Penulis: Zudi Setiawan
Penerbit: CV Aneka Ilmu, Semarang
Cetakan: September, 2007
Tebal: xviii +334 halaman
Peresensi: Titik Suryani
Kajian tentang Nahdlatul Ulama (NU) seakan tiada pernah ada habisnya. Entah berapa buku yang sudah diterbitkan. Para cerdik pandai dari dalam maupun luar negeri mengkaji NU dari berbagai segi dan dimensinya. Sebagai organisasi kemasyarakatab Islam terbesar di Indonesia atau bahkan di dunia, tentu banyak sisi yang menarik dan patut untuk dikaji secara mendalam. Dan, hal itu absah saja dalam dunia akademis. Di antara yang menarik itu adalah dimensi politik NU, mengingat peran NU yang cukup besar dalam kancah perpolitikan nasional.<>
Sejak awal berdiri, NU memainkan peran politik yang khas dan mengesankan. Politik NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan (nasionalisme). Kenyataan demikian setidaknya dapat dilihat dari Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Saat itu, NU menetapkan bahwa daerah Jawa, yang masih dikuasai pemerintah Hindia Belanda, adalah dar al-Islam (negeri muslim). Karena itu, wajib dilindungi dan dipertahankan siapa pun penghuni negeri ini, termasuk umat muslim.
Spirit kebangsaan NU seperti di atas mengacu pada kenyataan sejarah dan budaya Nusantara. Paham demikian, dengan sendirinya, menyiratkan semangat menghargai tradisi, pluralitas budaya, dan martabat manusia sebagai mahluk berbudaya. Dalam perspektif kebangsaan semacam ini, lokalitas mendapatkan tempat terhormat, yang dalam nasionalisme Eropa cenderung tergeser, bahkan tersisihkan ke batas akhir kepunahan atas nama modernitas.
Berpijak pada kenyataan seperti di atas itulah, buku Nasionalisme NU ini menjadi wacana yang amat faktual. Di tengah derasnya arus syariatisme akhir-akhir ini menggelitik Zudi Setiawan untuk menulis sebuah laporan praksis kebangsaan dan keagamaan NU. Munculnya beberapa ormas Islam yang berupaya memformalkan syariat Islam sebagai dasar negara dirasa cukup meresahkan. Jika tidak diatasi, bukan mustahil, akan bermuara pada lunturnya nasionalisme Indonesia.
Memang, buku Nasionalisme NU, pada mulanya, adalah buah skripsi Zudi pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah. Namun, sebagai langkah awal, jelas buku ini luar biasa. Ketebalan halaman menyiratkan begitu gigihnya Zudi dalam menggarap buku ini. Seperti dipaparkan dalam pengantarnya, menulis tentang NU merupakan impian Zudi sejak berkenalan dengan buku-buku tentang NU. Dan, dengan menggulirkan wacana nasionalisme menjadikan buku ini cukup menarik untuk dikaji.
Jauh sebelum Indonesia medeka, spirit nasionalisme telah melekat erat pada citra diri NU. Pada Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984, misalnya, NU telah menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 adalah bentuk final perjuangan umat Islam. Karenanya, tidak diperlukan lagi bentuk negara apa pun dalam negeri ini, meski itu negara Islam. Dan, ketika negara otoriter Orde Baru berusaha memecah-belah kekuatan rakyat dan membatasi berbagai kelompok agama, etnis, dan ras tertentu, NU tampil gigih sebagai pembela rakyat tertindas dan kelompok-kelompok minoritas. Inilah yang dikatakan Daniel Dhakidae pada medio 1990-an, NU adalah "the last bastion of civil society", benteng terakhir masyarakat sipil dalam menghadapi negara.
Dari sini, tampak jelas kecintaan dan pembelaan NU terhadap NKRI cukup besar. Perjalanan NU yang bermula dari sebuah kelompok kajian pencerahan Tashwirul Afkar (1914), kemudian berkembang menjadi Nahdlatut Tujjar (1916), Nahdlatul Wathan (1924), sampai akhirnya menjadi NU (1926), hakikatnya pun tidak pernah terlepas dari spirit nasionalisme itu. Sepanjang usianya, NU selalu mengembangkan mainstream ke-Indonesia-an yang dijiwai semangat ke-Islam-an yang inklusif dan kultural.
Apalagi, pada era reformasi ini, NU telah benar-benar menjadi hati nurani bangsa. Pada saat warga bangsa banyak yang gila harta, jabatan, dan kekuasaan, NU tampil dengan pesan-pesan moralitas politiknya. Kasus Muktamar NU ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, merupakan salah satu kepedulian NU terhadap demokratisasi bangsa dan negara, di mana sepanjang sejarah era Orde Baru, belum ada satu ormas yang menggelar Muktamar (kongres) sedemokratis NU. Begitu pula dengan kondisi pasca-Muktamar dengan munculnya KPPNU di bawah pimpinan KH Hamid Baidlawi dan H Abu Hasan. Saat itu, NU tampil sebagai satu-satunya ormas di negeri ini yang bergeming dengan provokasi eksternal yang menghalalkan segala cara demi tercapainya ambisi kekuasaan.
Dengan demikian, buku Nasionalisme NU karya Zudi Setiawan ini menjadi semakin jelas arahnya. Helai demi helai halamannya dipenuhi data-data yang akurat. Dengan analisanya yang tajam, Zudi menyuguhkan informasi yang begitu detil dan komprehensif seputar hubungan agama dan negara lengkap dengan landasan paradigmatiknya. Meski hasil skripsi, menurut Wakil Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Tengah, Prof Dr Mudjahirin Thohir, MA, dalam epilognya, pada buku ini setidaknya terdapat kelebihan tersendiri.
Data-datanya cukup bisa dipertanggungjawabkan karena tidak semata-mata berasal dari bacaan penulis. Data pun berasal dari wawancara dengan sejumlah tokoh NU yang mempunyai otoritas di bidangnya. Di samping itu, penulisan buku ini dikawal dua orang yang sangat memadai. Mereka adalah Drs Muhammad Adnan MA, pakar Ilmu Politik serta ketua PWNU Jawa Tengah dan Nur Hidayat Sardini, SSos, MSi, dikenal sebagai ilmuwan yang vokal dan tegas pendirian. Walhasil, data dan uraian dalam buku ini secara substantif terjaga validitasnya dan secara metodologik terkendali penalaran dan obyektifitasnya. Selamat membaca.
Peresensi adalah Mahasiswi Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya