Pustaka

Qaryah Thayyibah, Sekolah Masa Depan

Senin, 21 Mei 2007 | 05:23 WIB

Oleh Ali Usman*

Judul Buku: Lebih Baik Tidak Sekolah
Penulis: Sujono Samba
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, Januari 2007
Tebal: xviii + 94 halaman

"Sekolah sebagai siksaan yang tak tertahankan." (R. Tagore)

Membincang persoalan pendidikan di Indonesia memang tak ada habisnya. Mulai dari persoalan kurikulum, paradigma, orientasi, dan kualitasnya masih menjadi perdebatan sengit di antara praktisi, pakar dan pejabat negara. Jangan tanya di nomor urut berapa kualitas pendidikan kita sekarang dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Sebab, di saat mereka (baca: luar negeri) semakin optimis melaju meningkatkan pendidikan, kita masih ribut mencari format yang ideal.

<>

Sebut saja isu terhangat saat ini soal standarisasi nilai dalam Ujian Nasional (UN). Apakah kebijakan standarisasi atau batas minimal angka yang telah ditentukan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dapat menjamin bahwa siswa yang bersangkutan betul-betul mampu secara akademik (kognitif) dan psikomotorik sesuai dengan nilai yang ia peroleh itu? Dalam benak para pengelola pendidikan di negera kita tentu jawabannya, "iya". Tapi benarkah demikian? Lalu dengan ukuran apakah pendidikan itu layak dikatakan berkualitas?

Serangkaian pertanyaan pelik itulah yang melatarbelakangi penulisan buku yang penuh gejolak dari penulisnya ini. Pemilihan judul yang sangat provokatif, “Lebih Baik Tidak Sekolah”, bukanlah omong kosong belaka dan hampa makna. Dalam buku ini, Pak Jono, begitu ia biasa dipanggil, telah melakukan refleksi dan pembacaan kritis terhadap kondisi pendidikan kita yang mengalami carut-marut.

Di sini, Pak Jono dengan tegas dan lantang berpendapat bahwa ukuran berkualitas atau tidaknya pendidikan bukan karena seorang siswa itu mempunyai nilai sembilan atau sepuluh dalam ijazahnya. Sebab, nilai ijazah atau surat kelulusan sekolah yang sekarang ini terjadi hampir tidak mengukur kompetensi yang sebenarnya ketika harus menghadapi realitas kehidupan. Indikasi sebuah lembaga pendidikan dikatakan berkualitas adalah manakala out put (keluarannya) sanggup memecahkan persoalan kehidupannya, kreatif, mandiri, beretika, dan terus bersemangat mengembangkan pengetahuannya sehingga merasa hidup sejahtera dan berguna bagi orang lain (hlm. 24).

Maka, untuk mengobati keprihatinan tersebut Pak Jono ternyata tidak hanya berhenti pada tataran teoritis dan retorika. Lebih dari itu, ia bersama teman-teman desanya menunjukkan aksi nyata dengan mendirikan model pembelajaran berbasis komunitas (community based education) Kejar Paket B Qaryah Thayibah di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, pada bulan Juli 2003, dan saat ini telah menjadi sekolah unggulan nasional.

Mungkin jika kita tilik sejarah berdirinya, bakal tak ada yang menyangka pendidikan Qaryah Thayyibah mendapat respon positif dari banyak pihak, baik dari dalam negeri sendiri maupun mancanegara. Pada mulanya, lantaran jengah (jengkel) terhadap sistem pendidikan kita yang tidak berpihak pada kaum miskin, terutama warga desa, justru menjadi inspirasi Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) mendirikan "pendidikan alternatif" ini.

Dengan berkelakar, Bahruddin (salah satu pendiri utama) mengatakan, berdirinya tidak by design (tidak dirancang), tetapi by accident (tiba-tiba). "Kami sekadar ingin mengumpulkan anak-anak para tetangga untuk belajar bersama dengan baik". Itu saja, ungkapnya (hlm. 32). Sesuai dengan namanya, Qaryah Thayyibah (berasal dari bahasa Arab: desa yang baik) sebagaimana diidamkan oleh masyarakat setempat agar menjadi desa yang indah, beradab, berkeadilan, dan syukur dapat dicontoh daerah lain.

Hal tersebut tampak pada prisip-prinsip yang dibangun Qaryah Thayyibah. Pertama, pendidikan yang dilandasi semangat pembebasan, serta semangat perubahan ke arah yang lebih baik. Kedua, keberpihakan yang merupakan ideologi pendidikan itu sendiri, di mana keluarga miskin berhak atas ilmu pengetahuan dan pendidikan yang baik dan bermutu. Ketiga, metodologi yang dibangun selalu berdasarkan kegembiraan siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Dan keempat, mengutamakan partisipasi dan komunikasi yang sehat antara pengelola pendidikan, guru, siswa, wali siswa, masyarakat dan lingkungannya dalam merancang-bangun sistem pendidikan realistis dan sesuai dengan kebutuhan (hlm 35-36).

Gagasan gemilang ini mengingatkan kita pada Ivan Illich yang di akhir 1970-an mengejutkan masyarakat, praktisi, dan pemerhati pendidikan dengan gagasan kontroversialnya tentang deschooling society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan bahwa jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar, maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial dan budaya yang luas, tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah.
Artinya, dalam masyarakat ini, sekolah tidak lagi dibutuhkan.

Dengan begitu, benarkah gagasan ini telah terbukti? Jika kita melihatnya sebagai parodi maka betapa tepatnya Illich dalam menilai dan mendeskripsikan eksistensi lembaga pendidikan sekarang ini.

Bagaimana dengan buku ini? Meski tak setebal buku-buku pendidikan pada umumnya, kehadiran buku ini nampaknya sejalan dengan gagasan Illich itu, dan sungguh mengandung semacam manifesto pendidikan kritis yang dimaksudkan untuk "membebaskan" dari belenggu-belenggu sistem yang mengitari. Analisis dan argumen yang dibangun memiliki relevansi yang substansial dalam konteks kekinian.

Satu pijakan yang pasti dan selalu diingatkan oleh Pak Jono kepada pembaca dalam buku ini adalah pendidikan pada hakikatnya merupakan proses memanusiakan manusia (humanizing human being). Karenanya, semua treatment yang ada dalam praktik pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai mahluk Tuhan dengan fitrah yang dimiliki, sebagai makhluk individu yang khas, dan sebagai makhluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk.

Kenyataan bahwa proses pendidikan yang ada cenderung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centered, top-down, mekanis, verbalisme, kognitif dan misi pendidikan telah misleading menurut Pak Jono, harus segera dibenahi. Jika tidak, benar kata Paulo Freire, bahwa sekolah itu (memang) menindas dan membelenggu.

Hingga pada akhirnya, uraian kritis Pak Jono juga menelusup masuk ke wilayah yang di selama ini boleh dibilang belum (sepenuhnya) tersentuh oleh penulis-penulis lain. Misalnya, mengangkat problem mutakhir tentang apa fungsi dan guna ijazah SMA/S1 sebagai syarat untuk melamar di suatu perusahaan, bila toh pada akhirnya jika diterima sebagai pegawai/buruh hanya dijadikan tukang sapu atau dipekerjakan di tempat-tempat mekanis? Bukanlah pekerjaan mekanistik seperti itu bisa dilakukan oleh siapapun yang mau tanpa harus berijazah SMA? Semua itu digugat secara berani dan terang benderang oleh tokohyang oleh masyarakat dikenal sebagai sosok seniman dan familiar itu.

Maka, buku ini menurut saya layak dibaca oleh siapapun, terutama para praktisi pendidikan, aktivis LSM, mahasiswa dan para siswa sedang dalam penantian pengumuman kelulusan. Setidaknya dapat memotivasi kita untuk terus tetap belajar, yang oleh Bahruddin diungkapkan dengan perkataan bijak, "Boleh putus sekolah asal tidak putus belajar."

*Peresensi adalah Pencinta buku, dan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Yogyakarta.


Terkait