Pustaka

Meruntuhkan Indonesia

Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

Pada mulanya para filsuf mengatakan bahawa pengetahuan sebagai kebijaksanaan (wisdom), tetapi dalam kenyataannya pengetahuan juga merupakan sebuah kekuasaan (power). Tetap pengetahuan selalu bisa menyembunyikan kepentingan politis dan ideologis dibaliknya, dengan diselubungi oleh jubah akademis. Pandangan itu valid sebelum muncul teori kritis yang membongkar interes ideologi dibalik wacana ilmu pengetahuan. Karena itu pada mulanya teori ktitis tidak dianggap ilmiah, sebab mengakui adanya interes (kepentingan), padahal dalil ilmu pengetahuan positivis tidak mengenal (menyembunyikan) interes dibalik teori mereka, sehingga berani mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu netral nilai dan steril dari idelogi politik.

Telaah yang dilakukan Simon Philpot, dalam bukunya Rethinking Indonesia: Post Colonial Theory, Authoritarianism and Identity, terhadap kajian Indonesia ini, memang menggunakan perspektif teori kritis. Ia mencoba menyorot bagaimana para Indonesianis (ahli tentang Indonesia) itu merumuskan pemikirannaya, sejak dari membangun asumsi hingga merumuskan teori dan metodologi pengetahuan. Hal itu dilakuakn sebab ia melihat bahwa selama ini kajian Indonesia menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok. Pemikiran para Indonesianis tersebut semakin mencolok biasnya ketika dilihat dari perspektif teori orientalisme Edward Said yang sangat terkenal itu.

Bagaimana kepentingan pragmatis mempenga<>ruhi sebuah teori pemikiran ilmiah ditunjukkan oleh buku ini dilingkungan akademik Australia, yakni bahwa kajian politik Indonesia di Universitas Monash disaranakan agar tidak menyinggung soal demokrasi dan persoalan Timor Timur. Karena hal tu dianggap akan mengganggu hubungan Australia Indonesia. Hal serupa juga terjadi di Amerika, para ilmuwan yang berseberangan dengan kebijakan pemerintas AS seperti Kahin dan terutama Ben Anderson, disisihkan dari pergaulan akademik Amerika, dan mereka juga dipersulit masuk Indonesia.

Selama ini kajian tentang Indonesia didominasi oleh ilmuwan Amerika, tetapi pasca Perang Dunia II Amerika mulai mengambil alih kepemimpinan. Apalagi ditambah dengan semakin gencarnya pemberian beasiswa ke negeri itu, maka orientasi pemikiran Indonesia semakin berkiblat ke AS, dengan konsekwensi mengikis sisa-sisa Eropa sejak dari metode pendidikan hingga ke pola pikir sampai gaya hidup. Corak pemikiran berubah dari reflektif ala Eropa, menjadi realis model Amerika. Kepentingan paradigma keilmuan Amerika tidak lain adalah sebagai penguasaan politik dan terutama ekonomi, yang saat itu saingan utama adalah Soviet, yang menggunakan paradigma keilmuan Marxis.

Untuk menghadapi saingannya itu Amerika mengembangkan teori modernisasi secara gencar pada para sekutunya, termasuk yang ada di Indonesia, bisa dilihat paradigma modernisasi merupakan paradigma tungal di negeri ini. Propaganda politik akademik amerika ini mendapat dukungan kuat dari lembaga swasta AS seperti Ford Foundation, Rokefeller dan sebagainya, yang oleh Pilpot disebut sebagai dana kapitalis, karena itu mereka dominan di kampus , sebelum berkembangnya teori kritis yang bersemai dipojo-pojok luar kampus.

Diskursus keilmuan sosial Indonesia dinilai sangat Jakarta sentris, elite sentris dan state sentris, sehingga mengabaikan relitas diluar itu, seperti dunia sastra, kaum pinggiran, dunia film, teater dan sebagainya, termasuk komunitas-komunitas tradisional dan pedesaan. Dari pandangan pengetahuan yang elite itu, memang dengan sendirinya menghasilkan kebijakan politik yang elitis, dari situ tercipta rezim teknokrasi, yang mengabaikan partisipasi rakyat dan anti demokrasi. Karena kebijakan hanya ditentukan sekelompok elite terpelajar, maka pembangunan juga berwatak elit, sehingga mengabaikan kepentingan rakyat yang mayoritas. Karena itu jurang kemiskinan semakin melebar. Ini bukan merupakan penyimpanagan malainkan konsekwensi logis.

Lebarnya jurang kemiskinan itu bukan diatasi, tetapi oleh para elite, baik ilmuwan, politisi dan akademisi dijadikan sebagai komoditi yang bisa diperdagangkan di dunia internasional. Ini bisa dimengerti teori liberal yang mereka ajarkan mengharuskan setiap orang bisa berkompetisi, kemenangan dalam kompetisi bebas dianggap fair, walaupun prinsip tersebut melangar, nilai-nilai keadilan, karena dalam melakukan kompetisi sebenarnya juga tidak fair, di mana mereka telah start duluan dan dengan menggunakan peralatan yang lebih lengkap, sementara rakyat berangkat terlambat dan tanpa sarana yang memadai.Itulah yang disebut ekonomi liberal dengan bentuk pasar bebas, yang dikembangkan oleh liberalisme, dan kapitalisme Barat.

Buku ini bisa dikatakan menarik, bukan karena gegap gempitanya, tetapi keberaniannya dalam menerebus wilayah baru yang sangat sensitif baik secara politik maupun akademik, sebab bila sang dewa pengetahuan dominan murka, bisa habis riwayat Pilpott, tetapi rupanya resiko itu sap dihadapi Simon Pilpott. Hanya saja kelemahan yang cukup serius dari buku ini adalah tidak adanya bahasan yang memadai mengenai Indologi, sebab Indologi ini merupakan akar dari Indonesian Studies, yang dimulai sejak abad ke -16 oleh para ilmuwan Belanda. Indologi memang melahirkan ilmuwan kolonial yang paling tengik dan paling dibenci oleh orang Indonesia sepeti Snouck Horgronje, tetap juga melahirkan ilmuwan pendobrak imperilisme pemikiran seperti dilakukan van Leur. Dia ini yang merintis agar studi Indonesia tidak bertolak dari perspektif penjajah, teta


Terkait