Nasional

Bukan Konflik, yang Terjadi di Palestina adalah Penjajahan

Sabtu, 22 Mei 2021 | 12:30 WIB

Bukan Konflik, yang Terjadi di Palestina adalah Penjajahan

Foto: alarabiya.net

Jakarta, NU Online
Sejumlah pakar mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi di Palestina tidak dapat dinamakan sebagai konflik antar dua kelompok Palestina dan Israel. Pasalnya, kejadian demi kejadian di kawasan tersebut lebih nampak sebagai sebuah penjajahan dari komunitas satu terhadap komunitas lainnya. Oleh karena itu diperlukan peran dunia internasional secara menyeluruh untuk menyelesaikan penjajahan tersebut.


Pandangan itu disampaikan para narasumber dalam Konferensi Virtual bertema Solidaritas Indonesia bagi Rakyat di Wilayah Pendudukan Israel atas Palestina di hari kedua pada Sabtu, (22/5).


“Apa yang terjadi di Palestina bukan konflik, tapi yang terjadi adalah penjajahan,” kata Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga, Kementerian Luar Negeri, Muhsin Syihab dalam konferensi tersebut.

 

Ia merujuk temuan pelapor khusus PBB Makarim Wibisono yang mengungkapkan ketidakberdayaan kelompok Palestina atas dominasi Israel seperti penangkapan sepihak, dan penahanan dalam jangka waktu yang lama.


Menurutnya, selama penjajahan terjadi, pihak Palestina nampak sangat tidak berdaya melawan kekuatan Israel. Maka menurutnya, diperlukan intervensi komunitas internasional seperti PBB, OKI dan komunitas dunia lain dalam rangka membantu Palestina keluar dari penjajahan tersebut.


Walau begitu, ada sejumlah tantangan dari upaya penyelesaian tersebut di antaranya dinamika di dalam tubuh PBB sendiri yang mendukung kelompok Israel. Dukungan tersebut membuat keberpihakan PBB pada Palestina berkurang.


“Ada perbedaan pandangan dalam PBB. Beberapa negara selalu nyatakan kecaman terhadap aksi teror dan dukungan terhadap hak Israel untuk membela diri. Ditambah lagi hak veto anggota tetap DK PBB yang dapat menghambat aksi DK PBB,” ujar dia.


Tantangan lain datang dari dunia Arab sendiri yang terikat kepentingan perdagangan dengan Israel, seperti Turki, Mesir, Qatar, Arab Saudi, Pakistan, dan yang lain. Kepentingan ini membuat suara negara-negara Arab tidak sepenuhnya utuh dalam membela Palestina.


Argumentasi kedua ini diperkuat oleh Pengamat Hubungan Internasional dan Founder of Synergy Policies, Dinna Prapto Rahardjo. Menurutnya, Persekutuan antarnegara Arab dan negara-negara mayoritas Islam cenderung tidak bertahan lama. “Faktornya adalah ekonomi, tahta, dan sistem pemerintahan. Ini dipahami betul oleh Israel, sehingga melemahkan solidaritas terhadap Palestina,” ujar Dinna Prapto.


Dalam kondisi ketidaksolidan kelompok Arab, Israel justru memperkuat jejaring ekonominya hingga ke luar komunitas Arab yang membuatnya memiliki banyak relasi dalam mendukung kepentingannya. Inilah menurut dia yang bisa menjelaskan mengapa Amerika Serikat selalu ikut apapun suara dari Israel dalam kasus Palestina.


“Ekspansi perdagangan Israel dilakukan ke berbagai negara mulai dari negara-negara kecil sampai ke negara besar, mulai pertanian, industri, teknologi dan yang lain. Banyak negara mengadopsi dari Israel, dan Israel memanfaatkan ketergantungan negara-negara itu. Sedangkan lingkaran dalam yakni negara-negara mayoritas Muslim sibuk dengan kesibukan internal, termasuk konflik antar negara muslim,” jelasnya.


Dengan dukungan banyak negara yang terbangun atas kepentingan ekonomi, Israel berani menentang dan melanggar upaya resolusi yang dibuat oleh PBB. Keberanian ini dilandaskan dukungan negara-negara besar yang memiliki hak veto seperti Amerika.

 

“Israel tidak pernah mengikuti resolusi PBB, apapun itu. Selalu dilanggar, dan itu didukung Amerika,” ungkapnya.


Peran Indonesia


Sementara itu, peran Indonesia sendiri menurut Dinna belum maksimal. Hal itu dikarenakan dalam peta politik yang dibangun, Indonesia berada jauh di luar konflik langsung. “Indonesia tidak berada di sentral lingkaran, berada di luar yang relatif jauh. Karena keberadaan Indonesia tidak langsung berkenaan dengan keseharian mereka,” katanya.


Namun Muhsin Syihab memiliki pandangan berbeda terkait peranan Indonesia ini. Menurutnya, justru Indonesia memiliki peran strategis mulai tahun 80-an dan dukungan Indonesia pada Palestina berlangsung hingga saat ini.


“Kita lihat pada 16 November 1988 Indonesia akui kemerdekaan Palestina. Kemudian pada 26 November 2012 Indonesia Co-sponsori resolusi MU PBB yang memberikan status Palestina sebagai non-member observer state di PBB. Indonesia juga mendorong keanggotaan penuh di PBB dengan aktif di dalam Komite Palestina, termasuk menjadi Ketua/Wakil Ketua Biro, serta rutin berikan bantuan kemanusiaan,” ujar Muhsin Syihab.


Ia juga mengungkapkan peran Indonesia di PBB yang disampaikan Menlu Retno Marsudi dalam Pertemuan MU PBB mengenai Palestina, pada 20 Mei 2021. Indonesia mendorong tiga hal prinsipil yakni: 1)  Penghentian kekerasan segera, 2) Memastikan bantuan kemanusiaan dan perlindungan rakyat, dan 3) Lanjutkan proses negosiasi yang kredibel.


Pewarta: Ahmad Rozali
Editor: Muhammad Faizin