Pustaka

Kitab Lathaiful Minan: Resep Menjadi Kekasih Allah

Senin, 7 Oktober 2024 | 17:00 WIB

Kitab Lathaiful Minan: Resep Menjadi Kekasih Allah

Ilustrasi Lathaiful Minan. Sumber: Canva/NU Online

Di antara hamba Allah yang ada di dunia ini, terdapat makhluk pilihan, yang telah dipilih untuk menjadi penerang bagi umat manusia—, mereka para wali Allah. "Derajat seorang wali adalah sebuah derajat yang begitu mulia," kata Ibnu Athaillah Al-Iskandari dalam kitab Lathaiful Minan (2006:39)


Para wali Allah ini, kata Ibnu Athaillah adalah insan-insan yang hatinya telah dipenuhi dengan cinta ilahi, begitu dekat dengan Sang Pencipta hingga dunia dan isinya tak lagi menjadi tujuan. Wali Allah adalah pribadi yang hidupnya dipenuhi dengan kesalehan, ketulusan, dan kerinduan kepada Allah. Jiwa mereka telah tenggelam dalam samudera rahmat dan kasih sayang Allah.


عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ( إن الله تعالى قال : من عادى لي وليا فقد آذنته بالحرب ، وما تقرّب إليّ عبدي بشيء أحبّ إليّ مما افترضته عليه، وما يزال عبدي يتقرّب إليّ بالنوافل حتى أُحبّه، فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به، وبصره الذي يبصر به، ويده التي يبطش بها ، ورجله التي يمشي بها، وإن سألني لأعطينّه ، ولئن استعاذني لأعيذنّه 


Artinya., "Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman: Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya. Dan tidak ada sesuatu yang lebih Aku cintai yang dilakukan oleh hamba-Ku untuk mendekatkan diri kepada-Ku selain dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya."


Maka jika Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya, penglihatannya yang ia melihat dengannya, tangannya yang ia gunakan untuk memukul, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku akan melindunginya." (HR. Imam Bukhari)


Para wali Allah adalah jiwa-jiwa yang terpilih. Tubuh mereka tak mengenal lelah, tetap teguh dalam ibadah yang panjang. Dengan kesetiaan, mereka berupaya meraih keridhaan Ilahi, sehingga Sang Pencipta menyingkapkan rahasia cahaya-Nya yang suci ke dalam sanubari mereka, menjadikan mereka pancaran kebeningan dan keteduhan. 


Pun para kekasih Allah ini, dipelihara dari tipu daya hawa nafsu dan jerat kesesatan dunia. Allah mengaruniai mereka dengan ketenangan, hati yang jernih, serta kabar gembira berupa keamanan dan kebahagiaan abadi di dunia maupun di akhirat. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah;


اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ ۝٦٢


Artinya; "Ketahuilah bahwa sesungguhnya (bagi) para wali Allah itu tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih."


Lebih jauh lagi, menurut Ibnu Athaillah Al-Iskandari (hlm 39) para wali adalah hamba-hamba yang dijaga oleh Allah dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Allah melindungi mereka dari segala mara bahaya dan musuh, sehingga siapa saja yang berani menyakiti seorang wali akan berhadapan langsung dengan murka Allah. Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Allah berfirman;


من عادى لي وليًا فقد بارزني بالمحاربةِ، وما تقرب إليّ عبدي بمثلِ أداءِ ما افترضته عليه، ولا يزالُ عبدي يتقربُ إليّ بالنوافلِ حتى أحبَّه، فإذا أحببتُه كنتُ سمعَه الذي يسمعُ به وبصرَه الذي يُبصِرُ به ويدَه التي يَبطشُ بها ورجلَه التي يمشي بها، فبي يسمعُ وبي يُبصرُ وبي يَبطشُ وبي يمشي، ولئن سألني لأُعطينه ولئن استعاذني لأُعيذنه، وما ترددت في شيءٍ أنا فاعلُه ترددي في قبضِ نفسِ عبدي المؤمنِ يكرهُ الموتَ وأكرهُ مساءتَه ولابدَّ له منه


Artinya; "Siapa yang memusuhi wali-Ku, berarti menyatakan perang kepada-Ku. Semakin hamba-Ku mendekat kepada Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai daripada kewajiban-kewajiban yang Kubebankan atas dirinya, dan semakin ia mendekat kepadaku dengan amal-amal sunat. Aku semakin mencintainya. Kalau Aku sudah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatan yang dengannya ia melihat, menjadi tangan yang dengannya ia memegang, dan menjadi kaki yang dengannya ia berjalan. Apabila ia meminta, pasti Kuberi. Apabila ia memohon perlindungan, pasti Ku lindungi. Tidak pernah Aku ragu melakukan sesuatu seperti ketika aku ragu mencabut nyawa seorang mukmin yang takut mati sementara Aku tidak mau menyakitinya. Namun, itu adalah ketetapan yang harus terjadi." (hlm. 39)


Itulah sekilas tentang gambaran dan keutamaan wali Allah menurut Ibnu Athaillah. Pada bagian awal kitab Lathaif Minan, Ibnu Athaillah membahas tentang konsep kewalian, yang menjadi fondasi bagi pemahaman lebih lanjut terhadap isi buku tersebut. Kewalian dalam pandangan Ibnu Athaillah sebuah perwujudan nyata dari totalitas penghambaan, kerendahan hati, dan cinta yang sempurna kepada Allah SWT.


Mengenal Imam Syadzili, Mursyid Tarekat Syadziliyah

Setelah menjelaskan tentang sosok dan ciri-ciri seorang wali, Ibnu Athaillah kemudian menekankan bahwa contoh wali sejati dapat ditemukan pada diri Syekh Abu Hasan asy-Syadzili. Beliau adalah seorang ulama besar sekaligus pendiri Tarekat Syadziliyah. Dikenal dengan sebutan Syekh al-Imam-- tokoh utama di kalangan sufi, dihormati sebagai pemimpin, serta dianggap sebagai teladan yang mendapatkan petunjuk langsung dari Allah (hlm.75).


Sebagai seorang tokoh arif dan Mursyid Syadziliyah, Imam Syadzili memiliki pengetahuan yang sangat berharga dan agung pada masanya. Dikenal karena kedekatannya dengan Allah, asy-Syadzili berperan sebagai pengantar menuju Tuhan, penyimpan rahasia, dan sumber cahaya bagi banyak orang yang mencari pertolongan spiritual.


Lahir di Maroko, nama asy-Syadzili diambil dari wilayah Syadzilah, dekat Tunisia, tempat ia pertama kali muncul dalam kehidupan masyarakat. Ia berasal dari garis keturunan yang terhormat, dengan silsilah yang panjang dan terhubung hingga ke Ali bin Abi Thalib, r.a. Kepemimpinannya dan ajarannya menginspirasi banyak orang dalam pencarian spiritual mereka, menjadikannya sebagai sosok yang dihormati dan diikuti dalam tradisi sufi.


Tarekat Syadziliyah merupakan salah satu tarekat yang berpengaruh dalam dunia Islam, yang dinisbatkan kepada pendirinya, Abu Hasan al-Syadzili (w. 656 H/1258 M). Tarekat ini telah menarik perhatian banyak kalangan karena ajarannya yang dikenal dengan pendekatan tasawuf moderat. 


Ciri khas utama dari tarekat ini adalah fokus pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan pembinaan akhlak, serta upaya untuk menghidupkan kembali ruhaniyah dengan tetap berpegang teguh pada ajaran syariat yang berlandaskan al-Qur'an dan as-Sunnah. Dalam tulisan ini, kita akan melihat lebih dekat karakteristik, ajaran, dan kontribusi Tarekat Syadziliyah dalam dunia tasawuf.


Dalam sejarahnya, Imam asy-Syadzili merupakan sosok yang telah menempuh jalur keilmuan dan spiritual yang panjang. Ia dikenal sebagai murid dari Syekh Abdu Salam bin Masyisy, seorang sufi terkemuka di wilayah Maghrib (Maroko saat ini), yang kemudian menanamkan dasar-dasar ajaran tasawuf yang menekankan pada pentingnya keseimbangan antara ilmu syariat dan hakikat (esoterik) dalam beragama.


Sri Mulyati dan Wiwi Siti Sajaroh dalam buku Tasawuf Pasca Ibnu Arabi (2006: 1) menjelaskan bahwa Imam Syadzili termasuk salah satu sufi yang menempuh jalan tasawuf yang searah dengan Imam al-Ghazali, pelaksanaan tasawuf tidak pernah dilepaskan dari syariat. Tasawuf bagi asy-Syadzili adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tetap mematuhi perintah-perintah-Nya, serta menjaga akhlak dan kesucian jiwa. 


Lebih jauh lagi, Imam asy-Syadzili berhasil membangun tarekat dengan prinsip keseimbangan antara aspek batiniah (esoterik) dan lahiriah (syariat). Dalam tarekat ini, Imam asy-Syadzili mampu menjembatani dua dimensi agama yang seringkali dipandang bertentangan: dimensi batin yang penuh dengan pencarian makna mistisisme dan dimensi lahiriah yang berfokus pada hukum serta aturan syariat.


Imam asy-Syadzili menegaskan bahwa spiritualitas seorang Muslim tidak akan sempurna tanpa komitmen yang kuat terhadap pelaksanaan ajaran-ajaran Islam secara zahir. Misalnya, seorang murid tarekat diwajibkan untuk mendirikan shalat lima waktu dengan penuh khusyuk, berpuasa sesuai ketentuan syariat, serta menjaga adab dan akhlak sehari-hari. Imam al-Syadzili menolak konsep kelezatan spiritual yang mengabaikan kewajiban-kewajiban lahiriah sebagai Muslim yang taat. (Tasawuf Pasca Ibnu Arabi, 2006: 2)


Di sisi lain, Imam al-Syadzili juga menaruh perhatian besar pada pembinaan batin. Beliau mengajarkan bahwa penghambaan kepada Allah tidak boleh terhenti pada aspek formalitas ibadah semata. Ruh seorang hamba harus dibangun melalui dzikir (hizib) yang terus-menerus, tafakkur, serta tazkiyah (penyucian hati). 


Setelah wafatnya Abu Hasan asy-Syadzili, ajaran tarekat ini diteruskan oleh muridnya, Abu Abbas al-Mursi (w. 686 H/1287 M), yang kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Athaillah al-Iskandari (w. 709 H/1310 M). Mereka berdua dikenal sebagai pionir utama yang mengembangkan Tarekat Syadziliyah ke berbagai wilayah, seperti Tunisia, Mesir, Sudan, Suriah, dan Indonesia. Ibnu Athaillah al-Iskandari, dalam karyanya Al-Hikam, menyusun berbagai nasihat dan hikmah spiritual yang menjadi landasan penting bagi pengikut Syadziliyah hingga kini. 


Di Indonesia, Tarekat Syadziliyah mendapatkan tempat istimewa di hati para pencari spiritualitas, menjadikannya salah satu tarekat sufi yang berpengaruh dalam perkembangan tasawuf di Nusantara. Pengaruh tarekat ini tersebar luas di berbagai pesantren dan majelis-majelis dzikir, serta diikuti oleh banyak kalangan Muslim yang ingin memperdalam hubungan spiritual mereka dengan Allah.


Karakteristik dan Ajaran Tarekat Syadziliyah

Salah satu ciri khas tarekat ini adalah konsep cinta (mahabbah). Dalam kitab Lathaif Minan, Ibnu Athaillah menjelaskan bahwa cinta yang diajarkan oleh Syekh Abu Hasan asy-Syadzili bukan hanya sekadar perasaan, tetapi juga sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Cinta kepada Allah ditunjukkan dengan ingatan yang tulus kepada-Nya, di mana seorang hamba senantiasa mengarahkan hatinya kepada Sang Pencipta. Cinta ini menjadi dasar spiritual yang menghubungkan seorang salik dengan Allah (hlm. 57).


Abu Hasan asy-Syadzili juga menjelaskan berbagai tingkatan cinta yang dialami oleh para pengikut tarekat ini. Tanda cinta yang pertama adalah mencintai orang-orang yang taat kepada Allah, bahkan ketika mereka tidak berbuat baik kepada kita. Hal ini menunjukkan bahwa cinta dalam konteks ini tidak bersifat egois; melainkan, ia ditujukan untuk mengagungkan dan menghargai komitmen spiritual orang lain. 


Cinta yang kedua, yakni cinta dengan Allah, terlihat dari keinginan mendalam untuk meraih cahaya dan keberuntungan dari Allah. Ketika seseorang mencintai Allah, mereka merindukan bimbingan dan berusaha keras untuk mendapatkan petunjuk dalam hidupnya.


Di sisi lain, cinta dari Allah adalah tanda paling tinggi yang dapat dirasakan oleh seorang hamba. Ini muncul ketika Allah menarik seseorang kepada Rahmat dan Kasih sayang, sehingga salik tersebut tidak lagi mencintai apapun selain Allah.

 

Dalam keadaan ini, seseorang merasakan kedamaian dan kesempurnaan dalam cintanya, yang menjadi penguat keyakinan dan perjalanan spiritualnya. Syekh Abu al-Hasan menekankan bahwa siapa pun yang mencintai Allah dan dicintai-Nya akan menemukan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki (hlm. 57).


وهي مراتب أربع الحب الله، والحب في الله والحب بالله والحب من الله الحب الله ابتداء والحب من الله انتهاء والحب في الله وبالله واسطة بينها


Artinya; "Ada empat tingkatan cinta: cinta kepada Allah, cinta karena Allah, cinta dengan Allah, dan cinta dari Allah. Cinta kepada Allah adalah yang awal, dan cinta dari Allah adalah yang akhir, sedangkan cinta karena Allah dan cinta dengan Allah adalah perantara di antara keduanya (hlm. 58).


Lebih jauh lagi, dalam Tarekat Syadziliyah, cinta sering diibaratkan sebagai sebuah minuman yang mampu menyirami seluruh aspek kehidupan manusia. Proses meminum "minuman cinta" [شراب المحبة], ini melibatkan penyucian jiwa dan penyatuan diri dengan sifat-sifat Allah.

 

Melalui latihan spiritual yang intensif, seorang murid tarekat akan mengalami proses pencairan dan penyucian hati, sehingga siap untuk menerima anugerah cinta ilahi. Proses ini tidaklah instan, melainkan membutuhkan kesabaran dan ketekunan.


Pengalaman cinta ilahi yang dialami oleh setiap salik sangatlah beragam. Ada yang langsung merasakan manisnya cinta ilahi tanpa perantara, namun ada pula yang membutuhkan bimbingan dari seorang guru spiritual.

 

Tingkatan pengalaman cinta ini juga berbeda-beda, tergantung pada tingkat kedekatan seseorang dengan Allah. Setelah merasakan manisnya cinta ilahi, seorang akan mengalami perubahan yang signifikan dalam hidupnya. Ia akan merasakan kedamaian batin, keikhlasan, dan ketulusan dalam menjalankan ibadah.


قلت لك: نعم المحبة آخذة من الله تعالى قلب من أحب بما يكشف له من نور جماله وقدس, كمال جلاله. و شراب المحبة مزج الأوصاف بالأوصاف والأخلاق بالأخلاق والأنوار بالأنوار والأسماء بالأسماء والنعوت بالنعوت والأفعال بالأفعال ويتسع فيه النظر لمن شاء الله عز وجل. والشرب سقى القلوب والأوصال والعروق من هذا الشراب حتى يسكر، ويكون الشرب, بالتدريب بعد التذويب والتهذيب فيسقى كل على قدره.


Artinya, "Saya katakan padamu: Ya, cinta adalah anugerah dari Allah Yang Maha Tinggi kepada hati orang yang dicintai, yang diungkapkan kepada mereka melalui cahaya keindahan-Nya dan kemuliaan kesempurnaan keagungan-Nya.


Dan minuman cinta adalah mencampurkan sifat-sifat dengan sifat-sifat, akhlak dengan akhlak, cahaya dengan cahaya, nama dengan nama, sifat dengan sifat, dan tindakan dengan tindakan. Dalam hal ini, pandangan menjadi luas bagi siapa pun yang dikehendaki oleh Allah Yang Maha Tinggi. Minuman ini menyirami hati, anggota tubuh, dan pembuluh darah dengan minuman ini hingga mereka mabuk. Minum ini, dilakukan melalui latihan setelah pemurnian dan pembentukan, sehingga setiap orang diberi minum sesuai dengan kadar mereka." (hlm. 61).
 

Menurut Ibnu Athaillah, cinta adalah, "minuman yang paling manis", yang bila seorang salik meminumnya ia akan mendapatkan karunia dari Allah. Minuman manis, melambangkan karunia dan nikmat Allah yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang tekun dalam menjalankan ajaran tarekat. Rasa manis ini merujuk pada kebahagiaan dan ketenangan batin yang dihasilkan dari hubungan yang harmonis dengan Allah. 


Proses mendapatkan minuman cinta ini tidaklah instan; ia memerlukan latihan dan penyucian diri. Melalui berbagai praktik spiritual, seperti dzikir dan mujahadah, seseorang akan dibimbing untuk merasakan cinta Allah dalam hidupnya. Minuman ini akan menyirami hati dan jiwa, memberi kehidupan pada setiap aspek keberadaan mereka. 


Selanjutnya, selain mahabbah, salah satu ajaran tarekat Syadziliyah adalah hizb-hizb (doa-doa) yang dirumuskan oleh Imam Syadzili dan penerusnya. Contoh hizb dalam tarekat ini adalah Hizb al-Bahr, Hizb an-Nashr, dan Hizb al-Barr. Kumpulan doa ini digunakan oleh para pengikut untuk memohon perlindungan dan bantuan dari Allah.


Dalam Tarekat Syadziliyah, hizb berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan murid dengan kekuatan ilahi. Tarekat ini menyediakan berbagai jenis hizb dengan fungsi dan tujuan yang berbeda, seperti untuk perlindungan, meraih keberkahan, atau meningkatkan spiritualitas (hlm. 189).


Peran mursyid sangat penting dalam memilih hizb yang tepat bagi setiap murid, dengan mempertimbangkan kondisi spiritual dan mental mereka, serta tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Dengan cara ini, setiap murid mendapatkan hizb yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan spiritual mereka.


Salah satu hizb yang terkenal dalam Tarekat Syadziliyah adalah Hizb al-Bahr. Hizb ini memiliki keutamaan memberikan perlindungan dari berbagai bahaya, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Wirid ini sangat dianjurkan untuk dibaca dalam situasi darurat dan krisis. 


Hizb al-Bahr disusun oleh Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili saat ia dan para pengikutnya menghadapi badai besar dalam perjalanan di laut. Ketika doa ini dibaca, badai yang menerjang mereda, menjadikan hizb ini simbol perlindungan dan keselamatan bagi para pengamal Tarekat Syadziliyah. Sejak saat itu, Hizb al-Bahr terus dipraktikkan oleh banyak orang yang ingin mendapatkan perlindungan dan ketenangan dalam menghadapi tantangan hidup.


Selain itu, ada juga Hizb an-Nashr, salah satu wirid dalam Tarekat Syadziliyah dan memiliki arti "Hizb Pertolongan". Wirid ini diamalkan sebagai bentuk ikhtiar untuk memohon pertolongan kepada Allah SWT. Di dalamnya terdapat doa dan permohonan agar Allah memberikan solusi atas setiap kesulitan yang dihadapi serta melindungi pengamalnya dari berbagai bahaya.


Hizb ini sering kali dibaca dalam situasi-situasi khusus, seperti saat menghadapi ujian yang berat, kebingungan, atau ketika seseorang memerlukan kekuatan dan keberanian untuk menghadapi tantangan. Melalui Hizb an-Nashr, pengamal berusaha mendekatkan diri kepada Allah agar mendapatkan pertolongan dan perlindungan yang dibutuhkan dalam setiap situasi sulit.


Dengan demikian, Kitab Lathaiful Minan salah satu karya monumental yang mengungkap ajaran dan pandangan spiritual Tarekat Syadziliyah, sebuah tarekat sufi yang didirikan oleh Imam Abu Hasan Asy-Syadzili. Kitab ini ditulis oleh Ibnu Atha'illah As-Sakandari, seorang murid sekaligus penerus ajaran dari pendiri tarekat tersebut. 


Dalam kitab ini, Ibnu Atha’illah menjelaskan berbagai dimensi tasawuf yang diajarkan oleh Imam Asy-Syadzili dan menunjukkan bagaimana tarekat ini memberikan panduan untuk mencapai puncak kesempurnaan spiritual. Lebih jauh lagi, Ibnu Atha'illah juga menuliskan berbagai kisah karomah dan keutamaan Imam Asy-Syadzili, menunjukkan kebersihan hati serta maqam spiritual yang beliau capai (hlm. 69).


Meskipun kitab ini ditulis berabad-abad yang lalu, ajaran dalam Lathaiful Minan tetap relevan untuk diterapkan hingga era sekarang ini. Sejatinya, kitab ini menjadi panduan bagi siapa saja yang ingin mendalami tasawuf dengan landasan yang kuat dari Tarekat Syadziliyah.

 


Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, tinggal di Parung