraka kecuali satu golongan". Sahabat bertanya, "Siapa itu wahai Rasulullah?". Beliau menjawab, "Golongan yang mengikutiku dan Sahabatku".
"Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh sekian golongan, semuanya masuk surga kecuali satu, yaitu golongan zindiq".
Kemudian dengan analisa cerdasnya, penulis mensintesiskan dua riwayat tersebut. Menurutnya, umat Muhammad terbagi menjadi dua: umat dakwah dan umat ijabah. Telah maklum bahwa secara hakikat kafir itu satu, dan Islam juga satu. Apabila disebutkan adanya pluralitas dalam dua kubu tersebut, maka yang dikehendaki adalah apa tujuan penyebutan pluralitas itu: yakni siapa yang masuk neraka dan siapa yang masuk surga?. Dengan begitu, siapa saja golongan yang berada dalam panji tauhid, maka dialah penduduk surga, dan yang berbeda dengannya berarti penduduk neraka, karena tempat kembali manusia hanya ada dua: surga dan neraka (hlm. 33).
Hakikat Islam itu satu. Kufur juga satu. Karenanya, maka terjadinya pluralitas dalam masing-masing kubu akan kembali ke hakikat awalnya. Islam memiliki ushûl (ajaran fundamental) dan furû' (ajaran parsial). Selagi pluralitas yang terjadi adalah dalam wilayah parsial, maka mereka tetap Islam. Karena ajaran parsial tidak bisa menganulir ajaran fundamental. Jika ajaran fundamentalnya selamat, selamatlah mereka dan masuk ke dalam umat ijabah, betapapun gamblangnya perbedaan terjadi dalam ajaran yang parsial, terlebih hanya sebatas perbedaan awal puasa dan hari lebaran.
Penulis lalu menjelaskan secara detil maksud hadits tersebut secara per parsialnya. Dengan begitu, pembahasannya terbagi menjadi beberapa bagian meliputi: pembahasan tentang Bani Israil atau Yahudi, maksud tujuh puluh golongan, terpecahnya Nasrani menjadi tujuh puluh dua golongan, perpecahan umat Muhammad menjadi tujuh puluh tiga golongan, makna millah (agama/sekte), hakikat umat yang mengikuti Nabi dan Sahabatnya (mâ ana 'alayhi wa aá¹£hâby), pembahasan neraka, surga, golongan jamaah, dan yang terakhir golongan zindiq.
Pada pembahasan "Tujuh Puluh Golongan", penulis sangat lantang menafsirkan bahwa bilangan tujuh puluh yang disebutkan dalam hadits bukanlah untuk pembatasan bilangan (li al-tahdîd), melainkan sebagai ungkapan bilangan banyak yang tak tertentu (li al-katsrah), dan ini banyak sekali dijumpai dalam Bahasa Arab, bahkan dalam beberapa redaksi al-Qur'an dan hadits itu sendiri. Seperti sabda Nabi "Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang….", atau sabda yang lain "Riba itu ada tujuh puluh sekian pintu….". Maka, penjelasan dalam hadits friksi itu bahwa kata tujuh puluh tersebut sebagai ungkapan orang yang tercengang melihat kenyataan bahwa umat manusia terpecah belah menjadi sekian banyak sekte agama.
Surga adalah tempat kembali bagi umat ijabah, walaupun terkadang sebagian orang dimasukkan neraka dahulu sebagai pembersihan dosa-dosa yang dilakoninya semasa di dunia. Mereka tidak kekal di neraka; masanya tergantung seberapa besar kadar dosanya saja, kemudian dimasukkan ke surga dengan rahmat Allah atau lantaran syafaat Nabi Muhammad. Lain halnya dengan nasib umat dakwah, mereka akan kekal di neraka sebagai ganjaran atas kekufurannya. Kekekalan inilah yang menurut Sayed Segaf dikehendaki dalam hadits friksi tersebut, yakni umat dakwah yang terpecah belah itulah yang masuk neraka untuk selama-lamanya.
Dalam Pembahasan neraka, ada yang menarik yang ditampilkan oleh penulis. Selain menampilkan siapa saja para penghuni neraka, baik yang kekal maupun yang sementara, penulis juga mengupas tentang status Muslimin yang tidak menggunakan syariat Islam, di samping melengkapinya dengan konteks apabila Muslimin dalam posisi lemah. Kaitannya dengan yang kedua, penulis membahasnya dengan tajuk Berhukum dengan Undang-Undang Inggris di Negeri India. Secara utuh penulis membahasnya dengan nukilan dari pendapat Muhammad Rasyid Ridha yang dituangkan dalam kitab al-Mannâr. Kesimpulannya, Muslimin wajib hijrah dari negara itu apabila tidak bisa menjalankan syariat Islam, kecuali jika ada halangan atau kemaslahatan yang tidak menimbulkan fitnah agama, maka tidak mengapa dengan catatan undang-undang itu masih melindungi hak-hak kaum Muslimin dan kemaslahatannya, walaupun sebatas ala kadarnya.
Pemikiran penulis dalam menyegarkan kembali tafsir hadits friksi ini senada dengan pemikiran Abdullah ibn Mahfudz al-Haddâd, penulis buku al-Sunnah wa al-Bid'ah yang sangat masyhur itu. Juga dengan Muhammad ibn Ahmad al-Syâthiry yang dituangkannya dalam karya al-Wahdah al-Islâmiyyah fî al-Mulhaq bi Durûs Ilmi al-Tawhîd.
Penulis berkesimpulan bahwa hadits friksi yang sering dijadikan tunggangan pribadi oleh masing-masing kelompok untuk menyematkan gelar al-firqah al-nâjiyah (golongan selamat) pada dirinya sebenarnya adalah hadits yang mengajak kepada "persatuan umat Islam", yaitu fakta bahwa seluruh pengikut Muhammad dan Sahabatnya (umat ijabah) adalah selamat dan menjadi penghuni surga, serta sebagai peringatan agar umat ijabah ini tidak berpaling kepada kekafiran umat dakwah yang terpecah belah itu. "Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu. Dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku" (QS. Al-Anbiyâ: 92). "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat" (QS. Ali 'Imrân: 105). "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" (QS. Ali 'Imrân: 103).
* Pimred Jurnal Sketsa Edisi-V PPI Yaman dan Ketua Penyelenggara Olimpiade Karya Tulis Ilmiah 2012 PPI Yaman. (pandyys@gmail.com)