Risalah Redaksi

Membuat Aturan Pemakaian Cadar secara Dini dan Tuntas

Ahad, 18 Maret 2018 | 00:30 WIB

Membuat Aturan Pemakaian Cadar secara Dini dan Tuntas

Ilustrasi (Reuters)

Dunia yang semakin terhubung menyebabkan budaya atau keyakinan yang sebelumnya hanya hidup di kawasan tertentu akhirnya menyebar dengan cepat ke wilayah lainnya. Salah satu yang kini menjadi perhatian publik Indonesia adalah maraknya perempuan yang menggunakan cadar, model pakaian yang sebelumnya hanya populer di kawasan Timur Tengah. Era 90-an dan 2000 awal, penggunaan cadar relatif jarang. Kini, perempuan bercadar dengan gampang ditemui di transportasi umum atau tempat-tempat publik lainnya. 

Apa yang terjadi dengan cadar sesungguhnya sisi ekstrem lain dari munculnya pengguna pakaian seksi dan mini yang juga dikenakan oleh sebagian orang yang merayakan kebebasan atas nama demokrasi dan hak asasi manusia. Cadar, menggambarkan upaya perlindungan diri dari liberalisme dan sekularisme. Pilihan cara berpakaian yang beragam semakin menunjukkan keragaman orientasi ideologi di Indonesia.
 
Bagi para ulama, soal cadar merupakan persoalan khilafiyah. Mayoritas menyatakan aurat wanita cukup dengan menggunakan jilbab. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa wanita harus menggunakan cadar sekalipun pendapat ini sifatnya minoritas, sebagaimana adanya keyakinan bahwa jilbab juga tidak wajib karena yang penting adalah berpakaian secara sopan sesuai dengan pandangan masyarakat setempat. Kelompok bercadar bisa dikategorikan sebagai pengikut Salafi dan Wahabi yang dalam pandangan keagamaannya konservatif dan tekstual. Kecenderungan perempuan bercadar ini semakin meluas. Bukan hanya orang dewasa, anak-anak perempuan, yang ibunya bercadar, juga dikenakan cadar orang tuanya.

Persoalan mengemuka ketika berhadapan dengan kode etik berpakaian yang berlaku di ranah publik seperti perguruan tinggi. Baru-baru ini, terdapat kontroversi terkait pelarangan penggunaan cadar bagi mahasiswi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Larangan itu kemudian dicabut. Sebelumnya UIN Syarif Hidayatullah juga melakukan pelarangan, tetapi tidak menjadi kontroversi yang meluas. UIN Sunan Ampel Surabaya tidak melakukan pelarangan secara resmi, tetapi memberi perhatian atas mahasiswi bercadar. 

Jika kecenderungan penggunaan cadar ini meluas, tentu akan semakin besar kemungkinan adanya mahasiswi yang bercadar di berbagai kampus. Bahkan anak-anak yang sudah memakai cadar karena keluarganya bercadar ketika masuk sekolah tingkat menengah pertama maupun atas, tentu akan diwajibkan bercadar atau sudah memiliki keyakinan bercadar. Bagaimana sikap pemerintah, sampai saat ini belum ada aturan baku yang bisa menjadi panduan bersama.

Penggunaan jilbab sendiri pernah menuai kontroversi di sekolah-sekolah negeri. Pada era awal Orde Baru, mereka yang berjilbab akan dikeluarkan dari sekolah. Tetapi seiring dengan perjuangan umat Islam, maka penggunaannya akhirnya diizinkan. Terakhir, jilbab bahkan diizinkan digunakan di lingkungan polisi dan TNI. Lalu bagaimana sikap kita dalam mengakomodasi sikap keagamaan kini tentang tata cara berpakaian yang dalam pandangan umum masih dianggap ekstrem. Apakah perlakuan cadar sama dengan jilbab? Ini yang harus menjadi perhatian bersama para pemangku kepentingan institusi pendidikan.

Sekolah atau kampus memiliki aturan berpakaian internal yang dipahami sebagai suatu hal yang normal seperti dilarang menggunakan sandal atau kaos oblong. Sejauh mana institusi pendidikan mengakomodasi keyakinan dalam tata cara berpakaian peserta didiknya. Sekolah mengatur batasan rok siswi yang tidak boleh di atas lutut, sekalipun sang siswi memiliki keyakinan pribadi bahwa boleh saja memakai rok pendek. Dengan logika yang sama, apa mungkin untuk mengatur bahwa dalam ruang belajar, wajah siswa harus terlihat. 

Juga terdapat stigma bahwa mereka yang bercadar merupakan kelompok konservatif atau Islam radikal yang ingin mengubah NKRI. Untuk hal itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang komprehensif tentang sikap-sikap keagamaan kelompok bercadar ini. Berapa besar yang sebenarnya sekadar ikut-ikutan karena ingin “berhijrah”, dalam bahasa populer yang digunakan oleh orang-orang yang sebelumnya memiliki pengetahuan agama biasa-biasa saja tapi kemudian menggunakan cadar. Ada pula kelompok tarekat yang juga mewajibkan pengikutnya bercadar yang secara umum mengikuti paham keagamaan Aswaja. Pengikut Salafi dan Wahabi menentang adanya tarekat.

Jika hasil riset menunjukkan adanya persentase besar penentangan terhadap NKRI dari orang-orang yang bercadar tentu harus ada upaya pembinaan dan penanaman nilai-nilai kebangsaan. Demokrasi memang menghargai perbedaan pandangan, tetapi jika ada kelompok yang menggunakan demokrasi untuk memperkuat dirinya, dan kemudian menghancurkan demokrasi itu sendiri, harus dilakukan upaya untuk mencegah munculnya kekuatan yang merusak tersebut.

Urusan agama memang soal sensitif di Indonesia. Apalagi jika hal tersebut sudah memasuki ranah politik. Ada kelompok-kelompok politik tertentu yang ingin menggunakan isu cadar sebagai bahan untuk menjatuhkan legitimasi pemerintah, yaitu dengan menanamkan pesan bahwa pemerintah tidak mengakomodasi keyakinan umat Islam. Atau ada pula politisi yang ingin meraih simpati dari kelompok Islam konservatif untuk mendulang dukungan dalam pemilihan umum. 

Sebelum urusan tersebut membesar dan kontroversi soal cadar meluas di berbagai kampus atau sekolah karena perbedaan kebijakan dari masing-masing pimpinan institusi, pemerintah sebaiknya segera membuat panduan resmi. Tentu saja dengan tetap memperhatikan partisipasi dan masukan publik. Hal yang sama juga perlu dilakukan di lingkungan pemerintahan untuk mengantisipasi kemungkinan yang sama. Lebih baik kita melakukan antisipasi daripada bereaksi. (Achmad Mukafi Niam)


Terkait