Risalah Redaksi

Membangun Sistem yang Bisa Dorong Masyarakat Tunaikan Zakat

Sabtu, 10 Februari 2018 | 10:00 WIB

Rencana Kementerian Agama untuk membuat aturan pemotongan zakat profesi sebesar 2.5 persen dari gaji menuai kontroversi di publik. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab dari rencana tersebut seperti golongan kepangkatan berapa yang layak dipotong agar sesuai dengan nishab, gaji kotor atau gaji bersih, transparansi pengelolaan, sampai pertanyaan akan keterlibatan negara dalam urusan yang dianggap urusan privat.
 
Sekalipun demikian, niat baik pemerintah untuk memfasilitasi aparatur sipil negara (ASN) Muslim untuk mengelola pembayaran zakatnya dengan mudah patut didukung. Kemudahan ini akan meningkatkan capaian pembayaran zakat yang selama ini dianggap masih jauh dari potensi yang ada. Yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana masukan-masukan dari masyarakat tersebut bisa diakomodasi dalam kebijakan yang akan dibuat. 

Dari lima rukun Islam, mungkin pembayaran zakat yang pelaksanaannya paling minim dibandingkan dengan rukun yang lain. Kita menyaksikan antrian haji bisa mencapai puluhan tahun, bulan puasa juga disambut dengan meriah, masjid untuk shalat juga berdiri megah di mana-mana. Sementara itu, untuk pembayaran zakat, yang saat ini sudah terbayarkan masih jauh dari potensi yang ada. Baznas menyebut potensi zakat di Indonesia mencapai 217 triliun rupiah, sementara capainnya hanya sekitar 5.1 triliun. 

Angka-angka potensi zakat tersebut jika dimaksimalkan akan mampu membantu mengurangi kemiskinan yang masih menjadi momok. Di Indonesia, masih terdapat 26.58 juta penduduk miskin yang memerlukan bantuan. Belum lagi persoalan pendidikan, kesehatan, bencana alam, dan lainnya. Terdapat tujuh golongan yang berhak mendapatkan zakat selain fakir miskin. Sebagian persoalan umat Islam tentu bisa dipecahkan dengan keberadaan dana-dana zakat tersebut. 

Kebijakan pemerintah saat ini juga sudah kondusif dengan adanya pengakuan bahwa pengeluaran zakat bisa menjadi pengurang pajak. Dengan demikian, tidak akan terjadi pengeluaran ganda antara zakat dan pajak. 

ASN, secara umum merupakan kelompok kelas menengah dibandingkan dengan penduduk yang menggantungkan diri dari sektor pertanian atau sekedar menjadi buruh alihdaya yang setiap saat kontraknya bisa diputus. Tak heran, jutaan orang mengikuti pendaftaran untuk menjadi pegawai negeri sipil. Mereka bahkan rela menjadi tenaga honorer selama bertahun-tahun dengan gaji pas-pasan agar nantinya bisa diangkat menjadi PNS. Ini merupakan posisi yang diimpikan oleh banyak orang karena memberi penghasilan pasti dan lumayan. Posisi PNS belakangan bahkan lebih menjanjikan ketika pemerintah berupaya memberi renumerasi yang baik kepada aparatnya dengan beragam tunjangan, termasuk adanya gaji ketiga belas. Jangan sampai harta mereka berputar-putar di antara mereka sendiri karena ada hal orang lain pada harta tersebut. 

Kita tentu berharap besar agar kewajiban zakat yang ada pada jutaan pegawai negeri tersebut bisa terbayarkan dan terkelola dengan baik. Kementerian Agama menyebut potensi zakat untuk pegawai negeri mencapai 15 triliun. Potongan atas gaji yang dilakukan secara reguler akan membuat pengelolaan zakat lebih terencana dengan baik. Ada jumlah tertentu yang bisa dengan pasti dialokasikan untuk beasiswa, ada anggaran yang disiapkan untuk bencana, ada bagian yang bisa didistribusikan kepada orang sakit, dan lainnya. 

Beragam riset yang dilakukan di sejumlah negara maju menunjukkan, peran pemerintah dalam membantu mengelola keuangan pegawainya ikut mendorong kepatuhan, seperti adanya kewajiban pembayaran dana pansiun. Jika diberi pilihan, banyak orang memilih untuk tidak mengikuti program pansiun. Mereka yang enggan membayar dana pansiun tidak berpikir akan masa depan yang jauh, ketika penghasilan sudah menurun.  Mereka merasa bahwa jika saat ini penghasilan tinggi, selamanya akan terus tinggi. Jika untuk pembayaran sesuatu yang sifatnya untuk kepentingan diri sendiri saja berat, bagaimana untuk hal lain yang nilainya lebih abstrak? Tentu lebih sulit melaksanakannya. 

Ketika punya uang, kita cenderung meningkatkan kenyamanan hidup. Jika sebelumnya hanya makan tempe, maka kemudian beralih ke telor. Jika sudah biasa makan telor akan berganti makan daging, atau berwisata kuliner. Tak akan ada istilah cukup untuk kepentingan lain, bahkan termasuk untuk menabung. Para perencana keuangan menyarankan, jangan menabung dari sisa kebutuhan yang ada karena hal itu tidak akan pernah tercapai, tapi tabungan harus dialokasikan di depan sebelum pengeluaran lain. Zakat juga harus diperlakukan secara demikian bagi yang sudah berwajib dengan memotongnya di depan. Kalau tidak, besar potensinya tak terbayarkan. 

Kini tinggal bagaimana pemerintah menerima masukan-masukan dari berbagai kalangan. Sejumlah lembaga zakat sudah dikelola dengan profesional sehingga mendapat kepercayaan publik. Mereka memiliki pengalaman panjang bagaimana mengelola dana-dana zakat agar sampai ke tangan mustahik. Badan zakat yang dikelola pemerintah dalam persepsi publik selama ini dianggap kurang lincah karena masih mengikuti gaya birokrasi yang kaku. Jika tata kelolanya bagus, para ASN yang membayar zakatnya akan puas dan bangga. Bisa-bisa mereka tidak hanya membayar kewajibannya saja, tetapi juga memberikan sedekah atau infak dalam jumlah yang memadai. Inilah solusi menang-menang (win-win) yang akan memuaskan semua pihak. 

Upaya yang dilakukan pemerintah merupakan kewenangan yang dimiliki terhadap ASN. Sementara itu untuk sektor swasta, sebaiknya perusahaan-perusahaan juga memfasilitasi para pegawai Muslimnya dalam pembayaran zakat untuk memudahkan pembayaran tersebut sehingga tingkat kepatuhan dalam berzakat meningkat. Mereka bisa membentuk unit pengelola zakat (UPZ) atau bekerjasama dengan lembaga zakat yang sudah ada seperti LAZISNU. (Achmad Mukafi Niam)


Terkait