Tak lama setelah waktu Dzuhur, sekitar pukul 13.41 WIB, Kota Jakarta tidak seperti biasanya. Langit mendadak mendung, meski siang hari. Penduduk langit pada saat itu tampak muram. Seolah-olah tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Ada apakah gerangan?
KH Noer Muhammad Iskandar (Kiai Noer) kembali ke Rahmatullah tak lama setelah waktu dzuhur, tepatnya pada hari Ahad 13 Desember 2020/28 Rabiul Akhir 1442 H sekitar pukul 13.41 siang waktu Jakarta. Kata seorang alumni Asshidiqiyah sekaligus penulis buku ini Muchlisin membenarkan kabar tersebut. Kiai Noer wafat pada usia 65 tahun.
Tidak membutuhkan waktu lama, kabar duka tersebut tersebar ke seluruh wilayah Indonesia khususnya. Banyak orang merasa kehilangan atas kepergian Kiai Noer tak terkecuali para ulama, keluarga besar, tokoh, para santri Asshiddiqiyah dan banyak yang lain. Tentu saja kepergian Kiai Noer membawa duka yang sangat mendalam, terlebih bagi bangsa Indonesia. Pasalnya, beliau adalah sosok panutan yang tak tergantikan.
Cerita tersebut dikisahkan dalam buku Saksi Kebajikan Sang Kiai (2021). Buku ini terbit tahun 2021. Dalam buku tersebut, penulis mengisahkan banyak hal yang mungkin belum diketahui oleh banyak orang. Mulai dari testimoni hidup kiai Noer oleh keluarga besar, 42 Tokoh (kalangan kiai, pejabat hingga orang terdekat), 30 Kenangan alumni Pondok Pesantren Asshiddiqiyah.
Pada bagian penutup ada epilog dari Habib Jindan bin Novel Bin Salim Bin Jindan, perjalanan spiritual juga lahiriah mendirikan pondok pesantren di kota Metropolitan, kisah teladan, inspiratif hingga menjelang akhir hayat tetap semangat berdakwah dan mendedikasikan diri untuk umat. Tidak hanya itu, membaca buku ini, kita juga dapat mengetahui keteladanan kiai Noer dan mengenal keluarganya lebih dekat.
Mari jelajah buku ini mulai dari testimoni keluarga besar “Mikul Dhuwur, mendhem Jero”, “Inspirator Gerakan Sedekah”, hingga “Terbiasa Puasa Ngrowot”.
Sang Teladan Keluarga Besar
Kisah pertama yang menjadi catatan penting yaitu dalam meneladani orangtua perlu meniru kebaikan-kebaikan dan meneruskan jasa-jasa almarhum Kiai Noer (mensuritauladani).
Kedua, gigih dalam berjuang memberi yang terbaik kepada umat, istiqomah bersedekah, pemikiran maju dan inspiratif serta pengembangan ekonomi pesantren (pemikiran bagus dan baru), istiqomah lahiriah dan batiniah (pinter dan bener), terakhir Kiai Noer ini ahli silaturahim. Ketiga, prihatin lewat puasa ngrowot (tidak makan beras putih, beras merah, beras ketan termasuk nasi dan segala jenis olahannya), ini bagian dari ikhtiar spiritual beliau sebagai hamba Allah SWT. Dari testimoni keluarga besar, maka kiai Noer dapat dikatakan sebagai kiai teladan bagi keluarganya.
Tohirin dan Muchlisin dalam buku ini juga mengisahkan testimoni dari 42 Tokoh dengan redaksi serta judul bervariatif juga berisi.
Suri Tauladan dan Pintar
Mari kita selami kesaksian tokoh berikut, Suri Tauladan Santri dan Kiai, dikisahkan kiai Noer dapat masyur (terkenal) berkat 3 tokoh besar yakni KH. Askandar (ayah), KH. Mahrus Ali (Sang Guru) dan KH. Adlan Ali, Cukir, Tebuireng, Jombang. Dari tiga tokoh itu, terbentuk model ulama pejuang masa kini yang mampu menaklukkan kota kosmopolit, jadi teladan bagi santri dan para kiai.
Kiai Noer adalah kiai bermental pejuang spiritual dan lahiriah, dermawan, juga teladan bagi santri Ponpes Asshidiqiyah yang saat ini mencapai 12 cabang diberbagai daerah. KH. Husein Muhammad dalam buku ini mengisahkan, Kiai Noer juga pintar, sejak di Lirboyo beliau pernah menjadi Ketua/Rois dalam acara Imtihan Akhirussanah. Rois merupakan sebutan untuk santri yang memimpin musyawarah.
Ahli Tirakat dan Sholawat
KH. Achmad Chalwani (Pengasuh Ponpes Annawawi, Purworejo) mengisahkan Kiai Noer pernah mencari beliau ke Purworejo untuk menjadi pembimbing haji. Sebagai adik kelas dan sesama alumni Lirboyo, Kiai Chalwani mengaku sangat senang membersamai beliau, hal itu karena bimbingan yang diberikan terkait Ke-NU-an maupun keorganisasian.
Kiai Chalwani mencontoh wirid rutin kiai Noer salah satunya, ”Hasbunallah wani’ma al-wakil. Ni’mal al-maula wani’ma al-nasir” dibaca 119 kali selama 7 malam. Wirid ini mujarab jika ada orang yang ingin berbuat jahat akan gagal. Baru 4 malam, orangnya sudah datang dan minta maaf. Sekira rivalnya agak berat, dibaca 490 kali. Ijazah ini Kiai Chalwani terima langsung dari Kiai Noer.
KH. Manarul Hidayat dalam buku ini mengisahkan, kiai Noer ahli tirakat dan sholawat. Tirakatnya kuat, ahli sholawat, puasa Daud dan Salat tahajudnya tidak putus-putus. Ibadah itu terus dilakukan Kiai Noer sampai aja menjemputnya, pada 13 Desember 2020. Bahkan, saat cuci darah pun, beliau tidak mau membatalkan puasa Daud-nya.
Pencetus Gelar SQ dan Misteri Pasir Hadramaut
KH. R. Syarif Rahmat RA dalam buku ini juga mengisahkan Kiai Noer sempat bikin geger, karena SQ (Sarjana Qur’an) dijadikan gelar. Pimpinan kampus PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu AlQur’an) kala itu menanggapi enteng saja (secara diplomatis) “Ya, sudah. SQ itu Shiddiqiyah”. Bagi Kiai Syarif Rahmat ini lucu. Tapi nyatanya setelah itu, saat PTIQ yang sempat ganti nama jadi ISIQ (Institut Studi Ilmu Al-Qur’an) malah menetapkan gelar SQ untuk S-1 yang menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya 30 Juz.
KH. Yusuf Mansur mengisahkan bahwa Kiai Noer sebagai orangtua sekaligus guru. Tahun 2007 Kiai Noer datang ke Ketapang (Tempat pengembangan Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an) mendoakan sembari membawa pasir Hadramaut (Yaman). Kata Kiai Noer ketika itu “Biar menyatu tanah sini (Ketapang) dengan tanahnya Hadramaut, Yaman. Negerinya para Wali dan Habaaib.”
Beliau menaburkan pasir Hadramaut tersebut. “Kelak, bakal berdiri bangunan demi bangunan, dan berdatangan santri dari berbagai penjuru Indonesia,” doa Kiai Noer waktu itu. KH. Yusuf Mansur takjub pada Kiai Noer karena keberadaan kami tidak dianggap mengancam pesantren beliau, datang tanpa diminta, datang sendiri (inisiatif sendiri), memberi support penuh, hingga berlama-lama di Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an.
Benteng Ahlussunah wal Jamaah
Jazilul Fawaid menyebut Kiai Noer adalah Benteng Ahlussunah Waljama’ah yang menjadi benar-benar menjadi kekuatan nahdliyin di Ibu Kota Indonesia. Keuletan usaha dan tirakatnya yang istiqomah dipandang sebagai role model dakwah di pusat kota. Beliau berhasil mengajak kalangan elit-menengah dan mendidiknya ala santri salaf.
Kiai Noer berhasil menjadi model konstruksi dari pengejawantahan adagium NU yang berbunyi “Almuhafadzotu ‘alal Qodimi As-Sholih wal Akhdzu bil Jadidi al Aslah”, yaitu menjaga tradisi lama yang baik dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik.
Berkharisma dan Teguh Memperjuangkan Islam
Sederhana nan Berkharisma begitu kesan Anies Rasyid Baswedan terhadap Kiai Noer. Kiai Noer sederhana dari segi pakaian yang dikenakan, kalo tidak pakai gamis putih, ya pakai batik. Namun ketika Kiai Noer kenakan itu tampak wibawa dan kharismanya sebagai seorang ulama yang cerdas keilmuan dan memiliki keteladanan.
Pada gamis putih sederhana yang dikenakan terdapat kewibawaan, apa yang di ngendika maka semua mendengarkan, begitu pula saat beliau mengenakan batik, wejangannya diterima hati dan benak.
Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum PP. Muhammadiyah) mengisahkan dalam buku ini Kiai Noer sosok yang Teguh Memperjuangkan Islam. Beliau adalah seorang ulama sekaligus politisi. Bagi Kiai Noer, politik adalah sarana dakwah dan perjuangan Islam bukanlah alat kekuasaan. Karena itu, Kiai Noer tidak pernah gentar menyampaikan prinsip walaupun tindakan demikian kadang tidak populer. Keteladanan inilah yang perlu diikuti oleh para politisi.
Pabrik Pesantren dan Sangu untuk Kiai NU
Penuturan Besan yang tidak lain adalah KH Z. Arifin Junaidi, Ketua LP Ma’arif NU, Kiai Noer adalah “Pabrik Pesantren”, karena hanya dalam 25 tahun mampu mendirikan 11 pesantren yang tersebar di beberapa daerah. Kiai Noer dalam meningkatkan kecerdasan santrinya menerapkan prinsip asih (kasih), asah (memahirkan), dan asuh (bimbingan) seperti yang diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara.
Ketua PWNU DKI Jakarta menyebut Kiai Noer merupakan Sangu untuk Kiai NU. KH. Samsul Ma’arif sangu yang dimaksud adalah meneladani tirakatnya istiqomah salat Tahajud dan 1000 kali sholawat setiap hari, sholeh dan muslih, penggerak atau muharrik, dan gemar memberi amplop sangu kepada kiai.
Motivator yang Visioner dan Sintesa Tiga Pesantren
M. Jazeri dalam buku ini mengisahkan bahwa Kiai Noer adalah Motivator yang visioner. Kiai Noer mengarahkan alumni agar melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan kemanapun yang diinginkan. Memotivasi santri harus mandiri dan bermanfaat bagi agama, bangsa dan negara. Berkarir jadi apa saja yang bermanfaat bagi sesama, tidak harus jadi kiai semua agar tidak berebut berkat, sajian dalam selamatan.
Jadilah akademisi, politisi, bisnisman atau lainnya bersinergi mengembangkan dan mendakwahkan Islam pada profesi yang kalian tekuni. Kiai Noer juga memiliki pandangan jauh ke depan (visioner). Sekitar tahun 1985-an, beliau mendirikan pesantren Asshiddiqiyah dengan visi dan misi yang menjawab tantangan umat Islam 20-30 tahun ke depan.
Menurut Abdul Kholiq Pengajar Senior Pesantren Asshiddiqiyah, Pondok Pesantren Asshiddiqiyah merupakan Sintesa Tiga Pesantren. Pertama, Pesantren Berasan Banyuwangi, pesantren ayahnya Kiai Noer sendiri yang unggul di bidang spiritual dan tirakatnya, terutama kewajiban salat tahajud dan puasa sunah merupakan titik tolak pembentukan akhlak karimah.
Kedua, Pesantren Lirboyo dengan keunggulan kitab kuning yang merupakan sumber utama kajian ilmu agama. Ketiga, Pesantren Gontor dengan unggulan bahasa internasional yang menjadi alat komunikasi dan bahasa dakwah antarbangsa. Dari penuturan beberapa tokoh di atas, maka Kiai Noer dapat dikatakan menginspirasi masa depan kalangan kiai, tokoh politik, pejabat publik hingga pengajar senior.
Sebenarnya masih banyak yang belum diulas dalam tulisan ini. Peresensi menyadari terdapat kekurangan dalam mengulas sosok Kiai Noer, terutama belum diulasnya kenangan Alumni sejumlah 30 orang yang memberikan testimoni pada buku ini. Semoga pada kesempatan berikutnya bisa mengulas dalam perspektif para alumninya. Terakhir, ahli ilmu tidak pernah mati. Mari baca buku Saksi Kebajikan Sang Kiai.
Identitas buku
Judul: Saksi Kebajikan Sang Kiai
Penyunting: Tohirin dan Muchlisin
Penerbit: Pustakapedia Indonesia
Terbitan: 2021
Tebal: xiv + 279 hlm
ISBN: 978-623-6117-16-3
Peresensi: Singgih Aji Purnomo, Dosen STAI Muslim Asia-Afrika dan Wakil Sekretaris Lakpesdam PCNU Jakarta Selatan