Maqoshid Syariah dalam Pergumulan Politik; Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga
Rabu, 28 Februari 2007 | 05:32 WIB
Penulis : Yudian Wahyudi, Penerbit : Nawesea Yogyakarta, Cetakan : 1, Januari 2007, Tebal : 108 halaman, Peresensi : Muhammadun AS*
Dalam studi keislaman (islamic studies) kontemporer, agama (Islam) bukan sekedar menjadi dilihat pada normativitas ajarannya, tetapi juga dilihat pada spirit historisitas keilmuannya. Agama, secara normatif, hanya menjadi doktrin yang membelenggu nalar kritis pemeluknya. Sementara dalam spirit historisitasnya, agama tidak lagi taken for granted, tetapi mampu tampil sebagai sumber inspirasi kehidupan, sumber spirit kritik sosial, dan sumber membangun kebudayaan dan peradaban. Untuk itu, nalar keberagamaan dalam islamic studies selalu menempatkan agama dalam normativitas dan historisitas sekaligus. Sehingga, agama selain menjadi basis ritualitas pemeluknya, juga menjadi pijakan dalam melakukan revolusi kebudayaan dan peradaban.
<>Salah satu perangkat untuk mensukseskan agenda islamic studies kontemporer tersebut adalah melakukan tafsir ulang terhadap nalar syariah Islam. Dalam buku terbarunya ini, Yudian Wahyudi secara simbolis membuka kerangka berfikir kita lewat refleksi berfilsafat hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga. Simbol Harvard menunjukkan bahwa hukum Islam berkembang bukan hanya di Timur Tengah saja, justru di Barat, khususnya di Harvard, studi hukum Islam mengalami perkembangan pesat. Di Harvard, hukum Islam ditelaah secara kritis dengan perangkat berbagai ilmu filsafat dan sosial humaniora. Begitu gemuruhnya Islamic studies di Barat, tidak salah kemudian kalau Muhammad Abduh justru melihat Islam di Barat, walaupun tidak ada Muslimnya.
Sementara simbol Sunan Kalijaga membuktikan bahwa hukum Islam yang hadir di Jawa, khususnya yang diimplementasikan Sunan Kalijaga, terbukti mampu mengisi ruang kebudayaan dan peradaban secara sinergis. Sunan Kalijaga melihat syariah (hukum Islam) merupakan spirit keberagamaan, bukan ajaran yang taken for granted. Sunan Kalijaga, walaupun waktu itu memegang kuasa di Demak, tidak memaksakan ajaran agama secara formal kepada masyarakat, tetapi ajaran agama disinergikan dengan kebudayaan lokal. Sehingga agama mudah diterima masyarakat, dan masyarakatpun kemudian mempunyai rasa kepemilikan kuat terhadap agamanya.
Dengan kedua simbol tersebut, Yudian yang sekarang menjadi dosen filsafat hukum Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, kemudian menampilkan maqoshid syariah sebagai metode berfikir di era kontemporer. Maqoshid syariah merupakan teori berfikir yang menempatkan kemaslahatan publik sebagai esensi syariah agama. Dalam maqoshid syariah, hukum Islam harus menjaga agama, akal, harta, jiwa, keturunan dan harga diri. Kelima hal ini menjadi prioritas diimplementasikannya syariah Islam dalam segala waktu dan tempat. Makanya, dengan maqoshid syariah, kita akan mempu menggabungkan spirit islamic studies yang dilakukan Sunan Kalijaga dan Harvard. Terlebih diera kontemporer yang begitu bergemuruh dengan tantangan di Indonesia, maqoshid syariah bisa dijadikan alternatif paling strategis untuk membangunkan pola berfikir dan beragama (Islam) di Indonesia. Karena kita tahu, masyarakat (Islam) Indonesia yang religius lebih mudah membuka perubahan lewat jalur agama, bukan filsafat dan ilmu sosial humaniora.
Maqoshid syariah sendiri merupakan teori yang pertama kali dikemukakan oleh Umar bin Khattab. Al-Ghazali, melalui bimbingan l-Juwaini, mengembangkan teori ini.Di tangan al-Syatibi, teori ini terkenal di seluruh dunia Islam. Di zaman modern, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho di Mesir, juga al-Maududi di India (kemdian Pakistan), mendorong agar umat Islam mengkaji al-Muwafaqot al-Syatibi, yang mengulas konsep maqoshid syariah agak mendalam. Sejumlah pembaharu Islam Indonesia, melalui Abduh dan Ridho, memperkenalkan teori ini. Sayangnya, usaha mereka tidak lebih dari sekedar mengulang-ulang pendapat al-Syatibi. Mereka memahami maqoshid syariah lebih sebagai doktrin dengan contoh-contoh lama. Menjadikan maqoshid syariah sebagai metode sama sekali tidak terbayang dalam pikiran mereka. Jadi, bisa dimengerti ketika usul fiqh, khususnya konsep maqoshid syariah, tidak pernah dibawa-bawa dalam pembangunan kurikulum pendidikan agama (hal. 26-27).
Dalam wacana implementatif, maqoshid syariah merupakan dasar berfikir umat Islam menggapi kemajuan peradaban. Pertanyaan yang terus mengemuka dewasa ini, mengapa umat Islam mundur sedangkan orang lain maju? Dapat dijawab dengan singkat. Umat Islam mundur karena dan muslim pada tingkat akidah, tetapi hampir “kafir alamiah”, hampir tidak pernah menjadikan hukum alam sebagai bagian keimanan dan keislaman mereka. Orang lain, katakanlah Amerika Serikat, maju karena mukmin dan muslim alamiah dan insaniah. Mereka melaksanakan bagian terbesar hukum Allah, sedangkan kita hanya melaksanakan sebagian kecil saja (hal. 24).
Dalam konsep maqoshid syariah, hukum Islam bersifat ilahi tetapi sekaligus wad’i (manusiawi; “positif”; sekuler). Pelibatan manusia kedalam hukum Islam disimbolkan dengan pengangkatan manusia sebagai khalifah (wakil Allah) dimuka bumi. Setiap upaya penafsiran dan pemahaman al-Quran sebagai sumber utama hukum Islam selalu melibatkan unsur kemanusiaan. Umat Islam tidak akan maju kalau tafsirnya atas kehidupan hanya berdasarkan ajaran agama yang telah ada selama ini, tanpa melibatkan aspek hokum kemanusiaan dan kealaman. Dan Barat (AS), mampu tampil digarda depan era kontemporer, karena mereka menguasai secara kritis berbagai hukum manusiawi dan alami.
Buku ini merekomendasikan agar nalar syariah Islam era kontemporer terus menggali kerangka berfikir para ulama dari pada doktrin pemikiran yang dihasilkan. Kalau masih terkungkung doktrin pemikiran, apalagi jika terkungkung dengan pola ritualitas agama yang beku, maka umat Islam akan kehilangan elan vitalnya sebagai agen revolusi peradaban sebagaimana yang dijalankan para pendahulu. Untuk itu, Indonesia yang oleh almarhum Fazrul Rahman memiliki potensi besar bangkitnya pemikiran keislaman, sangat tepat dijadikan locus penelitian dan pengkajian hukum Islam kontemporer. Dengan nalar syariah Islam yang kritis kita bisa meneropong Indonesia. Dan dari Indonesia kita bisa meneropong dunia Islam secara komprehensif.
*Penulis adalah Staf Pengajar Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari Yogyakarta.