Risalah Redaksi

Divide Et Impera

Sabtu, 4 Februari 2006 | 05:42 WIB

Selama ini sistem politik kenegaraan kita terdiri atas tiga pilar utama atau lebih dikenal dengan trias politica, yang terdiri dari lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada masa pemerintahan Soekarno antara lain ditambahkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), lalu pada zaman Orde Baru (Orba) Soeharto membuat lembaga Komando Pemulihan Kemanan dan Ketertiban (Kopkamtib), setelah itu berubah nama menjadi Badan Koordinasi Pertahanan Nasional (Bakorstanas). Oleh para aktivis reformasi, lembaga yang dianggap sebagai alat Orba untuk mempertahankan kekuasaan itu pun segera dibubarkan.

Tetapi apa yang terjadi, ibarat hilang satu tumbuh seribu. Setelah reformasi bergulir, berbagai lembaga tinggi negara bermunculan mulai dari Komisi Ombudsman, Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Penyiaran, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sebagainya. Tidak tahu dari mana nalarnya, semua komisi tersebut dibentuk, hanya karena negara lain punya komisi serupa. Hasilnya memunculkan kekacauan politik yang tidak bisa dilerai, karena semua saling menjegal. Harapan untuk memperbaiki kehidupan negara makin sirna.

<>

Komisi tersebut akhirnya menjadi lembaga tandingan bagi lembaga tinggi negara yang sudah ada, apakah Pemerintah, DPR, Mahkamah Agung, bahkan Jaksa Agung dan Kepolisian. Karena wilayah kerja lembaga tinggi negara itu sebagian diambil komisi yang ada maka semua keputusan lembaga tinggi yang ada bisa dijegal oleh komisi yang lain. Karena itu pertikaian antar lembaga tinggi negara dengan komisi-komisi itu tidak bisa dihindari. Hanya sayangnya bukan untuk membela kepentingan negara tetapi hanya untuk membela kepentingan posisi dan materi masing-masing. Dengan demikian tidak ada satu lembaga yang bisa mengambil keputusan, keputusan telah terpecah belah.

Kalau selama ini Orba dianggap sentralistik, maka tiba-tiba dibuat kebijakan yang desentralistik. Pertama dilakukan dengan melakukan sistem negara federal. Tetapi karena sistem itu ditentang, maka diterapkan pola otonomi daerah. Kebijakan itu disambut luar biasa seolah daerah mendapat kemerdekaan. Tetapi sayangnya kebebasan tidak dinikmati rakyat tetapi hanya dinikmati segelintir elit yang bersekutu dengan pengusaha. Akhirnya daerah sangat independen dari keputusan pusat. Sekali lagi di sini daerah bisa membuat atauran seenaknya seperti negara dalam negara sehingga tidak bisa dicampurtangani pemerintah pusat.

Itu semua merupakan produk reformasi yang digerakkan kelompok pro-demokrasi atas seruan lembaga dana internasional. Memang seolah semuanya baik, tidak ada cela nalar menurut akal, dan empan papan menurut perasaan. Karena itu diterima secara luas, tanpa penolakan. Tetapi apa yang sesungguhnya terjadi, semuanya itu adalah merupakan politik divide et impera, politik memecahbelah untuk menguasai. Perumusan kebijakan menjadi keputusan banyak lembaga, akhirnya tawar menawar selalu terjadi, dan yang punya uang yang paling banyak lolos dan menang, sehingga dalam semua undang-undang rakyat selalu dikalahkan. Karena rakyat tidak mampu membayar, sementara kekuatan kapitalis dan imperialis mampu menyuplai dana besar-besaran untuk menggolkan berbagai keputusan.

Demikian juga masuknya intervensai asing, baik yang bersifat politik maupun ekonomi, dan nanti juga militer tidak akan bisa ditolak oleh pusat, karena pimpinan daerah bisa saja menyetujui demi tujuan politik tertentu. Bila demikian maka tidak hanya negara federasi telah terbentuk, tetapi juga merupakan langkah menuju separasi (pemisahan diri). Prinsip kaum imperialis, kalau tidak bisa mengusai seluruhnya, maka dikuasai sebagiannya, baru kemudian semuanya akan dikuasai.

Ketika kekuasaan terbagi ke berbagai daerah, demokrasi yang diharapkan tidak pernah muncul. Kekuasaan tinggi negara yanag selama ini dipegang presiden juga mulai luntur. Bila tidak ada pemimpin yang mampu mengambil keputusan secara disisif, karena kekuasaan telah dibagi sampai habis, dengan semangan divide (pecah-belah), maka tidak ada yang bisa dilakukan negara, ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar, politik diserahkan pada mekanisme pertarungan, demikian juga pergaulan sosial diserahkan pada mekanisme industri.

Bila tidak ada lagi kekuasan yang terpusat, maka tidak ada sesuatu yang bisa dijalankan, kalau mau berjalan harus melalui proses tawar menawar yang panjang, persoalan bukan karena ide tersebut hendak disempurnakan, tetapi lebih pada sejauh mana ide tersebut menghasilkan keuntungan bagi seseorang. Persoalan besar seperti harga diri bangsa, keutuhan bangsa, kesejahteraan rakyat tidak mungkin terpikirkan, apalagi teratasi oleh pemimpin yang tidak memiliki kekuasaan.

Maka tidak ada cara lain, kekuatan nasional harus disatukan, satu kata, satu langkah satu tujuan. Orang harus percaya diri bahwa kesatuan itu sangat penting, bahkan maha penting. Karena dengan bersatunya masyarakat, bangsa dan negara ini kuat. Selama ini memang ada kesan bahwa kesatuan itu buruk, ketika semua orang dijangkiti penyakit kritisisme yang tak kenal batas, serta individualisme yang tak tahu diri, maka persatuan dianggap masa lalu. Sikap dan pandangan itu yang harus diubah, sebab hal itu merupakan cara pa


Terkait