Nasional

Membangun Ruang Aman untuk Perempuan Harus Dimulai dari Kesadaran Kolektif

NU Online  ·  Ahad, 7 Desember 2025 | 05:00 WIB

Membangun Ruang Aman untuk Perempuan Harus Dimulai dari Kesadaran Kolektif

Direktur Eksekutif Lentera Sintas Indonesia Astri Hashilah dalam Seminar Membangun Ruang Aman bagi Perempuan di Creativite Indonesia, Jakarta Selatan, Sabtu (6/12/2025).

Jakarta, NU Online

Direktur Eksekutif Lentera Sintas Indonesia Astri Hashilah menekankan, ketika seseorang menginginkan keamanan dan kenyamanan, maka harus mengingat bahwa orang lain juga membutuhkan hal serupa. Karena itu, siapa pun harus sadar terkait kenyamanan dan keamanan orang lain.


“Ketika kita mengatakan aku, kamu, semua bisa jadi korban, tapi kita semua juga bisa jadi pelaku. Ketika kita berambisi untuk memiliki ruang aman, harapannya kita juga bisa menjadi ruang aman untuk diri sendiri dan orang lain,” ungkapnya dalam Seminar bertajuk Membangun Ruang Aman bagi Perempuan di Creativite Indonesia, Jakarta Selatan, Sabtu (6/12/2025).


Astri menjelaskan bahwa kekerasan yang terjadi di ruang privat lebih banyak dibandingkan di ruang publik. Ia menyebut Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan selalu naik, tetapi jumlah pelaporan cenderung sedikit karena masih banyak yang takut melapor.


“Kita dihadapkan pada budaya yang mengajarkan bahwa perempuan tidak aman di luar ruangan. Misalnya, jangan keluar malam, jangan memakai pakaian terbuka, dan banyak larangan berbasis budaya yang mengibaratkan perempuan tidak aman berada di luar ruangan,” jelasnya.


Selain itu, Astri memaparkan bahwa Lentera Sintas Indonesia turut aktif mengedukasi masyarakat umum terkait kekerasan seksual agar terbentuk ruang aman bagi perempuan di masyarakat, serta melakukan advokasi mendorong RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).


“Yang penyintas butuhkan adalah orang yang bisa mendengarkan. Namun yang biasanya sering diajarkan ketika kita menemui penyintas kekerasan adalah bertanya, padahal sebetulnya yang penyintas butuhkan adalah didengar dan diberikan ruang untuk tenang dan aman,” pungkasnya.
 

Sementara itu, Penulis Lamon Ruang Jendela Kunti Dewanggani menceritakan tentang perempuan dalam lakon yang masuk ke alam pikirannya sendiri mengenai peristiwa yang terjadi pada dirinya.


“Lakon ini menceritakan pergulatan batin seorang perempuan yang hidup dalam ruang domestik dan sosial yang membatasi dirinya. Lakon ini menjadi simbol ruang pandang tempat tokoh perempuan mengamati dunia luar, memaknai realitas, sekaligus merindukan kebebasan,” jelasnya.


Kunti menghadirkan narasi yang puitis tapi kritis, memperlihatkan tentang perempuan yang mencoba menemukan identitas di tengah tata nilai yang patriarkal.


Menurutnya, saat ini anak muda sudah mulai sadar terhadap budaya patriarki dan ia percaya bahwa seiring berkembangnya zaman, kesadaran bahwa budaya ini tidak layak diteruskan akan semakin kuat.


“Kita perlu menyadari akar dari masalah terkait kurang aman untuk perempuan. Kita perlu menyadari bahwa budaya patriarki masih kuat dan terbawa oleh budaya tersebut yang membuat perempuan kurang setara, maka hal tersebut harus kita sadari,” jelasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang