Risalah Redaksi

Dogma Akademik yang Menghambat Kreativitas

Jumat, 7 Juli 2006 | 12:16 WIB

Walaupun berbagai demonstrasi digelar, gerakan protes marak, demikian pula kajian kritis dikembangkan untuk menentang swastanisasi aset strategis negara, tetapi agenda reformasi itu tetap saja dijalankan, seolah tanpa cacat atau keberatan dari rakyat. Sikap itu itu bisa dipahami sebab semuanya berlandaskan hukum yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para wakil rakyat di parlemen, sekarang tinggal menjalankan sesuai dengan kesepakatan yang ada.

Tidak peduli bahwa keputusan yang dirumuskan secara terburu dan kemudian disyahkan dengan penuh manipulasi itu, tidak hanya merugikan rakyat, tetapi juga melumpuhkan negara.  Kekayan negara yang ditasarufkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat itu akhirnya digunakan untuk kepentingan segelintir orang dan itu sebagian besar orang asing pula, sehingga bangsa ini tinggal menerima sisanya.

<>

Tetapi anehnya cara pandang semacam itu dibenarkan oleh kaum intelektual di perguruan tinggi, dengan dalih telah sesuai dengan teori politik dan ekonomi modern yang ada. Negara harus dikurangi perannya dalam mengatur masyarakat dan masyarakat diharapkan mampu berdiri sendiri tanpa bantuan negara. Dan pemerintah yang baik adalah pemerintah yang paling sedikit memerintah, kecuali sekadar menjadi wasit dalam sebuah persaingan bebas.

Dengan cara pandang akademik yang bias liberal semacam itu maka swastanisasi merupakan cara terbaik dalam upaya membebaskan manusia agar tidak dihegemoni negara. Negara yang merupakan produk rakyat dan hasil tertinggi dari sebuah kebudayaan, telah dianggap sebagai musuh rakyat dan ancaman bagi kebudayaan. Cara pandang itu begitu merata, sebab seluruh teori pendidikan mengacu pada cara pandang yang sama yaitu kapitalis, neoliberal. Padahal kapitalisme adalah musuh terburuk dari kemanusiaan.

Cara pandang itu terbukti telah menghancurkan tidak hanya kemandirian bangsa, tetapi juga telah membabat kreativitas manusia. Bayangkan ketika sebuah bangsa, negara atau rakyat kekuarangan sesuatu, maka yang pertama dilakukan adalah bukan mendayagunakan tenaga pikiran dan sumber alam yang dimiliki, melainkan dengan cara membeli, kalau tidak punya dana, maka dengan menghutang. Kreativitas tidak boleh ditumbuhkan oleh sistem ini, sebab sistem itu bersifat kapitalistik dan konsumtif. Sebab di sana telah menunggu lembaga pedagang dana, yang mencari mangsa dengan menjerat melalui hutang. Kretivitas rakyat akan mengarah pada kemandirian dan menghambat konsumsi dan kerakusan, karena itu dihambat.

Bayangkan jutaan dolar dihabiskan negeri ini bukan untuk mendidik warga negara, tetapi ketika membutuhkan uang untuk dana pembangunan. Sekali lagi yang dilakukan  belakangan ini bukan mengerahkan tenaga akademik yang kratif itu untuk menghasilkan barang dan uang. Kaum intelekual dibiakan jadi ragmatis dan hedonis, tidak difasilitsi kreativitasnya, maka yang dilakaukan pemerintah adalah dengan menempuh jalan pintas menjual aset yang ada, yang targetnya sangat kecil hanya sekitar 3 triliun rupiah. Ini sebuah tindakan orang pemalas dan dungu. Orang tidak pernah sekolah saja tidak pernah berpikir dan bertindak tanpa nalar seperti itu. Tetapi kedunguan itu dilakukan kelompok terpelajar yang tidak mampu menjadi pemimpin bangsanya tetapi menjadi agen pemikiran asing sebagai sarana kapitalisme global.

Sungguh bangsa bebal, aset strategis negara seperti Bank Mandiri dan BUMN yang lain dijual hanya untuk mendapatkan sejumput uang, padahal bila aset tersebut dikembangkan secara benar, dalam waktu singkat akan menghasilkan ratusan triliun dan tidak perlu menghutang lagi. Dengan demikian negara masih memiliki aset guna menyantuni rakyatnya. Semua protes diabaikan, walaupun terbukti kebijakan itu telah memiskinkan negara dan menyengsarakan rakyat, tetapi tak ada evaluasi tak ada uintrospeksi dari para aparat Negara.

Tetapi apa hendak dikata, dogma akademik mengatakan demikian dan hal itu dikutip berulang-ulang, ditelan  tanpa penalaran. Hampir semua teori akademik diterima sebagai kebenaran yang kemudian dipraktekkan secara dogmatis tanpa sikap kritis, padahal teori tersebut dibangun atas cara pandang tetentu dan demi kepentingan tertentu, sementara para akademisi kita mengangap sebagai teori yang obyektif dan disinterested (tanpa pamrih).

Dogma akademik itu telah menyesatkan cara berpikir rakyat dan telah mengakibatkan para politisi dan profesional salah mengambil sikap dan tindakan, akibatnya Negara dan rakyat yang menjadi korban. Sejauh kaum akademik masih bersikap dogmatis dalam memahami teori, maka kesesatan cara berpikir dan pengambilan kebijakan, maka akan terus merugikan negara dan rakyat, karena itu paradigma pemikiran akademik yang dogmatis itu perlu diubah secara radikal, agar bangsa ini menadi bangsa kreatif dalam mengeksplorasi kekuatan yang dimiliki. Hanya dengan cara itu negeri bisa maju dan menjadi bangsa yang mandiri dan bermatabat (Abdul Mun’im DZ)


Terkait