Lima hal tersebut tidak bisa lepas dari pesantren. Satu saja di antaranya tidak ada, maka lembaga pendidikan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai pesantren, jika kita mengikuti teori itu. Bahkan, Ahmad Ginanjar Sya’ban menambah satu hal lagi, yakni sanad keilmuan. Sebab, dari situlah otoritas keilmuan itu dapat dipertanggungjawabkan mengingat adanya ketersambungan hingga ke Rasulullah SAW atau penulis kitab yang dipelajarinya, tidak ada keterputusan hubungan.
Hadiyatullah mencatat enam hal tersebut dalam mendokumentasikan 55 pesantren berpengaruh di Indonesia dalam bukunya, Dari Pesantren ke Pesantren, Kiprah 55 Pesantren Berpengaruh di Indonesia.
Pondok Pesantren Al-Masthuriyah, Sukabumi, Jawa Barat, misalnya, yang didirikan oleh KH Masthuro. Penulis menjelaskan perjalanan akademik sang pendiri dari satu pesantren ke pesantren lainnya demi mengais pengetahuan keagamaan yang lebih mendalam lagi, mulai dari belajar kepada ayahnya, lalu ke Kiai Asy’ari di Pondok Pesantren Cibalung, lalu ke Pondok Pesantren Tipar Kulon yang dipimpin oleh KH Kartobi.
Tidak berhenti di situ, Kiai Masthuro mengaji kepada KH Hasan Basri dan KH Muhammad Kurdi di Pondok Pesantren Cicurug, kepada KH Ghazali di Pondok Pesantren Paledang, kepada KH Muhammad Sidiq di Pondok Pesantren Sukamantri, hingga ke Pondok Pesantren Pintuhek yang diasuh oleh KH Munajat. Sebelum kembali ke kampung halamannya, ia menamatkan pengembaraan keilmuannya di Pondok Pesantren Cantayan yang dipimpin oleh KH Ahmad Sanusi.
Deskripsi di atas menggambarkan sanad keilmuan yang menjadi salah satu dari enam rukun pesantren. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan yang ditransmisikan dalam pesantren dapat dipertanggungjawabkan mengingat ada hubungan yang terus bersambung dari kiainya ke pendahulunya. Tidak ada materi yang diajarkan kepada para santri kecuali kiai sudah menerimanya dari gurunya terdahulu.
Namun, ada juga beberapa pesantren yang tidak ia jelaskan salah satu dari enam unsur di atas. Penulis justru menyoroti pendidikan formalnya, tidak menjelaskan proses transmisi pengetahuan agamanya, kurikulum keagamaannya, dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Pengaruh Pesantren terhadap Perkembangan Indonesia
Kiai Hasyim adalah pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur sekaligus pendiri organisasi masyarakat Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama. Sementara putranya merupakan bagian dari anggota sembilan perumus Pancasila, sebuah dasar ideologi bangsa. Keduanya merupakan tokoh yang lahir, tumbuh, dan dididik oleh dan dari pesantren.
Peran keduanya termaktub dalam buku ini. Tidak hanya itu, Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Kiai Hasyim juga melahirkan perlawanan besar di Surabaya, tepatnya pada 10 November 1945 yang kini dikenal sebagai Hari Pahlawan. Peristiwa itu merupakan salah satu kunci pemertahanan Indonesia yang saat itu masih seumur jagung. Adalah KH Abbas Abdul Jamil, Sesepuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat yang menjadi panglima perang tersebut. Ia dinanti kehadirannya oleh Mbah Hasyim dan disebut-sebut sebagai Singa dari Jawa Barat.
Masih banyak tokoh pesantren yang menjadi kunci perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dicatat dalam buku ini, seperti KH Noer Ali yang merupakan ikon perjuangan masyarakat di Karawang Bekasi, dan sebagainya.
Hal tersebut menjadi salah satu pengaruh pesantren di Indonesia, yakni dalam memperjuangkan kemerdekaan. Contoh yang disebutkan di atas juga menjadi satu bukti bahwa nasionalisme kaum santri tidak lagi diragukan. Doktrinasi kecintaan tanah air tidak saja disampaikan melalui teori, tetapi langsung diteladankan oleh para kiainya sehingga santri mudah untuk tinggal mengikuti.
Tentu tidak hanya itu pengaruh pesantren bagi Indonesia. Hal terbesar adalah pendidikannya yang sudah berlangsung berabad-abad. Kelahiran para tokoh dari rahim pesantren menjadi bukti kemampuan pendidikan ala pesantren di ranah nasional bahkan internasional. Bahkan, model pendidikan pesantren di cangkok dalam pendidikan formal, seperti boarding school dan model pendidikan lainnya.
Titik kunci pendidikan pesantren sebetulnya bukan sekadar kurikulum yang disajikan dengan beberapa metode yang diterapkannya, tetapi juga pada keteladanan kiai yang bisa dilihat oleh para santrinya saban hari. Mereka bisa interaksi langsung setiap hari, baik saat mengaji, atau sekadar menyaksikan kesehariannya dalam berlaku menjalani kehidupannya. Dari situlah pendidikan karakter tertanam dalam diri para santri.
Tidak hanya kiai atau pesantren secara kelembagaannya, pengaruh pesantren juga tak jarang ditorehkan oleh para alumninya yang menaruh pengaruh besar, baik dengan pergerakannya untuk masyarakat ataupun dengan intelektualitasnya yang banyak menjadi rujukan bagi dunia akademik.
Buku ini menunjukkan kepada para pembaca, bahwa pesantren dengan segala ketradisionalannya, mampu memberikan perubahan positif besar bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Pesantren-pesantren yang ditulis hanyalah sebagai contoh saja di antara puluhan ribu pesantren yang terdaftar dalam Kementerian Agama.
Apa yang disampaikan oleh Kiai Said itu terbukti saat ini dengan semakin menjamurnya pesantren di berbagai penjuru Nusantara, dengan ribuan santrinya yang tidak pernah surut, bahkan terus bertambah dari waktu ke waktu. Pesantren-pesantren besar pun membuka cabangnya di berbagai tempat sehingga semakin besar pengaruh pesantren terhadap kemajuan Indonesia ke depan. Dengan banyaknya santri, kita tak lagi perlu khawatir untuk masa depan Indonesia.
Peresensi adalah Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia). Saat ini, ia aktif di Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU).
Identitas Buku
Judul : Dari Pesantren ke Pesantren, Kiprah 55 Pesantren Berpengaruh di Indonesia
Penulis : Hadiyatullah
Tebal : xvi + 528
Terbit : 2018
Penerbit : Emir
ISBN : 978-602-0935-79-9