Pustaka

Meretas Hubungan Antar-Agama dan Negara

Ahad, 20 Januari 2008 | 23:00 WIB

Judul buku: Islam Syariah Vis a Vis Negara Ideologi Gerakan Politik di Indonesia
Penulis: Zuly Qodir
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: I, Agustus, 2007
Tebal: 351 Halaman
Peresensi: Adi Kusno*
    
Akhir-akhir ini, munculnya keinginan yang cukup kuat dan apresiatif untuk menjadikan negara sebagai negara yang berlandaskan pada sebuah agama pada umumnya dan negara Islam pada khususnya, menjadi masalah yang sangat krusial dan fundamental di kalangan umat beragama. Keinginan tersebut, kadang terus berkesinambungan pada sebuah konflik yang tak berkesudahan yang menyebabkan terjadinya peperangan ideologi maupun fisik (pertumpahan darah).<>

Melihat kenyataan demikian, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati untuk mencegah dan melarangnya. Sebab, sudah jelas disebutkan banyak intelektual muslim, bahkan dalam kitab suci pun juga, bahwa konsep negara Islam itu tidak ada. Kemungkinan besar ketika Islam dijadikan sebuah ideologi dasar negara sepenuhnya (negara Islam), maka adanya hegemoni dan dogma-dogma antarsesama umat akan mencuat ke permukaan. Jadi, sangat naïf sekali ketika suatu kaum (kelompok) ingin menjadikan negara Islam umumnya. Padahal sudah sangat jelas disebutkan para cendekiawan bahwa “the Islamic cultural, yes, but the Islamic ideology, no”.

Selama ini, ketika kita perhatikan lebih mendalam, maka, akan tampak bahwa dari dahulu hingga sekarang, hubungan antara Islam dengan negara masih dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Mulai dari norma-norma yang berlaku sampai pada sistem yang menjadi landasannya. Di mana, negara di satu sisi ingin menjalankan pemerintahannya sendiri dan Islam pun juga ingin menerapkan syariatnya di sisi yang lain. Dengan demikian, terjadilah suatu hubungan tidak harmonis yang cenderung antara agama (Islam) dan negara berjalan pada porosnya masing-masing dan bersifat ekslusif. Bukankah antara agama dan negara harus saling mengisi, setidaknya agama itu menjadi sistem kontrol terhadap negara agar sejalan dengan konsep ajaran Islam umumnya.

Pada awalnya, terdapat tiga sistem hubungan antara keduanya yang hingga kini masih sering dipermasalahkan oleh para cendekiawan. Pertama, hubungan paralel. Dalam hal ini, terdapat suatu relasi yang tidak sejalan antara agama dan negara. Di mana, antara keduanya sama-sama jalan dan menerapkan sistem (pemerintahan) yang dimilikinya sendiri-sendiri. Agama menjalankan dan berjalan pada sistem kepentingannya sendiri. Negara pun juga demikian adanya dan hanya mementingkan keinginannya masing-masing. Sehingga terjadilah suatu konsep yang tidak sejalan dan sepaham yang kemudian antara keduanya tidak akan pernah bertemu dan bertutursapa sampai kapan pun.

Sementara, yang diinginkan banyak kalangan adalah adanya suatu hubungan dan adanya pertemuan antar-keduanya. Kedua, hubungan linier. Hampir sama dengan hubungan yang pertama, namun, ada perbedaan yang sedikit mencolok. Dalam arti bahwa antara agama dan negara itu sama-sama jalan akan tetapi pada akhirnya akan menemukan jalan kebuntuan. Dengan lain ungkapan, salah satu dari mereka akan menafikan yang lain dan akan terjadi hegemoni dan dogma-dogma bahwa ada salah satunya yang menjadi primadona (negara atau agama). Mereka hanya menganggap bahwa itulah satu-satunya yang paling benar. Padahal, masih ada yang lebih unggul darinya. Meski hal itu tidak sepenuhnya sesuai, paling tidak, ada sedikit kesesuaian. Singkat kata, di sini, masih ada pendikotomian yang sifatnya hanya mementingkan dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar (agama atau negara). Ketiga, hubungan sirkuler. Dalam hubungan ini, antara agama dan negara, sama-sama mempunyai posisi yang cukup penting dalam masyarakat. Artinya, sama-sama jalan dan mempunyai suatu hubungan yang saling mengontrol. Dengan begitu, adanya kekakuan, rigiditas, dan kekurangan, bahkan ketidaksesuaian antara keduanya dapat dikurangi dan akan berkurang yang kemudian akan tercipta suatu hubungan yang harmonis dan adanya saling keterkaitan antar-keduanya. Sehingga, hal ini dapat menjadi kontrol dan dapat saling mengisi kekurangan yang melekat pada diri masing-masing dan harus bisa menerima kekurangan-kekurangan, baik yang sifatnya intern maupun ekstern.

Dengan demikian, diperlukan suatu hubungan yang cukup berarti antara agama dan negara, di mana, agama itu bisa menjadi sistem kontrol dan melengkapi kekurangan yang terdapat pada sebuah negara. Begitu juga negara bisa menjadi kontrol untuk agama, yang mana agama itu, agar tidak menjalankan keinginannya sendiri secara individu, melainkan harus ada campur tangan negara agar tercipta suatu tatanan kehidupan yang sejahtera dan berlandaskan pada agama (Islam) dan negara.

Buku ini sangat penting dibaca, bahkan dijadikan bahan acuan untuk melihat dan meninjau ulang hubungan antara agama dan ngara. Di sini, juga dijelaskan bagaimana hubungan antara keduanya yang semestinya, baik dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya dalam realitas keberagamaan. Buku ini juga akan banyak membantu dan menjawab permasalahan yang paling krusial yang menjadi gejolak selama ini, bahwa konsep ngara yang berideologi Islam (ngara Islam) itu tidak ada dan tidak akan pernah ada. Untuk itu, tidak ada salahnya Ada membaca dan memilikinya untuk menambah khazanah pengetahuan dalam ruang lingkup relasi antar-agama dan negara yang ideal menurut Islam.

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Syariah Program Diploma Keuangan Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.


Terkait