Risalah Redaksi

Gairah Filantropi di Balik Rutinitas Kurban

Kamis, 15 September 2016 | 12:31 WIB

Gairah Filantropi di Balik Rutinitas Kurban

Ilustrasi (www.calstate.edu)

Ingat kurban, ingat sate, gule, rendang dan masakan-masakan berbahan baku daging. Bagi sebagian besar Muslim Indonesia, makan daging masih menjadi sebuah kemewahan. Sebuah keistimewaan yang bisa saja hanya datang selama satu tahun sekali. Karena itu, momentum kurban ditunggu secara suka cita sambil berharap bisa bersama-sama keluarga, kerabat, atau tetangga sekitar menikmati makan dengan menu yang spesial tersebut.

Apa yang sudah dipahami dari makna berkurban adalah pengorbanan harta dalam bentuk hewan ternak dari kalangan berpunya untuk disembelih yang kemudian dagingnya dibagi kepada masyarakat sekitar. Kurban juga dimaknai dengan menyerahkan apa yang sangat kita cintai untuk kepentingan Allah atau kepentingan publik yang lebih besar sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap putranya, Ismail. Kurban menunjukkan sikap kesalehan sosial karena ibadah yang dilakukannya bukan hanya hubungan individual antara dia dengan Allah, tetapi mencari keridhaan Allah dengan menyerahkan sebagian hartanya untuk kepentingan masyarakat luas.

Dalam upaya meraih makna kesalehan sosial ini, ibadah kurban dapat merekatkan kembali solidaritas sosial. Prosesi pemotongan hewan kurban selama ini selalu dikerjakan secara gotong-royong oleh masyarakat. Mereka yang sebelumnya jarang bertemu atau bertegur sapa karena kesibukannya masing-masing, kini bahu-membahu ikut memotong, menguliti, mengiris-iris, membungkus, dan membagikan ke rumah-rumah warga. Dari kerja sama inilah terbangun obrolan ringan yang mampu meningkatkan keakraban sesama warga dalam satu kampung atau satu kompleks. Sesuatu kemewahan bagi warga urban.

Selama ini perayaan Idul Adha dari tahun ke tahun berlangsung semakin meriah karena kian tingginya kesejahteraan masyarakat membuat semakin banyak warga bisa berkurban. Di Jakarta dan sekitarnya, dalam satu kompleks perumahan untuk kalangan menengah bisa dikumpulkan puluhan kambing dan beberapa ekor sapi. Jika dinilai dengan uang nilainya bisa mencapai puluhan dan ratusan juta rupiah. Ini menunjukkan bahwa banyak Muslim yang sejahtera dan ada potensi besar dari mereka untuk membantu sesama.

Setelah pesta daging kurban selesai, kehidupan pun kembali kepada situasi normal dengan menu makan apa adanya. Dengan meningkatnya potensi donasi dari kalangan kelas menengah Muslim, kini perlu dikembangkan mekanisme bagaimana agar para orang kaya tersebut dapat menyisihkan sebagian hartanya bagi kelompok yang belum beruntung secara materi ini. Kurban mampu menarik minat dengan iming-iming bahwa hewan yang dikurbankan bisa menjadi kendaraan saat berada di akhirat untuk menuju pintu surga. Dalam upaya mencari pendanaan untuk kepentingan masyarakat luas, tentu harus dilakukan upaya “pemasaran” yang menarik agar masyarakat tertarik berdonasi. Tingkat keimanan umat Islam tentu berbeda-beda, ada yang masih mengharapkan pahala dengan janji surga; dalam tingkatan yang lebih tinggi, ada yang tidak mengharapkan apa-apa selain ridha Allah. Ada yang ingin namanya disebutkan dalam bersedekah, ada pula yang malah tidak ingin diketahui namanya. Bagi setiap kelompok tersebut tentu membutuhkan pendekatan yang berbeda agak program penggalangan dana sukses.

Hal penting dalam pengelolaan dana masyarakat adalah pentingnya transparansi dan akuntanbilitas. Kadang, masyarakat bukan tidak mau menyumbang untuk kepentingan sosial, tetapi mereka tidak percaya, apakah dana yang mereka sumbangkan tersebut didistribusikan dengan baik kepada yang berhak. Hal ini terutama berlaku di masyarakat perkotaan. Pola tradisional dengan mempercayakan sepenuhnya kurban atau sedekah kepada tokoh agama setempat mungkin masih bisa berjalan dalam komunitas di pedesaan di mana masyarakat masih saling kenal dan ada kontrol sosial terhadap pendistribusiannya karena lingkupnya yang masih kecil. Dalam masyarakat perkotaan yang lebih individualistik dan dengan jangkauan layanan yang luas, mekanisme pelaporan yang transparan dan akuntanbel terhadap dana yang diterima mutlak dilakukan. Beberapa lembaga filantropi sudah berhasil melaksanakan mekanisme seperti itu sehingga mendapat kepercayaan yang baik dari masyarakat. Lembaga serupa lainnya, jika tidak melakukan hal yang sama, akan ditinggal oleh masyarakat. Para pengelola dana-dana dari umat, termasuk dalam lingkungan NU, yang belum menerapkan aspek transparansi dan akuntabilitas akan susah mendapat kepercayaan dari masyarakat luas. Tentang keterampilan mengelola keuangan yang baik kini bukan lagi hal yang sulit karena para ahli keuangan sudah banyak, di mana mereka juga telah memiliki pengalaman dalam mengelola keuangan korporasi atau institusi besar dengan manajemen modern. (Mukafi Niam)


Terkait