Kompleksitas permasalahan menjadikan persoalan Palestina tak mudah untuk diselesaikan, mengingat beragam kepentingan yang melingkupinya.
Konflik di Palestina timbul tenggelam dari waktu ke waktu dengan korban yang terus berjatuhan, terutama di pihak Palestina. Entah sudah berapa kali pertempuran dan perang berlangsung sejak 1948 hingga kini yang tampaknya dalam waktu dekat belum ada tanda-tanda berhenti dan sampai ada solusi komprehensif yang menghasilkan perdamaian yang mapan dengan terpenuhinya hak-hak rakyat Palestina.
Dalam perjalanan waktu, Israel semakin lama semakin menunjukkan dominasinya dengan teknologi militernya yang semakin canggih dan tingkat perekonomiannya yang semakin maju ditambah dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat; sementara Palestina yang terus mengalami penindasan menjadi semakin tidak berdaya.
Perpecahan internal antara faksi Fatah dan Hamas semakin melemahkan kondisi internal Palestina yang dalam situasi seperti ini seharusnya lebih menekankan persatuan dibandingkan dengan kepentingan faksi atau kelompok masing-masing. Tanpa banyak hambatan, tanah-tanah di Tepi Barat terus diokupasi oleh Israel untuk dijadikan sebagai pemukiman atau lokasi usaha. Jika secara de facto sudah dikuasai, maka semakin sulit mengambil alih hak tersebut.
Beberapa negara Arab telah melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Terakhir pada 2020, normalisasi dilakukan oleh Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko. Situasi tersebut tentu menyakitkan bagi Palestina yang berpendapat bahwa hal tersebut mengkhianati perjuangan yang selama ini mereka lakukan. Mungkin saja negara-negara tersebut lelah dengan situasi yang tak berubah, bahkan semakin memburuk, atau orientasi kepentingan ekonomi yang semakin dominan karena hubungan dengan Israel memang memberikan keuntungan ekonomi.
Rakyat Palestina tak punya banyak pilihan. Ancaman keamanan berupa konflik yang bisa pecah kapan saja dan kemiskinan yang melingkupinya membuat mereka tidak memiliki kesempatan untuk menumbuhkembangkan potensi yang mereka miliki. Kemampuan militer jelas kalah jauh sementara kapasitas diplomasi pun lemah ketika berhadapan dengan negara-negara raksasa yang mendukung Israel. Berbagai resolusi PBB yang berusaha memperjuangkan kepentingan Palestina diveto oleh Amerika Serikat.
Pendekatan kekerasan yang dilakukan Hamas juga berbalik dengan korban rakyat Palestina sendiri ketika Israel melakukan respons balik. Kekerasan juga membuat citra perjuangannya secara internasional menurun karena menjadi alasan bagi Israel untuk melakukan pembalasan dengan dampak sejumlah korban meninggal dan kerusakan infrastruktur. Perjuangan bersenjata yang dilakukan oleh Palestina terbukti mengakibatkan kekalahan. Perang tahun 1948 dan 1967 yang didukung oleh koalisi negara-negara Arab pun hanya menghasilkan kekalahan yang menyakitkan dengan dikuasainya wilayah yang dahulunya merupakan daerah mandat Palestina.
Demokrasi dan sistem pemerintahan modern yang diterapkan di Israel yang selaras dengan budaya Barat membuat masyarakat di negara-negara Barat merasa lebih dekat dengan Israel yang akhirnya menghasilkan dukungan besar dari negara besar dan kaya. Ini menjadi modal besar dalam melakukan diplomasi dan perundingan; menutup kejahatan kemanusiaan yang selama ini telah dilakukan Israel.
Yerusalem merupakan kota kuno yang menjadi pusat dari tiga agama samawi, Yahudi, Nasrani, dan Islam. Jejak Nabi Ibrahim, Nabi Sulaiman, Nabi Isa, hingga Nabi Muhammad yang berangkat ke Sidratul Muntaha dari Yerusalem ini membuat kota tua ini memiliki nilai spiritual yang sangat besar bagi agama-agama ini. Perang Salib yang berlangsung selama beberapa abad merupakan upaya untuk memperebutkan otoritas atas kota tersebut. Hingga kini pun keinginan Israel untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota tak bisa dilepaskan dari motivasi agama.
Baik di Palestina maupun Israel, masing-masing memiliki kelompok ekstrem. Di Palestina, kelompok ini menginginkan dimusnahkannya negara Israel yang merebut tanah mereka. Sementara itu, di Israel, kelompok ekstrem menghendaki terwujudnya Israel Raya yang mencerminkan kebesaran masa silam di masa Nabi Daud ketika bangsa Israel mengalami kejayaan. Tanah-tanah yang dianggap sebagai wilayah Israel Raya tersebut kini masuk dalam teritori negara lain yang dalam jangka panjang berusaha mereka rebut, minimal wilayah Palestina dan terutama seluruh Yerusalem.
Di negara-negara Muslim pun, situasinya tidak sederhana. Kedekatan psikologis masyarakat Muslim dengan perjuangan Palestina membuat para politisi menjadikan persoalan tersebut bagian dari kampanye untuk memperoleh dukungan. Bagi kelompok seperti ini, kepentingan sebenarnya adalah kepentingan pribadi dan kelompoknya, kepentingan rakyat Palestina sendiri hanya sekunder sejauh kepentingan primer mereka terpenuhi.
Sementara itu, kelompok-kelompok radikal menjadikan isu Palestina sebagai pembenaran untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama atau respons dari bentuk ketidakadilan di seluruh dunia yang mana hal ini merusak citra Islam sebagai agama damai.
Kompleksitas permasalahan tersebut menjadikan persoalan Palestina tak mudah untuk diselesaikan, mengingat beragam kepentingan yang melingkupinya. Satu kepentingan bisa tidak terakomodasi jika kepentingan lainnya dipenuhi. Butuh kompromi dari banyak pihak untuk menghasilkan perdamaian, bahkan butuh ketegasan ketika ada satu pihak yang memaksakan kehendak. Namun, siapa yang mampu menjadi hakim dan penjaga keamanan, ketika kekuatan besar dunia pun bertindak untuk kepentingan pihak tertentu?
Semakin lama persoalan ini tidak terselesaikan, maka yang paling menderita adalah rakyat Palestina yang terus hidup dalam situasi terancam keselamatannya dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Dari satu generasi ke generasi berikutnya tak banyak mengalami perubahan.
Persatuan negara-negara yang berkomitmen memperjuangkan perdamaian dunia, baik dari negara Muslim atau non-Muslim mutlak dilakukan agar rakyat Palestina memperoleh haknya sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat sepenuhnya sejajar dengan negara lain. Palestina, dengan segala keterbatasannya, tak akan mampu menuntut hak-hak kemerdekaannya sendirian. Karena itu, menjadi tanggung jawab kita semua untuk turut membantu perjuangan mereka. (Achmad Mukafi Niam)