Risalah Redaksi

Meneladani Gus Dur

Sabtu, 24 Desember 2016 | 14:30 WIB

Memperingati para tokoh yang sudah meninggal mengingatkan kembali kepada kita hal-hal besar yang telah mereka lakukan, kontribusi yang telah mereka berikan kepada masyarakat, dan apa perjuangan atau visi besar yang harus kita pelihara dan teruskan. Kepada Rasulullah, kita memperingati hari kelahirannya dengan mengadakan Maulid Nabi. Dalam hal peringatan para kiai dan ulama, tradisi yang berjalan di Indonesia adalah peringatan hari kematiannya yang dikenal dengan nama haul.

Haul Gus Dur merupakan salah satu acara yang ditunggu-tunggu oleh warga NU dan masyarakat pecinta Gus Dur. Acara selalu berlangsung pada akhir Desember, bulan meninggalnya Gus Dur, di berbagai tempat dengan acara utama di Ciganjur, Jakarta Selatan, kediaman beliau saat masih hidup. Acara selalu berlangsung meriah dengan testimoni para tokoh yang pernah bersentuhan dengan kehidupan beliau atau mendukung pemikiran-pemikiran visioner beliau.

Sampai dengan haul ketujuh ini, teladan apa yang sudah berhasil kita tiru dari Gus Dur? Apakah kesederhanaannya? Apakah kecintaannya pada ilmu pengetahuan? Apakah kesenangannya menjalin silaturrahmi? Apakah keberaniannya menghadapi kezaliman? Hal tersebut hanya beberapa karakter pribadi yang melekat pada Gus Dur. Masih panjang daftanya jika kita menyebut karakter dan perjuangan yang telah dilakukan oleh Presiden RI ke-4 ini jika kita ingin melakukan refleksi.

Jangan sampai kita hanya terjebak pada seremoni-seremoni tanpa melakukan kontemplasi diri guna meneladani Gus Dur atau para kiai besar lain yang berhasil melakukan sesuatu bagi masyarakat atau bangsa ini. Untuk menjadi seorang tokoh besar, tidak datang dengan tiba-tiba. Ada proses panjang yang harus dilakukan, ada tindakan besar yang berani diambil.

Karakter yang dimiliki oleh Gus Dur mencerminkan prasyarat dasar untuk bisa berhasil dalam hidup. Kegemaran dalam belajar, kesederhanaan, silaturrahmi, keberanian dan beberapa hal lainnya inilah yang harus kita mulai terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Resep sederhana untuk bisa sukses tetapi tak banyak di antara kita yang berhasil melakukannya.

Tradisi membaca yang sudah dijalani sejak kecil membuat Gus Dur memiliki banyak sekali pengetahuan, membuat dirinya terbuka akan dunia luar, tidak hanya terjebak pada apa yang ada di sekelilingnya, mempelajari apa yang terjadi di masa lalu dan mampu memperkirakan apa yang akan terjadi di masa mendatang. Jika kita berkaca pada temuan dari UNESCO, maka minat baca penduduk Indonesia adalah 0.001. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, berarti hanya ada satu orang yang suka membaca. Artinya, dari 250 juta penduduk Indonesia, hanya 250 ribu yang suka membaca. Tak heran, Indonesia hanya menduduki peringkat kedua dari bawah dari 61 negara yang disurvey oleh UNESCO. Bagaimana Indonesia bisa menjadi bangsa besar dengan tradisi literasi yang sangat rendah?

Tentang kesederhanaan Gus Dur, ini juga menjadi hal yang sangat penting untuk diteladani saat ini. Hidup sesuai dengan kemampuan mencegah kita dari perilaku koruptif. Inilah penyakit kronis yang diderita oleh bangsa Indonesia. Menurut lembaga Transparasi Internasional (2016), Indonesia masih menduduki peringkat ke-88 sebagai negara terkorup sedunia dengan indeks persepsi korupsi 3.6 sementara indeks tertinggi adalah 10. Ibarat sekolah, dalam ujian kita masih sangat jauh dari standar untuk lulus.

Banyak di antara kita ingin hidup bermewah-mewahan dengan cara instan tanpa mau bekerja keras atau melakukan inovasi kreatif yang akhirnya memberi kelebihan materi kepada kita. Lebih banyak yang menghalalkan segala cara untuk hidup enak dengan pengorbanan pihak lain. Barapa banyak orang miskin yang berhasil disejahterakan, sekolah yang berhasil diperbaiki, infrastruktur yang berhasil dibangun, orang sakit yang disehatkan jika korupsi diminimalisir di Indonesia. Korupsi seolah-olah sudah menjadi hal yang lumrah, pejabat yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini bukan berita besar lagi. Semuanya berawal dari keinginan hidup bermewah-mewah tetapi tidak mau berkeringat. Gus Dur mengajarkan, dengan hidup sederhana, kita juga membangun bangsa.

Membangun jejaring dengan melakukan silaturrahmi ke banyak orang membuat kita dikenal banyak orang menjadi prasyarat dasar untuk sukses dalam hidup. Jika kita pintar tetapi tidak orang yang tahu, maka tak banyak manfaat yang bisa diberikan dari kemampuan tersebut. Kemampuan komunikasi dan membangun jejaring bahkan menduduki posisi lebih penting untuk meraih kesuksesan daripada sekedar kemampuan akademik atau kecerdasan intelegensia. Dalam konteks Gus Dur, beliau rajin bersilaturrahmi selain untuk membangun jejaring juga untuk menjelaskan visi-visi besar beliau yang melampaui zaman kepada para kiai dan ulama, yang kadang kontroversi pada masanya, tetapi kebenarannya terbukti di masa-masa selanjutnya. Inilah yang membuat beliau mampu mentransformasi NU menjadi organisasi yang lebih kosmopolitan dalam pandangan-pandangan keagamaannya.

Pemimpin dalam level apa pun, adalah para pengambil risiko. Inilah salah satu karakter yang juga kita tahu dimiliki oleh Gus Dur. Pemimpin harus memiliki visi besar dan untuk mencapainya, banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. Tantangan tak melulu bersifat ancaman fisik tetapi juga godaan uang, jabatan atau hal-hal lainnya untuk menggadaikan integritasnya. Beliau tidak peduli soal popularitas atau citra diri selama hal ini dianggapnya benar. Tetapi beliau berhasil melewati semua itu.   

Jika kita mampu meneladani di antara sifat-sifat yang dimiliki Gus Dur ini, maka kapasitas pribadi kita akan meningkat dan selanjutnya, kontribusi kita kepada warga NU, kepada bangsa Indonesia, kepada kemanusiaan, akan semakin meningkat. Jika ada 1.000 orang seperti Gus Dur di Indonesia, maka akan terjadi perubahan yang signifikan pada bangsa ini. Semuanya dimulai dari pribadi-pribadi. Semuanya dimulai dari kita sendiri-sendiri, kemudian baru menyatukan diri menjadi sebuah kekuatan besar. (Mukafi Niam)


Terkait