Pustaka

Mengenal Kitab Qutul Qulub: Panduan Jiwa menuju Cahaya Ilahi

Kamis, 26 September 2024 | 15:00 WIB

Mengenal Kitab Qutul Qulub: Panduan Jiwa menuju Cahaya Ilahi

Kitab Qutul Qulub. (Foto: NU Online)

'Cinta adalah mahkota tertinggi bagi jiwa-jiwa yang tenggelam dalam samudra makrifat. Ia adalah lentera yang dipilihkan oleh Sang Maha Kasih untuk menerangi kalbu-kalbu yang tulus dalam keikhlasan. Di sanalah, pada puncak keheningan dan keagungan, cinta menjadi permata kemuliaan yang tak terhingga nilainya'.

(Abu Thalib al-Makki ​​​​​​)


Kata cinta itu, atau yang dalam dunia sufi dikenal sebagai al-mahabbah, adalah istilah yang diungkapkan oleh Abu Thalib al-Makki dalam karyanya yang agung, Qutul Qulub. Karya ini lahir dari kedalaman hati seorang sufi yang telah menyelami lautan hakikat ilahi, menyampaikan pesan-pesan spiritual yang penuh makna dan keindahan. 


Abu Thalib al-Makki hidup pada abad ke-3 Hijriah di sebuah desa kecil dekat Baghdad, tempat di mana cahaya cinta ilahi terpancar dan menerangi jiwanya, mengilhami setiap kata yang tertuang dalam tulisannya.


Bagi sufi, sekaligus guru Imam Ghazali ini, cinta Ilahi ibarat air, yang mampu memadamkan api amarah azab yang pedih. Ketika Allah mencintai seorang hamba, katanya, segala dosa akan sirna dan menjadi bayangan yang tak berbahaya.  Dengan mengutip sabda Nabi, ia mengatakan Allah mencintai mereka yang kembali kepada-Nya dan yang menyucikan diri. Ini adalah janji kasih sayang yang tak terhingga, di mana pengampunan dosa merupakan kunci untuk meraih cinta-Nya.


Lebih jauh lagi, kendati setiap orang yang beriman pasti mencintai Allah, tetapi tingkat cinta itu berbeda-beda tergantung pada kadar iman masing-masing. Setiap orang memiliki tingkat cinta yang berbeda sesuai dengan jenis cinta terhadap yang dicintai. Cinta ini juga dipengaruhi oleh seberapa besar seseorang merasakan kehadiran dan manifestasi sifat-sifat Allah. Tanda dari cinta tersebut terlihat dari respons mereka melalui tauhid, mematuhi perintah Allah, dan menerima hukum-hukum (syariat) Allah.


كل مؤمن بالله فهو محب لله، ولكن محبته على قدر إيمانه، وكشف مشاهدته وتجلي المحبوب له على وصف من أوصافه، دليل ذلك استجابتهم له بالتوحيد والتزام أمره وتسليم حكمه، ثم تفاوتهم في مشاهدات التوحيد، وفي دوام الالتزام للأوامر وفي تسليم الأحكام، فليس ذلك يكون إلا عن محبة، وإنّ تفاوت المحبون على حسب أقسامهم من المحبوب، وليس يقصر عن المحبة صغير كما لا يصغر عن المعرفة من عرف، ولا يكبر عن التوبة كبير ولو كان على كل العلوم قد أوقف، لأنّ الله تعالى وصف المؤمنين بشدة الحبّ له


Artinya: "Setiap orang yang beriman kepada Allah adalah orang yang mencintai-Nya, tetapi cinta kepada Allah itu sesuai dengan kadar imannya. Kecintaan tersebut juga tergantung pada seberapa banyak ia merasakan kehadiran dan manifestasi yang dicintai-Nya berdasarkan sifat-sifat-Nya. Bukti dari hal ini adalah respons mereka terhadap-Nya dengan tauhid, mematuhi perintah Allah, dan menerima syariat Allah. Namun, terdapat perbedaan di antara mereka dalam penghayatan tauhid, konsistensi dalam mematuhi perintah, dan penerimaan hukum-hukum Allah. Hal ini hanya mungkin terjadi karena cinta. Dan tingkat kecintaan seseorang berbeda-beda tergantung pada jenis kecintaan mereka terhadap yang dicintai. Tidak ada yang terlalu kecil untuk dicintai, sama seperti tidak ada yang terlalu kecil untuk dikenali oleh orang yang mengetahui. Dan tidak ada yang terlalu besar untuk bertobat, meskipun ia memiliki pengetahuan yang luas, karena Allah Ta'ala menggambarkan para mukmin dengan cinta yang mendalam kepada-Nya." [Qutul Qulub, halaman 83]


Menyelami Qutul Qulub

Salah satu keistimewaan dari Qutul Qulub adalah gaya penulisannya yang indah dan penuh hikmah. Imam Abu Thalib al-Makki menggunakan bahasa yang puitis dan penuh dengan nasihat yang mudah dipahami oleh pembaca dari berbagai kalangan. Beliau seringkali menyisipkan ayat-ayat Al-Qur'an, hadits Nabi, kisah-kisah para nabi, sahabat, dan orang-orang saleh sebagai ilustrasi untuk menjelaskan konsep-konsep tasawuf yang rumit.


Kitab ini sangat berpengaruh dalam dunia tasawuf dan sering dijadikan rujukan oleh para ulama tasawuf setelahnya, termasuk Imam Al-Ghazali dalam karyanya yang terkenal, Ihya’ Ulumuddin. Banyak bagian dari Qutul Qulub yang diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut oleh Imam Al-Ghazali, terutama dalam pembahasan tentang hati dan jiwa manusia. Oleh karena itu, kitab ini dianggap sebagai salah satu sumber penting dalam literatur tasawuf klasik.


Imam Abu Thalib al-Makki membagi kitab Qutul Qulub ke dalam 2 Jilid, dan terdiri dari 48 bab, yang masing-masing membahas tentang aspek-aspek tertentu dari perjalanan spiritual seorang murid. Bab-bab tersebut antara lain mencakup pembahasan tentang tauhid, iman, niat, sabar, syukur, cinta kepada Allah, dan lain sebagainya. Setiap bab disusun dengan sangat sistematis dan terperinci, sehingga memudahkan pembaca untuk memahami dan menghayati isinya.


Salah satu tema utama dalam Qutul Qulub adalah pentingnya ikhlas. Imam Abu Thalib al-Makki menekankan bahwa setiap amal ibadah yang dilakukan tanpa keikhlasan hanya akan menjadi sia-sia di hadapan Allah. Oleh karena itu, seorang murid harus senantiasa memperbaiki niatnya sebelum melakukan amal ibadah, agar ibadah tersebut diterima dan memberikan manfaat secara spiritual.


Sejatinya, ajaran ikhlas ini merupakan bagian dari konsep ridha. Konsep ridha ini dijelaskan di jilid II, halaman 62, bahwa ketika seorang hamba mencapai maqam (posisi) ridha kepada Allah swt, ia seolah telah menemukan permata tersembunyi dari lautan keyakinan. Di sanalah terletak kebesaran jiwa yang tunduk sepenuhnya kepada setiap ketetapan Allah, menerima dengan hati lapang apa pun yang digariskan oleh takdir. 


Ridha, menurut Abu Thalib Al-Makki, adalah sebuah kondisi jiwa yang menemukan ketenangan dan kebahagiaan dalam setiap ketetapan Allah, tanpa mengeluh atau merasa kecewa. Ini bukan sekadar penerimaan takdir, melainkan sebuah penerimaan yang tulus dari hati yang tenang dan penuh cinta. Ridha adalah ketenangan yang terbungkus dalam kasih sayang Ilahi, mencerminkan pemahaman yang dalam akan keagungan Allah. 


Hal ini seperti yang dinyatakan Allah dalam Surat Ar-Rahman ayat 60:


هَلْ جَزَاءُ الإحْسَانِ إلاّ الإحْسَانُ


Artinya: “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula),”. 


Allah menjanjikan balasan berupa kebaikan bagi siapa pun yang hatinya ridha kepada ketetapan Ilahi. Seorang hamba yang ridha, maka ia telah menggapai puncak kedamaian jiwa, sehingga balasan yang akan terima dari Allah, adalah berupa ridha [cinta] Ilahi yang penuh keberkahan.


Tak salah kemudian, ketika para sufi mengatakan bahwa maqam ridha ini adalah tempat tertinggi dalam perjalanan ruhani, yang melampaui segala kenikmatan dunia dan surga. Dalam Al-Qur'an surat Taubah ayat 100, Allah menggambarkan keindahan hubungan antara hamba yang ridha pada Allah: 


رَضِيَ الله عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ


Artinya: “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya” 


Rasa ridha dari Allah kepada hamba adalah puncak dari cinta ilahi, sebuah keadaan tak ada kebahagiaan yang lebih tinggi bagi seorang hamba. Ketika Allah meridhai seseorang, itu berarti hamba tersebut telah melewati segala ujian cinta dan pengabdian dengan penuh ketulusan, sehingga jiwanya dipenuhi cahaya kasih sayang dan rahmat dari Sang Pencipta. 


Lebih jauh lagi, balasan bagi orang yang mendapatkan ridha Allah adalah surga 'Adn, tempat keabadian yang penuh dengan keindahan dan kemuliaan. Tingkatan surga yang tinggi, yang disediakan bagi orang yang mendapatkan ridha Ilahi. 


الرضا عن الله سبحانه وتعالى من أعلى مقامات اليقين بالله، وقد قال تعالى: (هَلْ جَزَاءُ الإحْسَانِ إلاّ الإحْسَانُ) الرحمن: ٦٠، فمن أحسن الرضا عن الله جازاه الله بالرضا عنه، فقابل الرضا بالرضا، وهذا غاية الجزاء ونهاية العطاء، وهو قوله عزّ وجلّ: (رَضِيَ الله عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ) التوبة١٠٠ وقد رفع الله الرضا على جنات عدن، وهي من أعلى الجنات، 


Artinya: "Ridha kepada Allah swt adalah salah satu derajat tertinggi dari keyakinan kepada-Nya. Allah Ta'ala berfirman: "Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)" (Surah Ar-Rahman: 60). Maka barangsiapa yang berbuat baik dalam ridha kepada Allah, Allah akan membalasnya dengan ridha-Nya. Dia membalas ridha dengan ridha, dan ini adalah balasan tertinggi dan pemberian terbesar, sebagaimana firman-Nya: "Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya" (Surah At-Taubah: 100). Allah telah meninggikan kedudukan ridha di atas surga 'Adn, yang merupakan salah satu surga tertinggi."


Selanjutnya, Kitab Qutul Qulub juga membahas tentang konsep zuhud, yaitu sikap melepaskan diri dari kecintaan terhadap dunia dan segala gemerlapnya. Menurut Imam Abu Thalib al-Makki, zuhud bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, tetapi lebih kepada sikap hati yang tidak terpikat oleh harta, kedudukan, dan kenikmatan duniawi. Beliau menjelaskan bahwa zuhud merupakan salah satu jalan yang harus ditempuh oleh seorang murid untuk mencapai kedekatan dengan Allah.


أيّ شيء هو ليس يمكن عبد أن يعرف الزهد حتى يعرف الدنيا أيّ شيء هي، فقد قال الناس في الزهد أشياء كثيرة ونحن غير محتاجين إلى ذكر أقوالهم بما بيّن الله تعالى وأغنى بكتابه الذي جعل فيه الشفاء والغنى


Artinya: "Apapun itu, seorang hamba tidak akan dapat memahami zuhud sampai ia mengetahui apa itu dunia. Manusia telah mengatakan banyak hal tentang zuhud, namun kita tidak membutuhkan penjelasan mereka, karena Allah Ta'ala telah menjelaskannya dan mencukupkan kita dengan Kitab-Nya yang di dalamnya terdapat kesembuhan dan kecukupan." [Qutul Qulub, Jilid 1 halaman 409]


Dzikir Sebagai Lampu Penerang Hati


Pada sisi ain, Imam Abu Thalib al-Makki juga menguraikan tentang berbagai rintangan dan godaan yang mungkin dihadapi oleh seorang murid dalam perjalanan spiritualnya. Pada Jilid 1, halaman 199, misalnya, ia menyebutkan bahwa godaan terbesar yang dihadapi oleh seorang murid adalah hawa nafsu dan bisikan setan. Oleh karena itu, beliau memberikan berbagai nasihat tentang cara-cara untuk mengatasi godaan tersebut, seperti melalui zikir, doa, dan memperbanyak ibadah sunnah.


روينا عن أبي سعيد الخدري وأبي كبشة الأنماري وبعضه أيضاً عن حذيفة عن رسول اللَّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: القلوب أربعة، قلب فيه سراج يزهر فذلك قلب المؤمن، وقلب أسود منكوس فذلك قلب الكافر، وقلب أغلف مربوط على غلافه فذلك قلب المنافق وقلب مصفح فيه إيمان ونفاق فمثل الإيمان فيه مثل البقلة يمدها الماء الطيب ومثل النفاق فيه كمثل القرحة يمدها القيح والصديد، فأي المدتين غلبت عليه حكم له بها، وفي لفظ بعضهم: غلبت عليه ذهبت به، 


Artinya: "Diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri, Abu Kabsyah Al-Anmari, dan juga dari Hudzaifah, bahwa Rasulullah saw bersabda: 'Hati itu ada empat jenis. Pertama, hati yang di dalamnya terdapat lampu yang bersinar, itulah hati orang beriman. Kedua, hati yang hitam dan terbalik, itulah hati orang kafir. Ketiga, hati yang tertutup rapat, itulah hati orang munafik. Keempat, hati yang bercampur antara iman dan nifaq; di dalamnya iman seperti sayuran yang disirami dengan air yang baik, sedangkan nifaq seperti luka yang digenangi nanah dan kotoran. Maka, siapa pun di antara dua keadaan tersebut yang lebih dominan, maka dia akan dinilai berdasarkan itu.' Dalam redaksi yang lain disebutkan: 'Yang lebih dominan akan membawanya pergi."


Untuk mendapatkan hati yang bersinar, maka Imam Abu Thalib Al-Makki, mengajarkan pentingnya zikir dan doa dalam kehidupan seorang murid. Pasalnya, zikir merupakan salah satu cara paling efektif untuk membersihkan hati dari berbagai penyakit hati, seperti riya, hasad, dan takabbur. Beliau menyarankan agar seorang murid senantiasa berzikir dan berdoa kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun susah, agar hatinya selalu terhubung dengan Allah.


Untuk menggapai tingkatan hati yang pertama, hati yang bersinar, Imam Abu Thalib Al-Makki mengajarkan zikir dan doa yang bisa diamalkan seorang murid. Dengan demikian, hati murid tersebut akan selalu terhubung dengan Allah, memudahkan mereka untuk selalu ingat dan berserah diri kepada-Nya dalam setiap keadaan.


Dalam kitab ini, Abu Thalib Al-Makki, mencantumkan bacaan zikir harian yang bisa dibaca seorang murid. Seperti bacaan bangun tidur, ia menulis:


الْمُلْكُ لِلَّهِ، وَالْعَظَمَةُ لِلَّهِ، وَالسُّلْطَانُ لِلَّهِ، وَالْبَهَاءُ لِلَّهِ، وَالْقُدْرَةُ لِلَّهِ، وَالْعِزَّةُ لِلَّهِ، وَالتَّسْبِيحُ لِلَّهِ، أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ، وَكَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ، وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا، وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ، الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا، وَإِلَيْهِ النُّشُورُ.


Artinya: "Kerajaan hanya milik Allah, keagungan hanya milik Allah, kekuasaan hanya milik Allah, keindahan hanya milik Allah, kekuatan hanya milik Allah, kemuliaan hanya milik Allah, dan tasbih (pujian) hanya untuk Allah. Kami memulai pagi ini di atas fitrah Islam, dengan kalimat ikhlas, di atas agama Nabi kami Muhammad, dan di atas millah (agama) ayah kami, Ibrahim, yang lurus dan tidak termasuk orang-orang yang musyrik. Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nyalah tempat kembali." [halaman 63]


Selanjutnya, pada Bab 15 jilid 1 halaman 77, Syekh Abu Thalib Al-Makki mengajarkan amalan tasbih yang dipercaya dapat melembutkan hati. Bacaan tasbih ini mengandung pujian kepada Allah dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang agung, seperti Maha Tinggi, Maha Menghitung, dan Maha Kuat. Dalam tasbih ini, Allah juga dipuji sebagai Tuhan yang mengatur pergantian malam dan siang serta sebagai Tuhan yang tidak pernah terganggu oleh berbagai urusan.


سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَلِيِّ الْدَّيَّانِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الشَّدِيدِ الْأَرْكَانِ، سُبْحَانَ مَنْ يَذْهَبُ بِاللَّيْلِ وَيَأْتِي بِالنَّهَارِ، سُبْحَانَ مَنْ لَا يُشْغِلُهُ شَأْنٌ عَنْ شَأْنٍ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْحَنَّانِ، الْمَنَّانِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْمُسَبِّحِ فِي كُلِّ مَكَانٍ.


Artinya: "Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Menghitung, Maha Suci Allah Yang Maha Kuat dan Kokoh, Maha Suci Dia yang menghilangkan malam dan mendatangkan siang, Maha Suci Dia yang tidak ada satu urusan pun yang menyibukkan-Nya dari urusan yang lain, Maha Suci Allah Yang Maha Pengasih, Maha Pemberi Anugerah, Maha Suci Allah yang disucikan di setiap tempat."


Sebagai penutup, kitab Qutul Qulub merupakan salah satu karya besar dalam dunia tasawuf yang memberikan panduan lengkap tentang perjalanan spiritual seorang murid menuju maqam tauhid. Kitab ini tidak hanya membahas tentang teori-teori tasawuf, tetapi juga memberikan berbagai nasihat praktis yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, Qutul Qulub layak dijadikan sebagai rujukan utama bagi siapa saja yang ingin mendalami dunia tasawuf dan mendekatkan diri kepada Allah.


Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Parung