Penerbit : Pustaka Pesantren Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2006
Tebal : xvi + 214 halaman
Perensensi : Ach Syaiful A'la*
Istilah yang sering diperbincangkan sejak beberapa tahun terakhir ini, sebenarnya selalu identik dengan memperjuangkan kebenaran, keadilan, egalitarianisme, dan demokrasi. Artinya, perjuangan yang semacam ini secara faktual mengandung nilai-nilai universal – terlepas dari motivasi dan aktor-aktor – memang diproyeksikan untuk memberdayakan masyarakat, terutama yang hidup di strata terbawah yang sering menjadi "korban" dalam proses pembangunan bangsa.
Dari perspektif diatas, jelas bahwa setiap aktivitas (perjuangan) yang berorentasi pada penin<>gkatan kualitas kehidupan orang lain (banyak orang), dapat dikategorikan sebagai "pemberdayaan masyarakat". hanya saja, yang kemungkinan besar berbeda adalah cara dan pendekatannya, sesuai dengan background kehidupan aktornya (pelakunya). Tetapi, perbedaan yang seperti ini tidak menjadi masalah, yang terpenting aktivitas yang dilakukan benar-benar diupayakan untuk mengangkat nasib masyarakat (kaum tertindas).
Dalam konteks itulah, lalu bagaimana kepedulian pesantren sekarang ini dalam memberdayakan masyarakat, sebagai "institusi" keagamaan yang tumbuh sejak beberapa tahun yang silam? Apakah pesantren telah menunjukkan intensitasnya dalam persoalan ini, yang sesungguhnya dapat dijadikan medium untuk semakin memantapkan ketaqwaan kepada Allah SWT? Jika memang demikian, apakah bukti-bukti kongkritnya yang dapat meyakinkan kita tentang adanya pemberdayaan masyarakat di kalangan pesantren?
Secara jujur harus diakui, bahwa pesantren selama ini masih tetap eksis di tengah-tengah masyarakat. Dari abad keabad, pesantren masih memperlihatkan kemampuannya untuk membendung gempuran modernisasi yang telah terbukti menjungkirbalikkan spiritualitas manusia, baik secara individual maupun komunal. Kenyataan ini, tentu saja tidak dilepaskan dari sportifitas (kesalehan) dan karisma kiai sebagai top leader pesantren, serta sekaligus juga perjuangan yang mengendalikan teologi dan moral. Sehingga, pesantren sangat mudah untuk berintegrasi dengan masyarakat, yang dari dimensi sosio-ekonimi-politik telah mengalami kekalahan dan ketertindasan.
Karena itu, sangat beralasan jika kahadiran pesantren dimanapun saja berada, benar-benar mendapat respons yang positif dari masyarakat. Respon ini dapat dijadikan suatu indikasi, bahwa pesantren – sejak awal berdirinya – sebenarnya telah banyak terlibat secara aktif konstruktif dalam proses pemberdayaan masyarakat, sesuai dengan kemampuan dan versi pesantren itu sendiri.
Buku yang ditulis oleh pembantu Direktur I Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya ini, banyak mengulas peran pesantren misalnya dibidang spiritual, sampai sekarang ternyata masih belum bisa digantikan oleh lembaga-lembaga pendidikan lain. Dengan bermodal keikhlasan dan keteladanan, kiai (pesantren) telah menunjukkan keberhasilannya dalam mentransfer nilai-nilai relegius kepada santrinya, dan juga bahkan kepada masyarakat.
Melalui cara ini kemudian lahirlah santri yang bermoral, tegar dan mampu menghindarkan diri dari "cengkraman" status formal – semisal pegawai negeri, legeslatif dan eksekutif – yang telah menjadi impian mayoritas kaum terpelajar di bumi pertiwi ini.
Dengan kata lain, pengembangan spiritual versi persantren, telah menghasilkan alumni-alumi yang berakhlak mulia, tingkat bertahan hidup yang teruji dan lainnya. Dari fakta ini saja, kita udah mendapatkan gambaran yang jelas tentang keterlibatan pesantren dalam proses pemberdayaan masyarakat, yang disadari atau tidak, telah membaca dampak yang positif bagi pembangunan nasional.
Contoh lain yang perlu dikemukakan disini, adalah kepedualian pesantren terhadap masalah pendidikan degan mengembangkan sistem pendidikan (berbasis) kerakyatan, pesantren ternyata mampu menampung kaum muda yang secara kuantitatif patut dibanggakan. Sebab, melalui sistem pendidikan kerakyatan ini siapapun dapat memasuki pendidikan di pesantren tanpa ada pembatasan atau kualifikasi tertentu. Semua calon santri, terlepas dari asal-usul kehidupan, keluarga dan ekonominya, diperlakukan sama sebagai manusia di hadapan Allah yang harus dihormati.
Sistem pendidikan kerakyatan tersebut, diakui atau tidak, dapat menumbuhkan solidaritas, kolektivisme dan egalitarianisme, sebagai bagian dari yang integral dari ajaran-ajaran agama yang memang harus diaktualisasikan dalam kehidupan kongkrit sehari-hari, sehingga, sistem pendidikan yang semacam itu – meminjam istilah Gus Dur – merupakan potensi demokratis pesantren, yang pengembangannya perlu ditangani secara intensif.
Dari itu terlihat dengan jelas tentang kepedulian pesantren dalam pemberdayaan masyarakat. Hal ini sekaligus membuktikan, bahwa pesantren mempunyai kontribusi yang besar dalam proses pembangunan agama, nusa dan bangsa.
Terlepas dari semua itu, pesantren tetap dituntut untuk berjuangan lebih serius lagi, agar peran strategisnya sebagai "pembela" masyarakat bawah (kaum tertindas) dapat dipicu secara maksimal. Apalagi dalam kenyataan, pesantren masih terkesan lamban dalam mengantisipasi arus perubahan sosial, yang membawa pergeseran nilai-nilai kehidupan. Karena itu, pesantren perlu membudayakan gerakan intelektual yang represenatif, tradisi kepenulisan dan kerja-kerja yang profesional.
Sayang buku ini hanya sebuah kumpulan tulisan Dr Abd A'la yang sudah pernah disajikan pada berbagai forum kegiatan diskusi, halaqah, seminar, diklat kepesantrenan. bagi saya, Hal ini merupakan penyebab utama dari pemaparan sebuah buku bisa dikatan kurang sistematis.
* Penulis, Ketua Ikatan Alumni Santri Timur Daya PP Nasy'atul Muta'allimin Sumenep (IKNAS), Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.