Risalah Redaksi

Kebebasan Berekspresi Tanpa Tata Nilai

Jumat, 17 Februari 2006 | 16:21 WIB

Orang modern percaya bahwa kebebasan akan memberikan kebahagiaan setinggi-tingginya, terutama kebebasan individu. Dengan cara berpikir seperti itu maka tuntutan terhadap hak-hak individu menjadi sangat menonjol saat ini dengan bungkus hak asasi manusia. Dengan tuntutan yang tinggi pada hak individu itu orang lalu lupa dan enggan memberikan tanggungjawab atau kewajiban sosial, kewajiban pada negara dan termasuk agama. Semua kelompok terlalu sadar pada hak dan selalu menuntut hak, sambil melupakan kewajiban atau tangungjawab sosial masing-masing.

Bersamaan dengan berhembusnya badai hak asasi manusia yang menghembus di seluruh sudut kehidupan, termasuk kehidupan agama, maka rata sudah tuntutan terhadap kebebasan berekspresi bagi para individu. Kebebasan itu seolah menjadi tujuan hidup bagi semua orang, terutama bagi para seniman. Mereka menuntut kebebasan berekspresi sebesar-besarnya sejalan dengan kebebasan kemampuan manusia untuk mencipta. Padahal persoalannnya menjadi lain, ketika mereka, terutama para seniman yang gagal membuat karya besar, serius dan mendalam, akhirnya dengan dalih mengekspresikan keindahan secara bebas, mereka kemudian jual satu hal yang bisa dijual yaitu badan dengan menyuguhkan erotisme dan pornografi.

<>

Itulah yang terjadi saat ini di tengah tumpulnya kreativitas seniman Indonesia, maka untuk mempopulerkan kesenian tidak ada lagi yang diperbuat kecuali hanya mengekploitasi erotisme, karena itu yang paling mudah, paling murah dan paling mungkin dilakukan, ketika semua jalan telah buntu. Baik dalam seni suara, seni tari, seni sastra, akhirnya mengekspos masalah seksualitas dengan vulgar bahkan sarkas, sehingga Pramoedya Ananta Toer menyebut sastra semacam itu sebagai sastra lendir, yang hanya mengumbar nafsu birahi, tanpa upaya mempertajam kerohanian manusia.

Sementara di sisi yang lain kebebasan berekpresi digunakan sebesar-besarnaya untuk mendiskriminasi dan menghina kelompok dan agama lain, seperti yang dilakukan para seniman dan wartawan Denmark. Cara pandang yang sinis terhadap Islam itu dan bangsa non Eropa pada umumnya itu merupakan cara pandang penjajah yang diskriminatif, sinis dan rasialis. Ironisnya negara semacam itu mengaku sebagai negara demokratis dan pluralis, lalu mengajarkan negara lain terutama Asia dan Afrika untuk menerapkan demokrasi, hak asasi manusia serta multikulturlisme ke sana. Dan bodohnya, para aktivis pro-demokrasi kita banyak yang dengan sukaria diajari demokrasi oleh kelompok yang tidak demokratis, dan diajari hak asasi manusia oleh mereka yang tidak memiliki perikemanusiaan.

Bagaimana mungkin deklarasi universal hak asasi manusia itu dirumuskan negara besar di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), sementara mereka itu adalah negara kolonial yang saat itu masih mencengkeramkan kuku penjajahannya. Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan sebagainya, yang menjadi pelopor utama PBB, belum menghapus darah penjajahannya, di saat yang sama mengibarkan bendera kebebasan manusia. Padahal hingga saat ini negara tersebut masih terus berpetualang mencari jajahan baru dengan neo-kolonialismenya, yang sebenarnya tidak kalah primitif dengan kolonialisme lama.

Kebebasan berekspresi memang tidak lebih upaya kolonial untuk melanggengkan penjajahan, mereka bisa menggelar agenda kebudayaannya seperti pornografi, kekerasan dan sebagainya. Upaya keras kelompok westernis untuk menerbitkan majalah porno di Indonesia sebenarnya sebuah langkah untuk membunuh kebebasan itu sendiri. Terbukti, semua majalah yang berpenampilan seronok semuanya telah lenyap dari peredaran, dan kebebasan pers yang mereka dambakan akan segera “digorok” oleh kelompok Islam garis keras. Itulah hukum besi, ketika sesuai berjalan tanpa batas, maka tanpa diduga akan muncul kekuatan besar yang akan menghadangnya, mereka orang kalap, gelap mata terhadap kebebasan, akhirnya menerima akibatnya, terbunuh kebebasannya sendiri.

Kebebasan dianggap sebagai bebas dari aturan, dogma, termasuk aturan moral, karena itu karya yang menganut sebuah norma dianggap tidak bebas dan dianggap bukan seni. Itulah standar tunggal tentang estetika yang ditetapkan Barat. Padahal setiap bangsa memiliki nilai dan norma sendiri, karena itu penghargaan pada aspirasi dan pandangan kelompok lain perlu diperhatikan, tidak bisa dipaksakan. Ini penting agar tidak ada represi dan manipulasi dalam mengekspresikan kebudayaan. (Munim DZ)


Terkait