Penulis: Teguh, M.Ag.
Penerbit: Pustaka pelajar
Cetakan: 1, Desember 2007
Tebal: x+200 halaman
Peresensi: Alfan Zakaria
Harus diakui bahwa wayang merupakan hasil seni budaya klasik tradisional Jawa yang paling banyak dibicarakan para ilmuwan, baik dari dalam maupun luar negeri. Banyak dari mereka yang mendapatkan gelar kesarjanaan dari ilmu pewayangan. Dalam hal ini, Sri Mulyono (1989), menggambarkan bahwa wayang laksana sumber air yang ditimba tanpa ada habisnya.<>
Ditinjau dari akar sejarahnya, wayang mulai dikenal sejak datangnya agama Hindu di Indonesia. Satu-satunya data arkeologis berupa temuan prasasti Balitung (899-911) yang menyebutkan, sigaligi mawayang buat hyang, macarita Bima ya Kumara’ menggelar wayang untuk para hyang, menceritakan tentang Bima sang Kumara. Prasasti ini menjelaskan bahwa pertunjukan wayang untuk keperluan upacara untuk para dewa.
Secara tradisional, wayang merupakan intisari kebudayaan masyarakat Jawa yang diwarisi secara turun temurun. Suatu gejala yang patut diamati dalam masyarakat Jawa—yang punya pengaruh kuat dalam masyarakat Indonesia pada umumya—adalah masih lestarinya budaya wayang, walau berbagai unsur budaya telah memengaruhi bangsa Jawa. Wayang dengan kajian nilai moral Islam membuktikan diri sebagai sebuah pertunjukan seni budaya yang mapan dan banyak diminati oleh banyak orang sejak zaman Erlangga, Majapahit, Demak, Mataram, bahkan sampai sekarang. Kandungan simboliknya seakan tidak pernah kering untuk suatu penafsiran yang hampir tak terbatas dalam kebutuhan manusia. Bahkan, karena begitu besar peran wayang di dalam kehidupan orang Jawa, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa wayang merupakan identitas utama manusia Jawa.
Dalam buku ini Teguh, berusaha menyingkap nilai-nilai moral Islam yang terkandung di dalam lakon Bima Suci, yakni, lakon wayang termasyhur dalam sejarah pewayangan. Bima Suci sebagai tokoh sentralnya meyakini adanya Tuhan Yang Esa, yang mencipta segala yang ada di dunia. Sebagai orang yang beriman, Bima Suci dengan penuh keyakinan mengajarkan ilmu ketuhanan atau ajaran kawruh panunggal kepada Janaka atau Arjuna. Ajaran tersebut selaras dengan ajaran Islam yang mewajibkan mengamalkan ilmu yang diperoleh. Seperti tercantum dalam hadits Nabi: "ballighu ‘anni walau aayah" (sampaikan dariku walaupun satu ayat).
Lakon Bima Suci, dalam buku ini, menggambarkan tentang konsep manunggaling kawula Gusti (Jawa), atau konsep wahdatu al-wujud (Islam). Konsep manunggaling kawula Gusti, dalam bentuk ajaran ittihad maupun ajaran hulul menjadi prinsip dalam lakon Bima Suci karena ajaran tersebut adalah bagian dari pengalaman spiritual puncak bagi seorang sufi (mistikus), setelah manusia dapat menyatu dengan Tuhannya, maka bagi dirinya akan sampai pada tujuan akhir sebagai insan kamil, ‘manusia sempurna’. Lakon Bima Suci juga mampu menggambarkan pertemuan esensi dan eksistensi. Adanya hubungan transendental yang kuat antara Bima Suci dan Tuhannya.
Dalam tradisi Islam, bahwa ajaran tentang realitas sesungguhnya itu telah dikonsepsikan sebagai ajaran tauhid. Laa ilaaha illa Allah yang mengandung pengertian bahwa tidak ada Tuhan, tidak ada yang wujud kecuali Allah. Dengan demikian, ajaran ontologis yang terkandung di dalam lakon Bima Suci dengan konsep tauhid dalam Islam itu mempunyai persamaan. Bahkan, lakon Bima Suci itu sengaja diciptakan oleh pengubahmya untuk mentranformasikan ajaran tauhid tersebut.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa nilai ontologis dari lakon Bima Suci adalah ajaran Islam, di mana moral yang digambarkan Bima Suci mempunyai nilai yang mencerminkan moral Islam. Juga sama-sama mengajarkan tauhid, atau ajaran nondualisme atau monisme, mengajarkan persatuan antara manusia dengan Tuhan.
Selain ajaran ketauhidan penulis juga menyingkap adanya moral islam yang bersumber pada al-qur’an dan hadits dalam cerita lakon Bima Suci tentang amanat nilai-nilai universal. Seperti kewajiban menuntut ilmu, mengamalkan ilmu yang diperoleh, sabar, berlaku adil, dan tata krama terhadap sesama.
Meskipun jalan cerita dari lakon Bima Suci hampir semua istilah-istilah yang dipakai sama sekali tidak menggunakan istilah-istilah Islam atau ke-Arabian, tetapi pengaruh mistik Islam atau moral Islam jelas terkandung di dalammya. Pesan-pesan moral yang disampaikan, bentuknya tersurat maupun tersirat, sebab wayang pada hakikatnya adalah karya sastra budaya yang bersifat simbolik.
Ajaran moral Islam dalam cerita wayang lakon Bima Suci ini mengandung amanat nilai-nilai universal tentang syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Tidak dapat dipungkiri bahwa buku ini menggugah pembaca untuk mencintai kembali kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki Indonesia. Karena, pada saat yang bersamaan generasi muda yang hidup di Nusantara Jawa ini kebanyakan tidak berminat lagi terhadap wayangan. Minat mereka lebih mengarah kepada film-film, bacaan yang tidak bermutu, maupun atraksi-atraksi yang mengarah kepada amoralitas yang pada akhirnya menyeret mereka pada kehidupan bebas dan jauh moral Islam.
Setidaknya, buku setebal 200 halaman ini bisa menambah khazanah keilmuwan pembaca untuk menjadikannya sebagai motivasi dalam menghidupkan kembali moral Islam yang hampir terkikis oleh arus globalisasi. Juga sebagai kebangkitan umat Islam di tahun baru hijriyah 1429. Tak ayal, buku ini layak untuk dibaca oleh berbagai kalangan baik dari akademisi maupun kalangan awam.
Peresensi adalah Peneliti pada Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka), Yogyakarta