Kitab At-Tibyan Karya KH Hasyim Asy’ari: Usaha Rekonsiliasi Nasional
Rabu, 27 Mei 2020 | 12:00 WIB
Indonesia menapaki era sejarah kebangkitan nasional ketika muncul organisasi-organisasi pergerakan yang mencita-citakan dan mengusahakan kemerdekaan Indonesia. Masa ini menandai usaha perjuangan kemerdekaan Indonesia yang semula bertumpu pada pergerakan fisik dan terpisah-pisah oleh kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara, menuju usaha-usaha yang berbasis pemikiran dan pendidikan. Beberapa organisasi itu antara lain Syarikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905 yang bergerak pada bidang ekonomi, Syarikat Islam pada tahun 1912, Muhammadiyyah pada tahun yang sama, dan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Di samping itu, organisasi serupa berbasis Islam juga berdiri di berbagai daerah.
Para penjajah pun melakukan resistensi terhadap gerakan masyarakat Islam yang semakin menyadari akan perlunya dibangun cara yang baru dalam usaha mewujudkan kemerdekaan. Maka penjajah Belanda berusaha memecah belah pergerakan masyarakat Indonesia khususnya Islam dengan berbagai usaha, seperti ikut serta membidani lahirnya organisasi komunis-sosialis bernama Indische Socialist Democratic Vereeniging (ISDV) yang berpaham komunis dipimpin oleh Snevliet. ISDV ini kemudian menyusup ke dalam Syarikat Islam dan membentuk SI-Merah di Semarang, Jawa Tengah. Sebuah organisasi yang kemudian menjelma menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada kemudian harinya.
Penjajah Belanda juga berusaha memecah-belah kekuatan umat Islam dengan cara menyebarkan isu yang membesar-besarkan permasalahan cabang (furu’, tidak prinsipil) agama. Umat Islam dan para tokohnya dibuat sibuk untuk berdebat dan saling bertentangan satu sama lain. Sehingga mereka tidak lagi atau kurang mempedulikan cita-cita pergerakan Islam yang semula.
Melihat dan mempertimbangkan hal itu, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari merasa perlu dan penting untuk mempersatukan umat Islam di Indonesia dalam rangka cita-cita kejayaan Islam (izzul islam) dan kemerdekaan Indonesia. Dalam kerangka inilah maka kitab at-Tibyan ini ditulis. Kitab yang berjudul lengkap At-Tibyan fi An-Nahyi ‘an Muqatha’ati Al-Arham wa Al-Aqarib wa al-Ikhwan ini menjelaskan tentang pentingnya rekonsiliasi dan betapa buruknya perpecahan. Kitab ini sendiri memiliki arti: “Penjelasan: mengenai larangan memutus tali kekeluargaan, kekerabatan, dan hubungan sosial.” Sangat jelas dari judul ini bahwa kitab ini ditulis dalam rangka mewujudkan rekonsiliasi di antara organisasi dan tokoh Islam di masa awal pergerakan kebangkitan nasional.
Ditulis dalam sepuluh bab, kitab ini juga menyertakan beberapa risalah lain yang ditulis dan diceramahkan oleh Hadratussyekh. Risalah yang dimaksud adalah empat bab terakhir yaitu: (1) Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyati Nahdlatil Ulama; (2) Risalah fi Ta’akkudi Al-Akhdz bi Madzahibil Aimmah al-Arba’ah; (3) Risalah Tusamma bi-Al-Mawa’idh; dan (4) Al-Arbain Haditsan Nabawiyyan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jamiyyati Nahdlatil Ulama. Risalah pertama saat ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi Nahdlatul Ulama. Risalah kedua mengulas tentang pentingnya bermazhab (khususnya) kepada empat Imam Mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal) dalam Islam. Sedangkan risalah ketiga yang disebutkan di atas adalah berasal dari ceramah Kiai Hasyim Asy’ari di depan forum para ulama. Risalah keempat adalah hasil penyarian hadits-hadits nabi yang berkaitan dan menjadi landasan perlunya didirikan organisasi Nahdlatul Ulama.
Sebagaimana telah dijelaskan, kitab ini sendiri terdiri dari sepuluh bab. Selain empat bab terakhir seperti telah dijelaskan di atas, ada enam bab lain di awal yang dibahas secara berurutan sebagai berikut. Bab pertama adalah khutbah kitab (pendahuluan). Bab kedua menjelaskan tentang definisi yang dikandung dari kata “ar-rahim” (dalam kata silaturahim). Bab ketiga menjelaskan tentang masalah permusuhan yang diharamkan. Bab keempat menjelaskan tentang besarnya dosa orang saling bermusuhan dengan sesama saudaranya. Bab kelima menjelaskan bahwa permusuhan menjadi penyebab kefasikan. Bab keenam membahas mengenai pemutusan hubungan sosial yang diharamkan.
Kiranya penting di sini untuk menjelaskan risalah ‘Al-Mawaidh’ yang termuat sebagai bagian dari kitab at-Tibyan ini. Martin van Bruinessen menyatakan bahwa risalah ini disampaikan Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dalam suatu forum ulama. Forum tersebut dihadiri para tokoh dan ulama dari berbagai organisasi Islam yang ada di Indonesia. Di antaranya organisasi Syarikat Islam (SI), Persatuan Islam (Persis), Persatuan Ulama Islam (PUI), Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), Muhammadiyyah, dan Nahdlatul Ulama. Diselenggarakan pada tahun 1937, dalam Al-Mawaidz Hadratussyekh Hasyim Asy’ari menyampaikan perlunya persatuan umat Islam Indonesia. Dengan semangat izzul Islam, mencari titik temu, dan mempermaklumkan perbedaan persoalan cabang agama.
Hal demikian ini kemudian diamini para tokoh yang ada. Forum pun bersepakat membentuk organisasi konfederasi Islam yang diberi nama: Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Sejak awal berdirinya, KH Hasyim Asy’ari menjadi pucuk pimpinan tertinggi organisasi ini dan terus bertahan hingga akhir hayatnya, di mana sejak penjajahan Jepang (1942) majelis ini berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Berdasarkan penjelasan di atas, kita menjadi mengerti akan semangat perjuangan, semangat pesatuan umat Islam dan kemerdekaan Indonesia yang dimiliki KH Hasyim Asy’ari.
Peresensi adalah Ahmad Nur Kholis, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang
Identitas Kitab
Judul Kitab : At-Tibyan fin Nahyi ‘an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan
Penulis : Hadlratussyikh Hasyim Asy’ari
Penerbit : Maktabah At-Turats Al-Islamy
Tahun : (tanpa tahun)
Jumlah halaman : 41 halaman