Risalah Redaksi

Memaknai Kemerdekaan di Era Revolusi Digital

Sabtu, 18 Agustus 2018 | 11:45 WIB

Memaknai Kemerdekaan di Era Revolusi Digital

Ilustrasi (via vilans.nl)

Perayaan kemerdekaan ke-73 Indonesia yang berlangsung 17 Agustus 2018 meriah sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Upacara bendera berlangsung dengan khidmat. Beragam lomba menambah keceriaan masyarakat dari segala umur dan lapisannya. Di balik rutinitas yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun ini, sesungguhnya dunia telah mengalami perubahan sedemikian cepatnya karena revolusi teknologi digital. Apa yang terjadi ketika kemerdekaan dideklarasikan pada tahun 1945 dan pada 2018 ini sudah sangat berbeda. Teknologi telah mempengaruhi identitas bangsa d seluruh dunia secara keseluruhan. 

Identitas kebangsaan bagi anak-anak generasi milenial dan generasi sesudahnya memiliki makna yang sangat berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Bagi generasi baru yang tumbuh dengan teknologi digital ini, yang bisa mengakses segala informasi dari seluruh penjuru dunia, apa yang mereka maknai sebagai sebuah bangsa, tempat dirinya bernaung, tumbuh, dan mengaktualisasikan dirinya berbeda dengan generasi sebelumnya. 

Anak-anak muda kini, dan yang akan terlahir kemudian adalah masyarakat global akibat terpaan teknologi canggih.  Apa yang mereka kagumi, banggakan, layak untuk diperjuangkan, dan identitas yang mereka kenakan tak selamanya berasal dari sekitar lingkungan mereka yang dibatasi oleh wilayah geografis berupa negara. mereka mengidentifikasi diri dengan ikon-ikon global. Mereka bisa lebih mengagumi pesohor dari Hollywood daripada tokoh-tokoh setempat, menggilai makanan dari Jepang, menjadi penggemar berat olahraga sepak bola dari Amerika Latin, atau identitas-identitas khas dengan keunggulan spesifik yang membanggakan. Mereka ingin jadi bagian dari para pemenang dalam bidang-bidang tertentu, dari manapun asalnya. Masih ada nasioalisme yang menggelora seperti pembelaan mereka terhadap kejuaraan-kejuaraan antarnegara pada tim nasional mereka, tetapi hal tersebut tidak menghalanginya untuk mengidentifikasi diri dengan klub internasional pada saat yang berbeda. 

Ada pula sekelompok kecil, yang jumlahnya kini terus membesar, orang-orang yang sudah benar-benar menjadi masyarakat global. Mereka bekerja dari satu negara ke negara lainnya dengan gampang mengingat kompetensi unik yang dibutuhkan di banyak tempat. Sejumlah WNI termasuk kelompok ini. Mereka berkelana ke berbagai belahan dunia di mana keahlian mereka diakui dan dihargai dengan baik. Identitas kebangsaan bisa saja hanyalah sekedar paspor yang kapan saja bisa diganti jika dirasa sudah tidak memenuhi harapannya.

Berbagai negara berebut menjadi tempat bernaung orang-orang terbaik untuk menjadi bagian dari barisan pasukannya untuk bisa berkompetisi dalam beragam ranah. Orang-orang terbaik direkrut sejak dini. Sejumlah siswa potensial, para juara olimpiade dunia asal Indonesia, diberi beasiswa oleh negara lain dan selanjutnya berkarir di sana lain karena negara asal kurang memberi akses mereka untuk berkembang. Bahkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat memiliki kebijakan untuk menarik sumber daya manusia terbaik untuk berkarir di negara tersebut dengan mekanisme green card untuk membangun impian di negeri tersebut. 

Bagi korporasi, yang selalu berpikir rasional dengan tujuan utama untuk meraih keuntungan, mereka menanamkan uangnya di seluruh dunia yang memberikan potensi keuntungan terbaik. Pemilik perusahaan berkewarganegaraan tertentu tak selalu menempatkan investasinya di negara asalnya selama negara tersebut terlalu banyak birokrasi dan hambatan yang menyebabkan bisnis susah berkembang. Korporasi memilih negara yang mampu memberikan penawaran terbaik, perlindungan hukum atau kesempatan berkembang. 

Toh, korporasi atau orang-orang super kaya juga beru “mengakali” pembayaran pajak dengan cara yang legal, yang tidak melanggar hukum. Mereka beroperasi di banyak wilayah, membedakan kedudukan hukum perusahaan dan tempat operasinya, dan sejumlah langkah yang memungkinkan pembayaran kepada negara dilakukan seminimal mungkin. Pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara. Kini,  negara, dengan aturan yang diciptakannya sendiri, akhirnya harus melawan korporasi yang dimiliki oleh individu-individu yang memiliki pengaruh besar.

Kepentingan negara bahkan bisa kalah dengan korporasi dalam perjanjian-perjanjian tertentu. Indonesia memiliki pengalaman panjang terkait Freeport yang hingga kini perundingannya masih belum selesai. Ada rasa ketidakadilan di mana kontribusi yang diberikan kepada negara sangat sedikit. Korporasi raksasa bahkan memiliki jumlah karyawan dan pendapatan tahunan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan negara-negara kecil. Pengaruh yang mereka ciptakan lebih besar dari negara.

Tingkat pengaruh sebuah negara tidak ditentukan oleh seberapa luas wilayah yang dimiliki atau seberapa banyak penduduknya. Potensi berupa luas wilayah atau penduduk hanya akan menjadi beban jika tidak dikelola dengan baik. Mereka hanya jadi pasar bagi produk-produk perusahaan dari negara lain. Singapura dan Hong Kong, dengan wilayah dan penduduk kecil, mampu menjadi pusat keuangan dunia. Korea Selatan, dengan jumlah penduduk yang tidak begitu besar, mampu prestasi olahraganya di olimpiade lebih baik dari negara-negara dengan jumlah penduduk besar. Masing-masing negara membangun kekhasan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Jangan sampai kita, negara dengan penduduk besar dengan potensi besar, orang-orang terbaiknya tidak tergarap, atau mereka bahkan lari ke negara lain yang lebih menjanjikan. 

Kedaulatan negara kini tidak lagi sebagaimana sebelumnya dengan semakin kuatnya lembaga-lembaga internasional seperti WTO yang berhak menghukum negara-negara yang dinilai menghalangi perdagangan bebas. Negara secara sengaja menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada organisasi regional seperti Uni Eropa (UE) untuk kepentingan besama komunitas Eropa. Inisiatif yang sama juga dilakukan dengan membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang kemungkinan di masa yang akan datang tampaknya akan semakin mengintegrasikan diri. 
 
Di tengah dunia yang semakin terintegrasi ini, yang mana identitas-identitas lokal semakin terserap dalam warna global. Upaya-upaya untuk memisahkan diri dari negara masih saja ada. Ada yang dilakukan dengan cara-cara yang damai melalui referendum seperti di Catalonia dan Skotlandia. Suku Kurdi tak henti-hentinya berusaha menciptakan sebuah negara tersendiri melalui cara-cara militer. Konflik untuk mempejuangkan kemerdekaan masih terjadi di mana-mana. 

Para penyelenggara negara kini tak lagi bisa menanamkan jargon-jargon kosong mengatasnamakan nasionalisme sementara mereka tidak mampu memperbaiki layanannya kepada masyarakat karena kini banyak pilihan. Orang-orang terbaik yang sebenarnya dibutuhkan untuk membangun negara ini, dengan gampang bisa pindah ke negara lain jika negara tidak menghargai dan memberi ruang mereka untuk berkembang. Korporasi, dengan kekuatan modal yang mereka miliki, bisa memilih tempat-tempat terbaik untuk investasi. 

Negara juga harus beradu cerdik dalam menentukan membuat aturan dan melakukan perjanjian dengan korporasi atau mereka hanya akan mendapatkan pepesan kosong. Politisi di negara-negara korup bersedia menukar kepentingan nasional hanya demi keuntungan pribadi saat melakukan perjanjian dengan korporasi internasional. Yang lalu menimbulkan perasaan tidak adil pada masyarakat. 

Negara masih berdaulat atas banyak hal, tetapi kedaulatan kini telah terbagi kepada banyak kekuatan baru seperti lembaga-lembaga internasional, korporasi, organisasi regional, bahkan rakyat kini semakin berdaya. Inilah situasi baru yang harus dihadapi. Era kolonialisme dalam bentuk pendudukan fisik sudah berakhir, tetapi bukan berarti eksploitasi telah berakhir, melainkan berubah dalam bentuk baru yang tampaknya lebih halus, tetapi sesungguhnya sama-sama eksploitatif. Diperlukan cara berpikir baru, strategi baru dan kapasitas baru untuk menanganinya. Selamat HUT ke-73 Republik Indonesia. (Achmad Mukafi Niam)


Terkait