Begitu banyak
krisis di negara tercinta ini, termasuk krisis moral. Masih hangat di telinga, berita
pemukulan kiai di salah satu pondok pesantren di bilangan kota Bandung belum
lama ini. Entah, apa modus dari tragedi di atas. Yang jelas, hemat saya, ini
adalah bukti bahwa moral kita tengah berada pada status mengkhawatirkan. Kita
sudah lupa betapa sakralnya kiai dan guru dalam kehidupan. Kita mungkin sudah
luput dari pepatah Sahabat Ali r.a, “Bahwa
aku adalah hamba dari orang yang mengajariku satu huruf sekalipun.”
Belum lagi,
akhir-akhir ini kita disibukan oleh beragam ceramah kiai yang dalam mimbarnya
terbiasa berkata: “kafir dan sesat”. Kita disuguhkan pemandangan agama yang
keras dan kaku. Islam tak lagi menjelma agama yang ramah tapi marah. Sebab itu,
mengkaji ulang makna kiai menjadi keharusan di era milenial semacam ini. Lantaran
kiai ada dua: kiai dunia dan kiai akhirat. Mana kiai yang sungguhan dan kiai
yang penuh kepalsuan. Kita bisa saksikan banyak kiai-kiai bermunculan bak jamur
di musim penghujan. Sayangnya, mereka sekadar mencari popularitas dan massa.
Kendati begitu, tak bisa dipungkiri sosok kiai masih menjadi sumur moral bagi
masyarakat hingga kini. Sumber berkah dan doa.
Mencari figur
kiai yang luhur saat ini, ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Sulit
sekali. Namun, keresahan itu agaknya mulai berkurang, setelah membaca buku gubahan
KH. Aziz Masyhuri, dalam buku yang berjudul 99
Kiai Kharismatik Indonesia, kita diajak kembali membuka khazanah klasik
yang mewah dan wah! Pun kiai-kiai yang ditampilkan dalam buku ini bukan saja
kiai yang sekadar pengasuh pondok pesantren semata, melainkan lebih dari itu,
mereka adalah seorang kiai sekaligus pejuang yang gigih serta pemikir yang
visioner (hlm.xv). Buku ini bukan saja menawarkan sejarah yang cemerlang dari
para kiai, namun menjadi momen klangenan
bagi para santri.
Kita diajak
untuk meneladani sikap dan perjuangan para kiai yang tak terhitung tetesan
darah dan nanahnya dalam menopang agama dan bangsa. Apalagi kiai yang ditulis
dalam buku ini semuanya adalah para pejuang islam dan pendiri negara. Seperti,
Mbah Abbas buntet, Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab Hasbullah, dan lainnya, yang
semuanya memiliki andil besar terciptanya Indonesia. Semangat berjuang dan
perlawanan serta pengorbanan rakyat di bawah bimbingan para kiai, kepala desa,
pamong praja dan tokoh masyarakat lainnya, ternyata sangat besar (hlm.xvii).
Meskipun acap kali terlupakan oleh bangsa ini.
Salah satu contohnya
adalah perjuangan Kiai Abbas Buntet yang begitu gigih menghalau gerak-gerik
kolonial. Pada masanya Kiai Abbas turut rembuk dalam peperangan 10 November di
Surabaya bersama pasukan Hizbullah. Ia adalah pemimpin rombongan pejuang
Cirebon yang berangkat dengan kereta api menuju Surabaya. Tercatat dalam
sejarah Indonesia dan sejarah Pondok Pesantren Buntet bahwa pada pertempuran 10
November 1945 di Surabaya peran Kiai Abbas bersama Kiai Annas dalam perjuangan
melawan imperialis Inggris sangat menentukan nasib bangsa Indonesia (hlm.183).
Jadi, mari kita
luruskan bersama sejarah yang mengatakan bahwa kiai dan santri tak punya andil
dalam gerakan kemerdekaan. Faktanya, kiai-kiai tempo dulu telah mencurahkan dan
mengorbankan semua yang mereka miliki untuk kepentingan bersama, khususnya
kemerdekaan negeri ini.
Dakwah dengan Literasi
Tak melulu ihwal
perlawanan dengan kolonial dan kisah klasik lainnya yang Kiai Aziz gurat dalam
bukunya ini, melainkan jauh dari itu, bahwa ulama dahulu sangat karib-kerabat
dengan tradisi menulis dan membaca. Misal, kita tak akan pernah tahu Imam
Ghazali kalau ia tak menulis Ihya Ulumuddin, Imam Nawawi dengan Riyadh as-Shalihin,
dan kitab-kitab yang lazim dikaji pesantren lainnya. Semua lantaran karena jasa
para ulama yang tak hanya pandai bertutur tetapi handal dalam meramu aksara
menjadi kitab yang luar biasa. Sehingga manfaatnya bisa dirasakan hingga
sekarang.
Di buku ini, disertakan
pula daftar karangan-karangan yang luar biasa dari para ulama Nusantara, seperti
Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Sholeh Darat, Kiai Nawawi Banten, Syekh Mahfudz
at-Tarmasi, yang kesemuanya adalah penulis-penulis kelas kakap. Mungkin beliau
semua mengimani kredo dalam kitab Ta’lim
Al-Mutta’allim, “Maa kutiba qarra wa
maa hafidza farra” (apa yang ditulis akan abadi dan apa yang dihafal akan
lekang oleh waktu).
Tak bisa
dipungkiri, ulama-ulama Nusantara sangat berpengaruh dalam segala lini
kehidupan, termasuk dalam perjuangan literernya. Karya mereka tak kalah
hebatnya dengan ulama lain, seperti Syekh Mahfudz At-Tarmasi yang banyak sekali
mengarang kitab, Syekh Ihsan Jampes yang salah satu kitabnya menjadi buku wajib
di salah satu perguruan ternama di Timur Tengah. Syekh Nawawi Banten yang
kitabnya tak asing di bumi pesantren nusantara.
Bahkan, sebagian
besar karya Syekh Mahfudz telah dicetak dan tersebar ke seantero dunia islam,
sebagiannya dapat mudah ditemukan di toko kitab Musthafa Bab Al-halabi yang
terletak di belakang Mesjid Al-Azhar, Kairo, Mesir (hlm.128).
Dari sini Kiai
Aziz Masyhuri bisa menjadi cermin untuk semua kalangan bahwa begitu pentingnya
dunia literasi dan dokumentasi dalam segala lini kehidupan. Apalagi rerata kita
belum mampu menggenggam tradisi dokumentasi sebagai laku terpuji. Lebih
jauhnya, sebagai pelajaran penting bagi generasi selanjutnya, untuk tidak
melupakan sejarah ulamanya sendiri. Pun bisa menjadi contoh bagi kiai-kiai
sekarang yang hanya mendakwahkan agama dengan ucapan (bil lisan) mulai beranjak ke dunia tulisan (bil qalam). Sebagaiman telah dicontohkan oleh kiai-kiai tempo dulu.
Nah, buku ini akan
menceritakan bagaimana para kiai khos menjalani
keseharian yang hangat dengan para santri hingga turut rembug dalam menumpas
kolinialisme dengan garang. Manakib ini berisi sejarah dan biografi singkat
dari para kiai kharismatik Indonesia, diantaranya: a). Kiai Agung Muhammad Besari, b). Kiai Hasan Besari, c).Kiai
Qomarrudin, d). Kiai Kholil Bangkalanl, d). Syekh Nawawi Al-Bantani, e). Kiai
Sholeh Darat, f). Syekh Mahfudz At-Tarmasi, g). Kiai Muhammad Munawwir, h).Kiai
Zainal Musthofa, i).Kiai Abbas, j). Kiai Hasyim Asy’ari, k). Kiai Abdul Wahid
Hasyim, l).Kiai Raden Asnawi, m). Kiai Wahab Hasbullah, n). Kiai Tubagus
Muhammad Falak, o). Kiai Ma’shum, p). Kiai Zaini Mun’im, q). Kiai Bisri
Musthofa, r). Kiai Bisri Syansuri.
Membaca buku
ini, seakan membuka album kenangan. Alur
cerita yang dihiasi latar tempo dulu memberikan nuansa klasik yang sejuk dan
hangat ala pesantren. Kita seperti mendengarkan kiai
bertutur dengan khidmahnya, layaknya santri yang sedang sowan di sore hari. Pun
buku ini menjadi kebutuhan yang tak bisa diremehkan lagi, lantaran dari sini kita
bisa menemukan makna kiai yang sesungguhnya.
Kiai yang dalam
setiap inci kehidupannya diabdikan hanya untuk kepentingan umat. Kiai yang
dipenuhi petuah dan berkah yang tentu saja menjadi sumur moral bagi kita yang
gagap dalam melakoni kehidupan. Kiai yang setiap nafasnya dipenuhi laku tirakat
dan tetirah. Bukan kiai yang suka memungut pupularitas di mimbar dan layar
kaca. Seperti yang tengah viral dewasa ini. Apapun itu, buku ini layak menjadi
salah satu bacaan wajib yang harus dimiliki, guna mencegah penyakit amnesia
sejarah yang akut.
Ala kulli hal, apresiasi
setinggi-tingginya wajib kita sampaikan kepada Kiai Aziz Masyhuri yang dengan
sangat telaten dan sabar telah merampungkan buku sejarah para panglima agama
dan pejuang bangsa. Mudah-mudahan buku ini menjadi amal jariyah yang tak akan
pernah habis, seperti tulisan di buku ini yang akan tetap abadi. Wallahu ‘alam.
Data Buku
Judul : 99
Kiai Kharismatik Indonesia
Penulis : KH.A.Aziz
Masyhuri
Tahun : 1, Oktober 2017
Penerbit : Keira
Publishing
Peresensi : Alif Nurul