Pustaka

Para Pemikir Bebas Islam

Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

MENELAAH JEJAK PEMIKIR BEBAS ISLAM
 
Peresensi : Muhammadun AS*

Bila kita menelaah gemuruh intelektualisme dalam dunia Islam saat ini, sebuah keniscayaan bagi kita untuk menengok kebelakang wajah pemikiran dunia Islam yang pada abad pertengahan menjadi “kiblat” pemikiran dunia.

Disaat dunia Eropa bangga dengan buta huruf pada abad pertengahan, dunia Islam telah hadir<> sebagai spektrum pusat peradaban dunia yang membawa pencerahan masyarakat dunia. Umat Islam telah meninggalkan mitos-mitos masa lalu. Umat Islam tidak lagi menjadi masyarakat dongeng yang hanya patuh dengan dogma-dogma yang enigmatic, namun telah menjadi masyarakat pembaca yang selalu kritis dalam memandang setiap permasalahan, termasuk masalah dogma agama yang telah dijelaskan  dalam al-Quran dan al-Hadits.

Para pemikir Muslim abad pertengahan berani mendobrak berbagai  konsepsi pemikiran yang sudah dianggap “baku” dan tidak bisa di “otak-atik” oleh umat. Keberanian inilah yang akhirnya menimbulkan perdebatan panjang dunia pemikiran, khususnya perdebatan ahlu al-hadits yang mengedepankan makna tekstual agama dengan ahlu al-ra’yu yang selalu menggunakan rasio dalam mengkritisi teks agama.

Namun, dari perdebatan panjang inilah sebenarnya Islam telah menancapkan kemegahannya sehingga menggapai puncak peradaban yang kemudian mengilhami pencerahan Barat pada abad ke-17.

Buku “Para Pemikir Bebas Islam” ini berusaha menjelajah jejak pemikiran ahlu al-ra’yu abad pertengahan. Penulis buku ini menyebut para ahlu al-ra’yu sebagai pemikir bebas Muslim. Sudah tentu, pemikir Muslim yang memilih jalan “bebas” tidak sedikit dalam dunia Islam. Sebut saja misalnya ada Ibnu Rusd dan Ibnu Sina dalam filsafat, ada Ibnu Arabi dan al-Hallaj dalam tasawuf, ada Abu Hanifah dan Ibnu Rabi’ah dalam fiqh, ada Ibnu Khuldun dalam sosiologi dan sejarah, dean sebagainya.

Namun penulis dalam buku ini tidak menghadirkan para pemikir bebas yang masyhur tersebut. Penulis mengambil dua pemikir yang selama ini tidak terlalu diperdebatkan dalam dunia Islam, bahkan namanya tidak terlalu masyhur. Dua pemikir tersebut adalah Ibnu ar-Rawandi dan Abu Bakr al-Razi. Nama lengkap Ibnu Rawandi  adalah Abu Husain Ahmad bin Yahya bin Ishak al-Rawandi. Dilahirkan di Khuarasan, sekitar tahun 205 H/815 M. Dia bergabung dengan kelompok Mu’tazilah Bagdad dan mendapatkan kedudukan yang menonjol dikalangan mereka. Akan tetapi, ketika mendekati usia 40 tahunan dia menjauhkan diri dari Mu’tazilah dan membentuk aliansi yang dekat dengan kelompok non-Mu’tazilah, baik Muslim {Syi’ah} maupun non-Muslim {Manichean, Yahudi, dan Kristen}, bahkan dia banyak menyerang Mu’tazilah melalui berbagai tulisan-tulisannya.

Sementara al-Razi nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Zakaria al-Razi. Dia dilahirkan di Rayy pada bulan Sy’ban tahun 251 H {850 M}. Ar-Razi dikenal selain dikenal sebagai tokoh kedokteran ternama juga menjadi sosok sangat dikagumi dalam dunia filsafat. Bhakan Mehdi Mohaghegh menyebutnya sebagai “Filsuf dari Ray”.

Kedua sosok controversial tersebut telah menggertak panggung intelektual dunia Islam, khususnya yang berkaitan dengan masalah kenabian. Bagi kebanyakan kaum Muslim, masalah kenabian adaah sebuah dogma yang muthlak. Nabi adalah mereka yang telah mendapatkan wahyu Tuhan, sehingga mengkritik nabi adalah sebuah “kecelakaan sejarah”. Berbeda dengan mayoritas umat, kedua pemikir ini berani menggertak, bahkan menganalisis ulang konsep kenabian. Ar-Rawandi dalam kitab Az-Zumurrud dan Al-Razi dalam kitab Makhariq Al-Anbiya’ telah memproklamasikan dirinya sebagai sosok yang anti kenabian. Kedua beranggapan bahwa manusia yang dikarunai akal oleh Tuhan sudah cukup untuk menjejalah segala kehidupan yang ada dalam semesta. Kalau akal yang diberikan tuhan sudah cukup untuk bekal hidup manusia, buat apa nabi menunjukkan jalan. Kalau akal telah membuka tabir gelap kehidupan, maka manusia sejatinya sudah cukup untuk menjalankan hidupnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Kehidupan yang hanya selalu menunggu kedatangan nabi hanya akan menupulkan keagungan akal manusia. Dan penumpulan akal berarti kita tidak mensyukuri anugrah tuhan yang sangat berharga dan mulia tersebut.

Pendapat seperti ini jelas membuat geram para ulama’ Islam. Namun demikian, kedua pemikir tersebut setidaknya telah menggugah masyarakat


Terkait